Rumah Kaca Abraham Samad

Dalam satu minggu ini adalah hari-hari yang berat bagi Jokowi, di satu sisi ia ditekan oleh Kubu Megawati untuk memunculkan Komjen Budi Gunawan, di sisi lain ia juga masuk dalam jebakan Samad. Sementara saat ini panggung Megawati berhasil diselesaikan oleh Jokowi, sementara panggung Samad dalam menggempur Jokowi belum berhenti. Jelas sudah, Samad berhasil memenangkan pertarungannya pada Jumat, 16 Januari 2019 dimana Jokowi mengambil jalan tengah, memberikan Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri pada Komjen Badrodin Haiti, sementara Komjen Budi Gunawan diserahkan Jokowi pada KPK untuk menyelesaikan tugasnya. Jokowi sendiri memberikan garis bawah :
“Bukan Pembatalan Budi Gunawan, tapi Penundaan”
Arena politik sudah sampai pada fase ini. Apakah Samad masih menggunakan KPK untuk membereskan Budi Gunawan?, apakah Samad kemudian menyusun langkah-langkah baru politik?, Samad sendiri harus membongkar kronologi politiknya, pengumuman Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Samad yang terburu-buru, juga tidak adanya pemeriksan dua sisi, yaitu : “siapa yang transfer duit ke BG, dan kenapa BG terima duit” menjadi pertanyaan besar disini “Apakah Samad Sudah Menjadi Pemain Politik?” Begitu juga harus ada pernyataan terang benderang, dimana saat ini KPK sudah mendapatkan bola panas Jokowi, soal dugaan kriminalitas Jenderal BG, publik harus tahu apa salah Jenderal BG, paralel juga publik harus tahu ada apa dengan Samad. Ini soal fair dalam melihat dua sisi.
Sebagai Komjen, BG juga sebenarnya tidak layak sebelum ada kepastian apakah bukti transfer itu menyalahi aturan etika kepolisian jadi tekanan publik yang digawangi Fadjroel Rahman, GM dan Abdee Negara ada betulnya karena masih ada wilayah abu-abu mereka ingin Kapolri bersih tapi publik juga berhak tau, namun publik juga berhak tahu siapakah Abraham Samad sebenarnya, apa motifnya ketika perlahan-lahan Samad head to head berhadapan dengan Jokowi terutama dalam colongan popularitasnya, tapi terkandung muatan politik di dalamnya. Juga “prediksi posisi Samad yang digunakan kelak untuk menghajar Jokowi”.
Catatan ini hanya mengingatkan “Betapa Bahayanya KPK sebagai lembaga publik paling dipercaya bila dijadikan alat politik oleh Abraham Samad”. Karena penangkapannya menjadi motif politik dan apakah Jokowi siap melawan manuver Samad, sementara di satu sisi Jokowi juga harus berhadapan dengan kelompok kepentingan di PDI Perjuangan.
Dalam status Facebooknya, Jokowi menulis dengan mengutip salah satu kalimat dari novel Pramoedya Ananta Toer  : “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” mustinya Jokowi harus menambahkan lagi kalimat dari Pramoedya Ananta Toer yang ia harus dedikasikan ke Samad :
“seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”
karena apakah Samad benar-benar adil dalam melaksanakan tugas KPK, apakah itu hanya pada memenuhi investasi politiknya sekaligus menyelesaikan dendam politiknya?, kenapa ada dendam politik?, karena memang ada latar belakang atas keputusan ini yang harus ditanyakan pada Samad, baik publik yang sedang eforia Samad, sampai ada tulisan “Samad Adalah Kita”, lalu melengos pada Jokowi  saat Samad bermain tarik ulur soal Budi Gunawan.
Juga pada petinggi PDIP sendiri harus jujur ke publik baik soal BG, juga soal Samad yang ingin mengejar jabatan Wakil Presiden saat itu, sampai-sampai kritikan Samad tidak beretika labur sama sekali, karena arus besar emosi publik saat itu ada pada Jokowi.
PDIP juga harus jujur, kenapa Jenderal Budi Gunawan yang punya lobi politik kuat mengusulkan Jusuf Kalla, sampai-sampai Samad tersingkir dan marah besar. Samad juga harus jujur ke publik soal tingkah lakunya dalam mendekati PDIP.
Penulis memiliki data, yang bisa dikonfirmasi baik pihak Samad maupun pihak PDIP, dan penulis meminta agar kedua kubu itu menjelaskan semua hal-hal yang perlu diketahui publik, misalnya ada apa PDIP dengan BG, selain itu penulis juga meminta Samad “Kenapa kamu main politik dengan menggunakan KPK yang seharusnya KPK itu harus steril dari permainan politik?”
Catatan Penting Ini :
Ada Enam Pertemuan yang dilakukan oleh Abraham Samad dengan PDIP yang mengindikasikan Samad bukan lagi seorang Penyidik yang bebas kepentingan politik, tapi ia seperti Politisi biasa yang memanfaatkan peluang baik kesempatan maupun posisi,
Dalam beberapa pertemuan itu juga Samad memakai Masker dan Topi, Samad menemui petinggi PDIP dan menawarkan dirinya untuk mendampingi Jokowi.  Karena dalam pertemuan itu Samad masih dalam kedudukannya sebagai KETUA KPK…ingat KETUA KPK.. dalam kapasitasnya itulah Samad melakukan transaksi politik.
Kronologi Pertemuan Samad dengan Petinggi PDIP
PERTEMUAN PERTAMA :
Di bulan Februari 2014, pihak Samad sudah mendengar kubu Megawati yang saat itu sedang dalam posisi genting untuk memutuskan siapa yang maju “Megawati atau Jokowi dalam Capres 2014″, Samad mendapatkan kabar bahwa Jokowi-lah yang mulai mendapatkan angin ketimbang Megawati dalam pencalonan Presiden 2014 karena banyak beredar survey-survey dimana Megawati selalu ditempatkan dibawah Jokowi oleh lembaga survey. Samad mulai berhitung bahwa dirinya punya kesempatan mendampingi Jokowi, karena Samad mendapatkan kabar Jokowi belum ditentukan siapa pendampingnya, kubu PDIP ingin ada semacam reprosikal politik “Jokowi maju, PDIP menang 27,02 % sesuai hasil keputusan kongres. Inilah kenapa pendamping Jokowi belum ditentukan, tapi semua pihak yang punya jaringan politik mulai merapat ke PDIP. Tak terkecuali Samad, ia punya kekuatan politik, walaupun bila kekuatan politiknya itu digunakan, ia menyalahi etika dan fungsi kebijakan publik, karena senjata satu-satunya adalah KPK.
Pada pertemuan pertama ada dua orang Petinggi PDIP senior, dan Petinggi PDIP yunior yang diajak Samad bertemu, di sebuah tempat mewah, sebuah Apartemen di depan sebuah Mall dan Pusat Perbelanjaan Pacific Place” yang berlokasi di Sudirman Central Business.
Dalam pertemuan itu, pihak Samad nyenggol soal “Emir Moeis” ini harus juga dibuka ke publik, kenapa dalam pertemuan ini, Emir Moeis dibuka dan jadi pembahasan Samad kepada dua petinggi PDIP itu?
“Saya akan bantu kalau ada kasus Emir Moeis, Emir …kan sudah dibantu hukumannya tidak berat?”
(Abraham Samad, pada dua petinggi PDIP, Februari 2014).
PERTEMUAN KEDUA
Terjadi pertemuan kedua antara Samad dengan seorang Petinggi PDIP dan salah satu temannya yang bukan orang Partai, pertemuan itu ada asisten Samad yang berinisial “D”. Lagi-lagi di Apartemen mewah di wilayah SCBD, Jakarta Selatan. Samad tampak sangat santai, dan tahu sekali suasana apartemen. Disana petinggi PDI Perjuangan bertanya dengan Samad, “Apakah bersedia untuk dijaring” pertanyaan ini membuka kesempatan bagi Samad masuk dalam bursa pencalonan wakil Presiden dari kubu PDIP. Samad dengan wajah teduhnya menyetujui dan gembira sekali.-Hal ini harus dicatat, Samad masih menduduki posisi Ketua KPK dan amat tidak etis masuk ke dalam pencalonan politik saat ia menjabat, andai ia ingin terus menjabat etikanya ia harus keluar dulu dari posisi pimpinan KPK.
PERTEMUAN KETIGA
Inilah pertemuan yang diketahui publik secara luas yaitu pada Sabtu (3/5/2014) di Ruang VIP Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta - Pers berebutan memfoto mereka, seakan-akan ada pertemuan yang tidak disengaja, tapi pers dikelabui ada pertemuan rahasia, dimana Samad memakai Masker dan Topi menemui pihak PDIP di sebuah hotel Bintang Lima di Yogyakarta,  sekali lagi Samad didampingi Asistennya yang bernama “D”.  Dalam pertemuan itu Samad mempertanyakan nasibnya soal kelanjutan posisi pencalonannya sebagai Wakil Presiden RI. Ada satu petinggi PDIP. - Agar peristiwa ini tidak menjadi fokus, Samad kemudian merancang seakan-akan ada pertemuan yang tidak sengaja di Bandara Yogyakarta. Disini sekaligus Samad ingin mencoba “Apakah publik setuju apa tidak bila dirinya maju menjadi “Capresnya Jokowi”. Dan rupanya dukungan Publik besar juga, Samad sangat antusias ia menggariskan diri berada dalam barisan Jokowi.
PERTEMUAN KEEMPAT
Setelah melihat antusias rakyat bahwa Samad yang akan maju menjadi pendampingnya Jokowi, Samad semakin bersemangat. Ia dikenalkan oleh salah satu petinggi PDIP kepada seorang Jenderal Purnawirawan dan membahas soal peluangnya menjadi Cawapres. Samad sekali lagi datang dengan masker dan topi, digunakannya masker dan topi adalah bagian dari alam bawah sadar Samad bahwa dirinya bersalah secara etika bila mengunjungi seseorang dalam kepentingannya yang menjadi irisan dalam tanggung jawabnya di KPK.  Dalam pertemuan itu Samad, bahkan sempat foto-foto dengan keluarga Pensiunan Jenderal itu.
PERTEMUAN KELIMA
Pertemuan kelima terjadi di sebuah gedung, ada petinggi PDIP dan Samad. Saat itu pembicaraan Samad sudah sangat serius dan mendalam, bahkan dari gedung itulah logo Jokowi-Samad sudah mulai beredar dimana-mana.
PERTEMUAN KEENAM
Inilah pertemuan yang paling mengerikan dan perlu dicatat khusus, dan juga menjadi alat dalam mengkaji siapakah Samad sesungguhnya. Sebelum masuk ke Pertemuan keenam,  baiklah kita lihat diluar lingkungan Samad. Saat itu beberapa elite PDI Perjuangan berkumpul. Ada masukan paling penting bahwa Jusuf Kalla maju jadi Cawapres Jokowi, pertimbangannya amat rasional “Jusuf Kalla memegang massa Golkar, Jusuf Kalla bisa menjadi jangkar Golkar, walaupun Golkar saat ini dipegang Aburizal Bakrie, tapi pengurus-pengurus Golkar pasti akan berpihak ke Jokowi bila ada Jusuf Kalla disana. Sementara Abraham Samad sama sekali dinilai tidak punya akar massa, ia hanya kuat di media, bukan di tingkat massa, Samad dinilai oleh salah satu elite PDIP itu masih hijau dalam politik, sementara ada beberapa informasi yang masuk bahwa Prabowo sangat kuat, mustahil bila menjadikan Samad sebagai gacoan politik, bisa berantakan nanti Jokowi. Dan yang paling kuat menentang Samad adalah Budi Gunawan (BG) orang yang pada minggu depan kemungkinan besar akan berhadapan dengan Samad di KPK.
Gagalnya Samad jadi Cawapres Jokowi tidak diterima dengan legowo oleh Samad. Saat berita itu sampai pada dirinya, ia berkata dengan mata tajam ke arah salah satu petinggi PDIP
“Saya Sudah Tahu karena sudah menyuruh orang-orang saya saya untuk memasang alat sadap, sehingga saya tahu siapa yang menjadi penyebab kegagalan saya. Saya janji akan menghabisi orang itu”
(Abraham Samad, kepada salah satu petinggi PDIP).
poin diatas amat penting karena : “menjelaskan bahwa salah satu yang diincar Abraham Samad adalah Budi Gunawan” dan menjadikan Megawati sasaran kebencian publik, karena gagal menjadikan dirinya sebagai Cawapres.
Bila Jenderal BG dieksekusi minggu depan, maka pihak Kejaksaan dan pihak DPR bisa menjadikan hal ini diangkat ke publik, soal Abraham Samad. Pihak DPR, Presiden Jokowi, Media dan Publik secara umum harus mempertanyakan soal pertemuan-pertemuan Samad dengan PDIP dan hal ini bisa menjadikan pertanyaan lebih lanjut soal “legitimasi moral” Samad menjadi Pimpinan KPK.
Etika yang dilanggar Abraham Samad sebagai Ketua KPK saat melakukan rangkaian pertemuan politik :
A. Pelanggaran Kode Etik KPK No. Keputusan No.6/P-KPK/02/2004
-Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu apapun kepada siapapun juga-.
-Menerima Langsung atau Tidak Langsung Dari Siapapun Juga Suatu Janji Atau Pemberian
-Setia Mempertahankan dan Mengamalkan Peraturan Perundang-undangan
-Senantiasa Sungguh-Sungguh dan Jujur
-Menolak atau Tidak Menerima Atau Mau Dipengaruhi Oleh Campur Tangan Siapapun.
-Bertentangan dengan kewajiban dan Hukum
a) menarik garis tegas tentang apa yang patut, layak dan pantas dilakukan dengan apa yang tidak patut, layak dan pantas.
b)pasal 6 ayat 1 (m) : “menghilangkan sikap arogansi dan sektoral”
c) pasal 6 ayat 1(n) : “Mengindentifikasi setiap kepentingan yang timbul atau mungkin benturan kepentingan yang timbul dan memberitahukan ke pemimpin lainnya sesegera mungkin.
d) pasal 6 ayat 1 (q) menahan diri terhadap godaan yang berpotensi mempengaruhi substansi keputusan
e) pasal 6 ayat 1 (r) : “memberitahukan dengan kepada pimpinan lainnya mengenai pertemuan dengan pihak lain dan telah dilaksanakan, baik sendiri atau bersama, baik dalam hubungan tugas maupun tidak.
f) pasal 6 ayat 1 (u) : “Membatasi pertemuan di ruang publik seperti di hotel, restoran atau lobi kantor atau hotel atau di ruang publik lainnya.
Dari kronologis ini apakah bisa dikatakan :
1. Apakah Samad bersih dari Permainan Politik pada saat ini.
2. Apakah bila kemudian hal ini menjadi bukti dalam paparan publik, bisakah Samad mempertanggungjawabkan perbuatannya, seperti ia menyeret Suryadharma Ali (SDA) dimana ia saat itu sebagai Ketua KPK, dan SDA berada dalam lingkaran Prabowo, ia juga mempermalukan Prabowo pada Pilpres 2014. Tujuannya agar ia menaikkan posisi tawarnya pada Jokowi dan mempesona lawan politik Prabowo.
3. Lantas kenapa pemberian stempel terjadi amat politis, seperti pada SDA, lalu ketika Rini naik ia tidak melakukan langkah politik sementara Rini dikabarnya “tidak layak KPK”, lalu pada Jenderal BG ia tiba-tiba memberikan penangkapan dan diuntungkan oleh eforia besar keberpihakan publik, lucunya juga ketika Badrodin Haiti naik dan sama-sama diindikasikan punya rekening gendut Samad diam saja.
4. Ada apa dengan PDIP yang semangat banget mencalonkan Jenderal BG, dan kenapa Jokowi juga tunduk pada arahan PDIP itu.
5. Ada apa dengan konflik internal POLRI ?
Sebagai warga negara Indonesia saya sebenarnya sedih, karena saya berharap sekali KPK menjadi ujung tombak penegakan hukum, sebuah lembaga yang dibentuk dalam situasi darurat korupsi, tapi malah terjebak dalam permainan politik karena oknumnya yang berambisi politik.
Saya rasa Media Massa, pasca pembatalan ini juga melihat dua hal BG dan Samad.  Terutama TEMPO cobalah selidiki sejujurnya soal peran Samad dalam ikut campur dalam dunia politik, ketuklah rasa kewartawanan kalian soal sikap tidak adil Samad ini, apakah benar ada enam pertemuan dengan PDIP karena bila itu menjadi fakta maka Samad sudah melanggar hukum dan secara legitimasi moral sudah tidak layak memimpin KPK.
Indonesia bagi Abraham Samad seperti dijadikan “Rumah Kaca” ala Pangemanann dalam tetralogi Pram. Sebuah novel yang bisa menjelaskan dengan jelas bagaimana kekuasaan itu bekerja, dan membuat orang yang tak jujur gelisah, walaupun kekuasaan itu mendukung dirinya untuk berbuat salah. Semoga Abraham Samad bisa sadar, bahwa jabatan KPK adalah harapan satu-satunya rakyat, ungkaplah  BLBI, Hambalang, Bank Century bukan menjadikan kasus tipiring menjadi alat tekanan politik dan membuat pusing Bapak Presiden. Kita juga tak ingin punya Kapolri yang tidak baik masa lalunya, tapi kita juga tidak ingin semangat massa dikelabui untuk kepentingan politik seseorang dan mengorbankan harapan bangsa untuk menjadi lebih baik

Ahok: Unggah Naskah RAPBD 2015 Versi DPRD dan Pemprov DKI Jakarta


Serangan Baru Ahok: Unggah Naskah RAPBD Versi DPRD
Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyerahkan sepenuhnya pada masyarakat untuk menilai dua versi anggaran yang beredar. Dua versi dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan Daerah (RAPBD) itu kini diunggah di situs pribadinya, disni: Ahok.org, Selasa, 3 Maret 2015.


Dua versi anggaran itu adalah anggaran milik Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dan anggaran versi DPRD. Dalam laman Ahok kategori APBD tersebut terdapat dua versi RAPBD dengan judul "PEMPROV DKI JAKARTA 2015" dan "DPRD DKI JAKARTA 2015" yang masing-masih memiliki dua link untuk diunduh.


Kedua versi tersebut memiliki format berkas yang terkompresi (zip) di mana versi Pemprov berukuran 34,5 megabita, sedangkan versi DPRD berukuran 3,6 megabita. Perbedaan lainnya, file pemprov menggunakan format PDF, sementara file DPRD menggunakan format Excel.


Ahok tidak hanya mengunggah dua versi RAPBD itu ke situs pribadinya Ahok.org. Juga ke situs resmi Pemprov DKI disni: Jakarta.go.id. Di dua situs itu, dua versi anggaran bisa diunduh. "Biar masyarakat yang menilai, bagaimana postur anggaran duit rakyat," kata Ahok menjelaskan kepada Tempo, Selasa, 3 Maret 2015


Tim Angket DPRD memang kebakaran jenggot karena Ahok membeberkan anggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun yang disisipkan dalam APBD 2015 melalui usulan sebanyak 48.000 kegiatan. Upaya penyusupan anggaran oleh oknum Dewan ini tetap dilakukan kendati telah menerapkan sistem elektronik (e-budgeting).


Ahok telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyelidiki penggelembungan dana itu. Gubernur Ahok juga melaporkan dugaan korupsi ini ke KPK dan memberikan dokumen ke Kementerian Dalam Negeri./tempo.co

Diskriminasi bagi ASN dalam jabatan karir khususnya Camat yang harus lulusan ilmu pemerintahan



Situasi politik yang carut marut akhir-akhir ini menyita perhatian publik sehingga beberapa peraturan menjadi luput dari pencermatan. Hal ini misalnya pada UU ASN maupun UU Pemerintah Daerah yang berdampak pada jenjang karir Aparatur Sipil Negara terjadi banyak perubahan.Contohnya adalah jabatan camat.
 


Ini kabar tidak enak bagi camat yang ijazah sarjananya bukan lulusan Ilmu Pemerintahan. Sebab UU Pemerintah Daerah (Pemda) telah mensyaratkan posisi camat hanya boleh diisi PNS yang memiliki ijazah pemerintahan atau sertifikat profesi kepamongprajaan.


Hal itu jelas tertuang dalam UU Pemerintah Daerah (Pemda) nomor 2 tahun 2014, pasal 224 ayat 2 dan 3, yang berbunyi “Bupati/wali kota wajib mengangkat camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Sementara pada ayat 3 disebutkan, “Pengangkatan camat yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibatalkan keputusan pengangkatannya oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.”

Lalu pada penjelasan ayat 2 pada pasal 224 menyatakan, yang dimaksud dengan “menguasai pengetahuan teknis pemerintahan” adalah dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana pemerintahan atau sertifikat profesi kepamongprajaan.

Bagi para camat yang bukan alumnus Ilmu Pemerintahan siap-siap gigit jari









Ini tulisan tangan Ahok 'pemahaman nenek lu' yang bikin DPRD ngamuk


Jakarta - Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan DPRD DKI Jakarta terus memanas. Setelah DPRD DKI membuat hak angket, Ahok melawan dengan melaporkan sejumlah dugaan korupsi yang dilakukan DPRD DKI dengan melakukan mark up anggaran dalam RAPBD DKI Jakarta Tahun 2015.


Menurut Ahok, banyak mata anggaran yang tidak masuk akal dalam pengajuan duit oleh DPRD DKI ke Pemerintah Provinsi Jakarta. Karena kecurigaan Ahok ini, pihaknya tak meminta persetujuan DPRD DKI dan langsung menyerahkan RAPBD DKI ke Kemendagri.



Hal ini yang membuat DPRD DKI Jakarta ngamuk dan memiliki alasan untuk melengserkan Ahok. Dibuatlah hak angket dengan persetujuan seluruh fraksi. Ahok pun terancam dilengserkan. Tak diam begitu saja, Ahok membeberkan sejumlah kecurangan yang dilakukan DPRD DKI untuk 'makan' duit warga DKI.



Salah satu persoalan yang diungkap Ahok adalah tentang pengadaan Uninteruptible Power Supply (UPS) untuk sekolah-sekolah yang harganya sampai miliaran per unit. Hal ini dinilai tidak masuk akal. Termasuk soal anggaran sosialiasi Surat Keputusan Gubernur No 168 tentang RT dan RW. 



Dalam anggaran yang diajukan oleh DPRD DKI, dana untuk melakukan sosialisasi itu sebesar Rp 100 juta. Merasa dilecehkan, Ahok pun mencoret-coret usulan anggaran itu dengan ucapan 'pemahaman nenek lu'. 



"Ada ratusan atau ribuan (mata anggaran), (dengan nilai) Rp 100 juta, Rp 200 juta kan kurang ajar. Saya tulis 'nenek lu'. Coret!, bener tanya saja Bappeda, saya tulis 'nenek lu', saya kasih lingkaran. Balikin. Ini gara-gara bacaan 'nenek lu', tersinggung kali," jelas Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (16/1) lalu.



Tidak hanya itu, ada beberapa anggaran aneh, seperti les bahasa mandarin dan paket mandarin. Setiap paketnya memiliki nilai puluhan juta. Dan Ahok mengungkapkan, ada anggaran untuk visi dan misi anggota DPRD DKI Jakarta.



"Total di luar tanah Rp 8,8 triliun (yang dicoret) saya suruh pilih saja. Saya enggak tahu berapa jumlahnya. Ngajuin sesuatu yang menurut saya enggak penting. Jadi enggak bisa. Itu disebut visi misi DPRD. Isinya begituan, versi mereka. Makanya saya gak mau masukin," tegasnya. 



Keanehan ini yang disebut Ahok sebagai dana siluman dimanfaatkan oleh DPRD DKI untuk merampok uang rakyat. Ahok pun sudah melaporkan hal ini kepada KPK. /merdeka.com

Batia Sisilia Hadjar Sangat Potensial untuk Dijadikan Pasangan Kandidat Pilkada Banggai 2015


Revisi UU Pemilihan Kepala Daerah yang baru disahkan DPR pada 18 Februari lalu, salah satu point perubahannya yaitu Pilkada serentak akan dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu Desember 2015, Februari 2017 dan  Juni 2018. Selain itu, poin penting dalam revisi UU tersebut adalah pilkada berlangsung hanya satu putaran; pencalonan menggunakan sistem paket (kepala daerah dan wakil); syarat dukungan penduduk calon perseorangan ditingkatkan menjadi 3,5 persen; tidak ada ambang batas kemenangan; adanya pelarangan politik dinasti; sengketa pilkada masih ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum adanya peradilan khusus pada 2027; dan uji publik dihapus. 

Hal ini membawa angin badai bagi beberapa daerah yang harus menggelar pesta demokrasi pada Desember 2015 khususnya di Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah. Pilkada "kagetan" yang harus digelar tersebut membuat para politisi di Kabupaten diujung timur Sulawesi Tengah kelimpungan, dikarenakan berdasarkan Perppu Pilkada Tahun 2014 mengisyaratkan Pilkada Banggai akan dilaksanakan pada tahun 2018.Selain kesiapan anggaran pada APBD, strategi politik untuk menyiapkan pencitraan dan dukungan partai politik bagi kandidat yang akan bertarung nanti membuat suhu politik didaerah ini tiba-tiba memanas.

Beberapa tokoh yang diprediksi bakal  maju pada Pilkada nanti antara lain Sofhian Mile (Bupati Banggai), Herwin Yatim (Wakil Bupati Banggai / Ketua PDIP Kab. Banggai), Shamsul Bahri Mang (Ketua DPRD Kab. Banggai / Ketua Partai Golkar kab. Banggai), Ma'mun Amir (Anggota DPD RI / mantan Bupati Banggai), Ihwan Datu Adam (mantan Plt. Bupati PPU) dan Batia Sisilia Hadjar Nayoan (Ketua KNPI Kab. Banggai / pengusaha). 

Salah satu bakal kandidat yang cukup menarik untuk diulas yaitu Batia Sisilia Hadjar Nayoan. Sosok Ketua KNPI Kab. Banggai dan perempuan pengusaha yang juga istri dari seorang pengusaha Djemmy Nayoan ini menjadi idola baru bagi kaum muda dan perempuan untuk didorong pada perhelatan pesta demokrasi tersebut. Banyaknya dukungan buat ibu muda ini terlihat dari komentar beberapa orang di akun pribadi facebook miliknya Batia Sisilia Hadjar

Batia dikenal sebagai ibu dari dua orang anak yaitu Dandhy dan Dhea, mempunyai kepribadiann yang ramah dan bersahabat pada semua kalangan. Perempuan yang pernah menjadi karyawan di salah satu bank milik pemerintah tersebut sangat baik pada semua orang dan juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. Selain aktivitasnya direktris pada perusahaan miliknya, Batia juga aktif dikegiatan kepemudaan dan sosial seperti KNPI Kabupaten Banggai dan Yayasan Kanker Indonesia Cabang Kabupaten Banggai. Kesuksesannya memimpin dua lembaga tersebut ikut melejitkan namanya di masyarakat Kabupaten Banggai.

Tak bisa dipungkiri, Batia kemudian menjadi salah satu figur yang dilirik oleh para kalangan politisi maupun masyarakat untuk didorong maju pada momentum demokrasi 5 tahunan nanti. Batia dianggap cukup potensial untuk meraih dukungan masyarakat khususnya dikalangan pemuda dan kaum perempuan di Kabupaten Banggai. Bahkan beberapa tokoh masyarakat di daerah tersebut ikut memberi apresiasinya agar para kandidat bisa berpasangan dengan Batia. Salah satunya Zainudin Ahmad Dekan FISIP Univ. Muhammadiyah Luwuk juga Murad U. Nasir mantan anggota DPR RI seperti dilansir di medial lokal Luwuk Post mendorong agar  Bupati Sohian Mile berpasangan dengan Batia. Di beberapa media sosial facebook juga Ma'mun Amir disarankan untuk berpasangan dengan Batia dengan tagline "MB for Banggai". Ihwan Datu Adam pun secara jujur mengakui bahwa Batia adalah pasangan yang kuat bila dia ikut bertarung pada Pilkada nanti beliau akan berpasangan dengan Batia (Di Banggai Kaya Sumber Daya Alam, Ikhwan Datu Adam Tertarik Ikut Pilbup).

Rasanya memang aneh, baru kali ini ada sosok perempuan menjadi idola bahkan dianggap sosok yang sangat potensial sehingga semua kandidat ingin berpasangan dengan Batia. Padahal Batia bukan seorang politisi atau minimal pernah menjadi anggota Parpol. Perjalananan hidup seseorang memang ditentukan oleh Sang Maha Pencipta, ketulusan dan rasa tanggungjawab memimpin pada hal yang kecil akan menjadi pilihan-Nya untuk diberikan tanggungjawab untuk memimpin pada hal-hal yang lebih besar nantinya.


Salam Redaksi
Molokek News






Tersangkut Kasus Kolam Renang, Mantan Gubernur Sulawesi Tengah dan Anggota DPR-RI Jadi Tersangka

Kajati Sulteng dan jajarannya saat konferensi pers di Kejati Sulteng.(Foto:Jemmy)


PALU – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Sulteng), Jumat (27/2) siang menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dugaan kasus korupsi pembangunan kolam renang di Palu. Dua dari sembilan tersangka itu adalah mantan gubernur Sulteng dan anggota DPR-RI.

Para tersangka itu antara lain AP, mantan Gubernur Sulteng (sekarang Ketua DPRD Sulteng), MS, anggota DPR-RI, MN, mantan ketua DPRD Sulteng (mantan anggota DPR-RI), MK, mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sulteng, HY, mantan Wakil Ketua DPRD Sulteng.
Kejaksaan Tinggi Sulteng juga menetapkan dua orang lainnya yang telah meninggal dunia, yaitu SA, mantan Wakil Ketua DPRD Sulteng dan HU, mantan wakil Ketua DPRD Sulteng, serta konsultan berinsial V dan S.
Juru Bicara Kejati Sulteng, Eki Mohamad Kasim kepada KabarSELEBES.com menjelaskan, kasus yang disangkakan kepada para pejabat dan mantan pejabat itu adalah proyek pembangunan kolam renang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2004-2006, yang dikerjakan kontraktor PT Bhakti Baru Rediapratama (BBR) Palu.
“Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulteng tertanggal 26 April 2010 diduga terjadi kerugian negara sekitar Rp 505,69 miliar,” katanya.
Proyek sarana olah raga kolam renang Bukit Jabal Nur Palu ini, ternyata hanya dibiayai berdasarkan MoU (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Provinsi Sulteng yang saat itu Gubernur dijabat oleh Aminuddin Ponulele dengan pihak PT Bhakti Baru Rediapratama (BBR) Palu, Muhiddin Said.
Dari hasil audit BPKP Sulteng No. SR-939/PW/5/2010 tertanggal 26 April 2010 disebutkan dalam pelaksanaan proyek ini telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 505.69 miliar dan pelaksanaannya juga menyimpang dari aturan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 karena biaya pekerjaannya hanya berdasarkan MoU.
Muhidin M. Said saat dikonfirmasi mengatakan tidak tahu apa-apa soal kasus itu. Dia bahkan baru mengetahui dirinya sebagai tersangka dari wartawan. Menurutnya, proyek pembangunan kolam renang itu akan terus dikerjakan hingga selesai.(Abdee)/kabarselebes.com

Angkat Senjata Bela RI, Warga Tionghoa Tak Tertulis di Buku Sejarah


Angkat Senjata Bela RI, Warga Tionghoa Tak Tertulis di Buku Sejarah - 1
sumber : detik.com
Jakarta - Kiprah para warga Tionghoa mengangkat senjata saat perang kemerdekaan Indonesia adalah nyata. Sayangnya, kisah mereka tak pernah tertulis dalam buku-buku sejarah di sekolah. 

Absennya kiprah para pejuang Tionghoa dalam buku sejarah di sekolah ini memunculkan anggapan bahwa masyarakat dari etnis Tionghoa cuma berpangku tangan dan menjadi penonton pada era revolusi fisik. 

Sekretaris Jenderal Legiun Veteran Republik Indonesia Marsekal Muda (Purnawirawan) FX Soejitno mengungkapkan, kiprah masyarakat etnis Tionghoa dalam ketentaraan di Indonesia sejatinya sudah ada sebelum perang kemerdekaan dan selama perjuangan merebut kemerdekaan. Sebelum Indonesia merdeka, terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda, banyak warga keturunan Tionghoa yang bahu-membahu bersama pejuang Indonesia melawan penjajah.

Kiprah serupa terjejak menjelang dan pada awal kemerdekaan. Pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan, banyak anggota masyarakat keturunan Tionghoa yang bergabung dalam laskar pemuda pejuang. 

“Karena, sesaat setelah proklamasi, kita kan belum memiliki tentara. Jadi badan-badan perjuangan yang mempertahankan kemerdekaan itu ya laskar-laskar pemuda,” tutur Soejitno kepada Majalah Detik, yang menemui di kantornya, gedung Balai Sarbini, Jakarta.

Ketika pemerintah resmi membentuk tentara, seperti halnya anggota laskar yang lainnya, tidak sedikit dari anggota laskar keturunan Tionghoa yang memilih kembali menjadi masyarakat sipil atau profesi sebelumnya. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang bergabung dalam institusi tentara.

Peluang warga keturunan Tionghoa menjadi tentara, Soejitno melanjutkan, juga tidak pernah tertutup atau ditutup. Seperti suku-suku lain di Indonesia, mereka memiliki hak yang sama.



“Sebab, di dunia militer, baik tentara maupun polisi, tidak ada satu pun aturan atau undang-undang yang menyebut larangan bagi suku atau ras tertentu menjadi anggotanya,” kata Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional pada 1993-1995 itu.

Dia mencontohkan pengalamannya saat masuk Akademi Angkatan Udara pada 1965. Saat itu, dari sekian puluh ribu pendaftar, yang diterima sekitar 100 orang. Dari jumlah tersebut, empat orang di antaranya adalah pemuda keturunan Tionghoa. Ia menduga minimnya minat masyarakat keturunan Tionghoa masuk menjadi tentara lebih karena kesejahteraan yang kurang menjanjikan ketimbang menjadi pengusaha. 

“Jangankan masuk ke tamtama atau bintara, gaji perwira tentara itu lebih kecil dibanding berbisnis,” ujar mantan asisten KSAU itu.

Namun Ivan Wibowo, pengacara yang aktif di lembaga Jaringan Tionghoa Muda, punya pandangan berbeda. Minimnya minat warga Tionghoa masuk TNI-Polri karena memang ada semacam kebijakan tak tertulis bahwa profesi tersebut, termasuk pegawai negeri sipil, memang tertutup untuk mereka. Hal ini terkait dengan wacana yang sempat mengemuka dalam Seminar Angkatan Darat II pada 1966, yang menganjurkan penggantian istilah Tionghoa dengan Cina. 

“Padahal resminya tak pernah ada peraturan yang melarang,” ujarnya.

Kalaupun di era Soekarno terdapat rekrutmen besar-besaran dalam ketentaraan yang diikuti banyak orang Tionghoa, itu karena ada Operasi Dwikora (konflik dengan Malaysia) dan Trikora (pembebasan Irian Barat) serta berbagai pemberontakan di seluruh Nusantara, mulai Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, Perjuangan Rakyat Semesta, sampai Republik Maluku Selatan. Karena negara butuh banyak tentara, setiap calon sarjana, apalagi dokter, dokter gigi, apoteker, dan insinyur, secara otomatis harus ikut seleksi jadi tentara.

“Periode ini mungkin adalah periode di mana orang Tionghoa paling banyak menjadi tentara karena dimobilisasi melalui gelar akademis,” ujar Ivan.



Tapi pasca-Gerakan 30 September 1965 dan ketika rezim Orde Baru berkuasa, yang terjadi kemudian adalah pembatasan-pembatasan, seperti tidak diperbolehkannya penggunaan aksara Cina, pelarangan sekolah Cina, dan pengetatan seleksi pelajar Tionghoa yang akan masuk universitas.

Meski begitu, di era sekarang, Ivan berharap warga keturunan Tionghoa yang memang benar-benar berminat menjadi tentara sebaiknya mendaftar dan mengikuti ujian secara fair. Sebaiknya, ujarnya, tidak langsung berprasangka bahwa mereka akan dipersulit atau dilarang masuk tentara-polisi. 

“Kalau memang tidak ada yang diterima, baru pantas protes. Kalau sudah diterima, tentu harus berprestasi. Minimal harus paling berani di medan perang. Bintang itu diperebutkan, bukan diberikan,” ujarnya. /detik.com