Kedaulatan Politik Rakyat Di Uji, Fraksi Demokrat Pilih Kabur

Pasek: PDIP Mesti Tahu Bagaimana Sakitnya Ditinggal Walkout
Jakarta – Aksi walkout yang dilakukan oleh Fraksi Partai Demokrat dalam sidang paripurna DPR membahas RUU Pilkada kontan mengundang kecaman keras, mengingat isu ini adalah salah satu yang paling menjadi perhatian rakyat tahun ini.
Forum Masyarakat Pemantau Parlemen (Formappi) misalnya, tak ragu menyebut aksi partai penguasa itu sebagai sikap ambiguitas. Demikian juga para anggota DPR dari kubu pendukung Pilkada secara langsung, mencemooh dan mengejek rekan-rekannya dari Demokrat yang ketika itu sedang melangkah meninggalkan ruangan.
Namun jika ditelaah, problem paling serius bukan karena partai yang mengaku “Demokrat” itu tidak menyukseskan sistem Pilkada langsung.
Jumat (25/9) dinihari rakyat menyaksikan bahwa partai penguasa ini memilih tidak menjawab ketika bangsa dihadapkan pada salah satu pertanyaan terbesar rakyat Indonesia abad ini. Tinggal glanggang colong playu, atau kurang lebih maknanya “berkoar keras tapi kabur ketika lawannya datang.”
Istilah sederhananya meminjam kalimat Formappi adalah pengecut, atau alternatif lainnya menurut politisi Demokrat Benny K Harman adalah “netral”.
Melalui Benny pula fraksi tersebut berdalih bahwa mereka terpaksa pergi karena keinginan Pilkada langsung disertai 10 syarat tidak diakomodir dalam sidang paripurna. Dengan kata lain, bagi Demokrat substansi masalahnya berbeda dengan substansi yang dihadapi rakyatnya sendiri.
Rakyat bertanya: pilkada langsung atau melalui DPRD? Demokrat bertanya: 10 syarat kami dipenuhi tidak?
Sekiranya Demokrat mendukung Pilkada DPRD, itu akan lebih terhormat karena paling tidak mereka menjawab pertanyaan rakyat. Lagipula, RUU Pilkada lewat mekanisme DPRD itu bisa dibilang merupakan inisiatif pemerintah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga ketua umum partai.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sudah berulang kali menegaskan preferensi pemerintah atas pilkada lewat DPRD, dengan alasan antara lain pilkada langsung menyuburkan korupsi dan membuat bupati/walikota merasa bukan anak buah presiden karena mereka juga dipilih langsung.
Kalau Fraksi Demokrat mendukung proposal ini, berarti mereka konsisten dan sejalan dengan garis kebijakan pemerintahan SBY.
Namun mendekati sidang paripurna, Fraksi Demokrat mengaku mendukung Pilkada langsung, sehingga peta kekuatan langsung berubah. Opsi pilkada langsung bisa menang walau tipis. Partai Demokrat berubah dari partisipan menjadi “game changer”, penentu jawaban.
Mereka mengajukan 10 persyaratan dan bagi fraksi-fraksi lain pendukung pilkada langsung, itu bukan masalah.
Yang menjadi masalah, pada hari H ternyata 10 syarat itu menjadi hal terpenting bagi Demokrat, jauh lebih penting dari pertanyaan “langsung atau via DPRD.” Peta kekuatan kembali kacau.
Setelah membuat semua kekacauan ini, Demokrat memilih pergi, dan hanya segelintir saja dari anggota fraksi itu yang memilih menjaga kehormatan untuk berdiri gagah menjawab pertanyaan rakyat. Hanya segelintir. /beritasatu.com

Gubernur Riau Annas Maamun Bersama 8 Orang Ditangkap KPK


Dituduh Lakukan Pelecehan Seksual, Ini Jawaban Gubernur Riau
Gubernur Riau Annas Maamun  | liputan6.com

Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan satu dari dua wanita yang turut diamankan dalam operasi tangkap tangan merupakan istri dari Gubernur Riau Annas Maamun.

"Tadi saya sempat tanya penyidik, katanya salah satu wanita yang diamankan bersama gubernur itu adalah istri Annas Maamun," kata juru bicara KPK Johan Budi di Pekanbaru lewat sambungan telepon, Kamis (25/9) malam.

Namun Johan Budi belum dapat memastikan apakah wanita tersebut adalah istri gubernur yang berdomisi di Pekanbaru atau di Jakarta.

"Kalau soal itu (istri yang mana) saya tidak tahu. Yang jelas kata penyidik itu istri gubernur," katanya.

Sementara itu, enam orang pria lainnya yang juga diamankan KPK, kata Johan, merupakan ajudan, pengusaha dan pihak keluarga.

Johan mengatakan, pihaknya belum dapat menyebutkan identitas delapan orang yang diamankan bersama Gubernur Riau Annas Maamun itu.

Gubernur Riau Annas Maamun, kata Johan, diamankan oleh tim penyidik pada pukul 17.30 WIB di sebuah rumah di Cibubur, Jakarta.

Dalam operasi tangkap tangan itu, Johan mengakui turut diamankan dua unit mobil mewah, salah satunya merupakan mobil dinas gubernur.

Selain itu, KPK, kata Johan, juga mengamankan uang tunai dolar Singapura dan rupiah dengan jumlah yang sejauh ini masih dihitung.

"Kemungkinan jumlahnya miliaran rupiah," kata dia.

Gubernur Riau Annas Maamun dikabarkan telah berada di Jakarta sejak beberapa hari lalu untuk kepentingan dinas.

Selama itu, berbagai kegiatan di daerah telah diambil alih oleh Wakil Gubernur Arsyadjuliandi Rachman.


Menurut informasi yang beredar di kalangan wartawan, 9 orang yang diduga ikut rombongan Gubernur Riau saat OTT di Perum CitraGrand Cibubur adalah:
1.    1.  AnnasMaamun (Gubernur Riau)
2.    2. Latifah Hanum (istri Gubernur Riau)
3.    3.  Erianda (anak gubernur yang sekarang jadi Wakil Bupati Rohil)
4.    4. Eddy Ahmad RM  (Pemred Koran Riau)
5.    5.  Suparman (Ketua DPRD)
6.    6.  Gulat Manurung (Dosen UNRI)
7.    7.  Dwi Agus (Kadisdik)
8.    8.  Eva Nora (Lawyer)
9.     9.   Tri (Ajudan).

Ridwan Kamil: Para Wali Kota dan Bupati Akan Gugat UU Pilkada ke MK



Jakarta - DPR telah mengesahkan UU Pilkada dengan mengembalikan mekanisme pemilihan lewat DPRD. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menegaskan komitmennya untuk menggugat UU itu ke Mahkamah Konstitusi.

"Sesuai komitmen, para wali kota bupati di forum Apeksi/Apkasi akan menggugat untuk Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi," tulis Ridwan di akun twitternya @ridwankamil yang dikutip detikcom, Jumat (26/9/2014).

Apeksi dan Apkasi adalah forum perkumpulan wali kota dan bupati se-Indonesia. Banyak kepala daerah yang tergabung di forum ini. Ridwan memohon doa agar usahanya berhasil.

"Semoga Tuhan bersama kita," tulisnya lagi.

DPR telah mengesahkan UU Pilkada dengan mengembalikan mekanisme pemilihan lewat DPRD. Keputusan ini diambil melalui mekanisme voting yang dimenangkan Koalisi Merah Putih pendukung pilkada lewat DPRD. /detik.com

RUU Pilkada: Voting, Kepala Daerah Dipilih DPRD


Jakarta - Voting RUU Pilkada telah selesai digelar. Hasilnya, mayoritas anggota DPR yang hadir di paripurna memberikan suaranya untuk mengembalikan pemilihan pilkada lewat DPRD.

Voting digelar di ruang rapat paripurna Gedung DPR, Senayan, Jumat (26/9/2014) dini hari. Ada dua opsi, yaitu pilkada langsung atau lewat DPRD.

Ada 361 anggota DPR yang mengikuti voting ini. Hasilnya, 135 anggota DPR mendukung pilkada langsung dan 226 mendukung pilkada lewat DPRD.

Berikut detailnya:

Golkar
Langsung 11 orang
DPRD 73
Abstain 0

PDIP
Langsung 88
DPRD 0
Abs 0

PKS
Langsung 0
DPRD 55
Abs 0

PAN
Langsung 0
DPRD 45
Abs 0

PPP
Langsung 0
DPRD 32
Abs 0

PKB
Langsung 20
DPRD 0
Abs 0

Gerindra
Langsung 0
DPRD 22
Abs 0

Hanura
Langsung 10
DPRD 0
Abs 0

FPD
Langsung 6
DPRD 0
Abs 0

Total
Langsung 135
DPRD 226
Abs 0

"Dengan demikian opsi yang dipilih adalah pemilihan lewat DPRD," tutup Priyo.

Lalu Mendagri Gamawan Fauzi diminta memberi tanggapan. Tok! Pimpinan rapat Priyo Budi Santoso mengetok palu dan RUU Pilkada disahkan. /detik.com

Aksi Maksa: Orang Kafir Dilarang Pimpin Jakarta

Massa Pendemo Ahok:Orang Kafir Dilarang Pimpin Jakarta
Tribunnews.com/Taufik Ismail
FPI dan beberapa ormas melakukan aksi demo menolak Ahok sebagai Gubernur DKI di Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (24/9/2014). 
JAKARTA - Massa  yang tergabung dalam beberapa ormas, yaitu Front Pembela Islam dan Forum Betawi Bersatu melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (24/9/2014).
Massa yang datang sekitar pukul 11.30 WIB, mayoritas mengenakan pakaian serba putih ini menolak Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI.
Mereka melakukan aksi dengan membawa perangkat aksi seperti dua spanduk sepanjang 1,5 meter bertuliskan "Menolak Keras Ahok Menjabat Sebagai Gubernur DKI Jakarta Karena Arogan".
Selain itu, mereka membawa bendera dan kertas yang bertuliskan, "umat Islam Jakarta Tidak Butuh Ahok Yang Bacotnya Busuk". Selain itu, mereka juga memakai topeng bergambar wajah Ahok.
Orator mulai berteriak, menyampaikan aspirasinya kepada DPRD DKI bahwa mereka tidak ingin mantan Bupati Belitung Timur ini maju sebagai Gubernur.
"Orang kafir dilarang pimpin Jakarta. Gubernur Jakarta harus beragama Islam, sebab mayoritas masyarakat Jakarta beragama Islam," kata orator.
Ketika orator sedang berorasi kurang lebih 20 menit, sejumlah peserta aksi tampak berteduh sambil duduk-duduk di pedestrian. Diantaranya ada yang minum kopi sambil merokok.
Melihat banyak yang berteduh, orator yang terjemur sinar matahari di tengah Jalan Kebon Sirih memarahi mereka.
"Ayo laskar jangan malah berteduh. Itu ada yang ngopi, ada yang merokok! Kita di sini panas-panasan. Jangan berteduh di situ," teriak orator.
Aksi tetap berlanjut. Mereka terus meneriakkan aspirasi mereka menentang Ahok. Peserta aksi pun menutup sebagian besar Jalan Kebon Sirih. Akibatnya, lalu lintas yang mengarah dari Jalan Sabang menuju ke Kebon Sirih macet. /Tribunnews.com

Rumah Sakit Luwuk Nyaris Menjadi Pasar



Luwuk - Rumah sakit harusnya menjadi tempat perawatan yang aman, nyaman dan asri bagi pasien maupun tempat bekerja bagi para medis. Secara psikologis suasana tersebut akan mendukung proses pemulihan bagi pasien dan kenyamana kerja para medis. Tapi apa jadinya bila rumah sakit nyaris menjadi lahan jual beli makanan dan pakaian yang seharus itu terjadi di pasar ?



Fenomena menarik diatas terjadi di salah satu rumah sakit milik Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai. Para pedagang secara bebas menjajakan dagangannya berupa makanan dan pakaian di tepi koridor (jalan penghubung) antar ruangan, tanpa ada larangan dari pihak pengelola rumah sakit tersebut.





/MN

Sikap SBY Dukung Pilkada Langsung, Demokrat Berubah Sikap


JAKARTA – Ketua Harian Partai Demokrat (PD) Syarief Hasan menegaskan partainya mendukung pemilihan langsung yang sudah berjalan selama 10 tahun.Menurut dia, demokrasi di Indonesia harus terus tumbuh dan berkembang jangan sampai mengalami kemunduran.
"Dua hari   lalu, Pak SBY selaku Ketua Umum sudah menjelaskan keputusan dan pendapat tentang RUU Pilkada. PD berpendapat bahwa proses demokrasi yang sudah dilakukan 10 tahun patut untuk kita perlihara dan lanjutkan. Namun, dengan beberapa perubahan-perubahan," kata Syarif kepada wartawan di kantor DPP Partai Demokrat, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2014).
Syarif mengatakan, pertumbuhan demokrasi di Indonesia yang telah dikawal oleh Presiden SBY harus tetap dilanjutkan. Ada beberapa kelemahan dalam pilkada langsung, namun menurutnya ada kelemahan dalam pilkada langsung, namun kelemahan itu bisa diperbaiki.
"Banyak ekses yang berdampak negatif pada masyarakat di sisi ekonomi, sosial dan budaya, begitu juga di keutuhan. Semua ekses-ekses negatif tersebut pada dasarnya PD menginginkan agar dilakukan perbaikan, penyempurnaan," katanya.
Dirinya berharap dengan beberapa penyempurnaan, proses pemilukada bisa berjalan lebih sempurna lagi. Syarif menambahkan, dukungan PD juga merupakan perwujudan implementasi UUD 1945. Selain itu, PD juga ingin mempertahankan semangat reformasi, dan tak kembali ke masa lalu.
"PD sangat berkeinginan bahwa pemilu yang sudah demokratis dilakukan, pada prinsipnya itu adalah pemilu yang betul-betul diinginkan rakyat karena sifatnya demokratis," katanya. /tribunnews.com

Bupati dan Walikota Se-Indonesia Tolak Pilkada Lewat DPRD



Jakarta: Bupati dan wali kota seluruh Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menggelar rapat koordinasi nasional luar biasa. Ketua Umum Apkasi Isran Noor menegaskan bahwa ini merupakan sikap penolakan dari para bupati dan wali kota sebagai representasi masyarakat di daerah terhadap wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

"Mengembalikan mekanisme pemilihan Kepala Daerah kepada DPRD merupakan langkah mundur bangsa ini dalam berdemokrasi. Lebih dari itu, menyerahkan pilkada ke DPRD sama saja merampok kedaulatan politik rakyat," kata Isran di Hotel Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2014).

Menurutnya sikap tegas yang diambil oleh Apkasi dan Apeksi menolak pilkada melalui DPRD sebetulnya sudah beberapa kali disampaikan kepada pemerintah (Presiden RI dan Kementerian Dalam Negeri), Komisi II, dan Panja RUU Pilkada di DPR RI. Namun, masukan tersebut tidak mendapat perhatian serius.

Hal itu terlihat dari aturan pilkada oleh DPRD dalam RUU Pilkada masih terus bergulir, serta memiliki kemungkinan akan tetap masuk hingga RUU disahkan pada akhir massa sidang DPR, 25 September mendatang.

"Selain untuk mempertegas sikap penolakan kami terhadap ketentuan pilkada dipilih DPRD, rakornas ini juga akan mengonsolodasikan langkah-langkah apa yang akan ditempuh Apkasi dan Apeksi pascapengesahan RUU Pilkada yang masih memuat aturan pilkada dipilih oleh DPRD," kata Isran. Ia pun membenarkan pihaknya bakal melakukan judicial review ke MK.

Senada dengan Isran Noor, Ketua Umum Apeksi Vicky Lumentut menyayangkan jika aturan pilkada diserahkan kembali ke DPRD. Dengan itu, para bupati dan wali kota akan kembali tersandera oleh kepentingan partai di DPRD.

"Jangan heran, jika nantinya para bupati dan wali kota tidak akan optimal bekerja membangun daerah karena sibuk direcoki oleh DPRD," kata Vicky.
PR/Metrotvnews.com

RUU Pilkada: Ini Posisi Fraksi, Pemerintah dan DPD di RUU Pilkada


Ini Posisi Fraksi, Pemerintah dan DPD di RUU Pilkada
TRIBUNNEWS.COM/ DANY PERMANA
Gedung DPR RI Senayan Jakarta



JAKARTA - Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) digelar hari ini. Pemerintah diwakili Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Djohermansyah Johan.
Dalam rapat di Gedung DPR, Selasa (9/9/2014), fraksi-fraksi bersama pemerintah dan DPD mengeluarkan pandangan terhadap RUU tersebut. Hasil sikap dari pemerintah, fraksi serta DPD meliputi sejumlah poin:

1. Mekanisme pemilihan kepala daerah gubernur dan bupati/wali kota
Pemerintah menyetujui pilkada gubernur, bupati/wali kota dipilih langsung. Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi Partai Golkar (FPG), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) serta Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (FGerindra) mengusulkan agar pilkada gubernur, bupati/wali kota dipilih oleh DPRD.
Sedangkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (FHanura) selaras dengan sikap pemerintah. DPD mendukung pilkada gubernur dipilih langsung. Sedangkan untuk pilkada bupati/ wali kota melalui DPRD.

2. Satu paket/tidak satu paket kepala daerah atau wakil kepala daerah
Pemerintah mendukung agar kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak satu paket. Usulan ini juga disetujui FPD, FPG, FPDIP, FPAN, FPPP dan DPD. Sedangkan, FPKS, FPKB, FGerindra dan FHanura yang berharap agar pilkada tetap satu paket.

3. Pilkada serentak
Pemerintah mendukung pilkada serentak digelar pada 2015 dan 2018. Seluruh fraksi dan DPD juga menyepakati pelaksanaan pilkada serentak. Hanya dari FPDIP dan FPPP yang berharap agar pilkada serentak berlangsung pada 2015, 2018, dan 2019.

4. Penyelesaian sengketa hasil pilkada
Pemerintah, FPD, FPG, FPDIP, FPKS, FPAN, FPPP mendukung agar penyelesaian sengketa hasil melalui jalur Mahkamah Agung untuk pilkada.
Sementara FPKB, FHanura dan DPD merekomendasikan agar Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mengurus sengketa hasil pilkada. FGerindra justru mengusulkan penyelesaian hasil melalui Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).

5. Dana penyelenggaraan Pilkada
Pemerintah bersama Demokrat, Golkar, PAN, Gerindra dan DPD setuju dibebankan ke APBN. Sedangkan PDIP, PKS, PPP, PKB dan Hanura dibebankan kepada APBD.

/tribunnews.com

Ini 5 Alasan Kenapa Sistem Pilkada Lewat DPRD Harus Ditolak




Jakarta
 - Sistem Pilkada lewat DPRD yang diusung Koalisi Merah Putih mendapat penolakan dari sejumlah pihak. Ada yang menilai langkah ini berpotensi menimbulkan korupsi baru, ada juga yang menganggap ini langkah mundur dalam demokrasi. Saatnya publik bergerak!

Koalisi Merah Putih yang digawangi partai-partai pengusung Prabowo-Hatta dalam Pilpres lalu memang paling ngotot ingin mengembalikan sistem Pilkada ke DPRD. Padahal sebagian partai di koalisi itu, seperti PKS dan PAN, sempat mengusulkan Pilkada langsung. Sikap itu kemudian berubah ketika Pilpres usai.

Melihat dominasi mereka di parlemen, bukan tidak mungkin usulan tersebut akan disahkan menjadi undang-undang dalam waktu dekat. Padahal, sejumlah tokoh reformasi dan antikorupsi menilai ini adalah langkah mundur dalam demokrasi.

Berikut lima alasan kenapa Pilkada lewat DPRD harus ditolak:

1. Berpotensi Jadi Lahan Korupsi DPRD

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyebut, dengan Pilkada sistem perwakilan, maka suara rakyat dialihkan kepada anggota DPRD. Dengan sistem ini, anggota DPRD memiliki posisi tawar yang jauh lebih tinggi di depan si kepala daerah.

Begitu pemerintahan sudah berjalan, anggota DPRD bisa dengan mudah meminta uang dengan dalih untuk memuluskan program yang diajukan kepala daerah. Pola ini sebenarnya sudah jamak terjadi, namun dengan sistem perwakilan kepala daerah berada dalam posisi sangat terpojok.

Dan dalam masa pemerintahannya, si kepala daerah sangat mungkin untuk terus-terusan dimintai uang oleh legislator, entah itu terkait program yang diajukan atau karena imbas perjanjian pada saat Pilkada dilakukan.

"Pilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan korupsi demokrasi. Walaupun dengan dalih apapun. Kepala daerah terpilih potensial ATM anggota DPRD setempat. Anggota DPRD merasa lebih leluasa memeras kepala daerahnya," ujar Busyro.

Pola yang kedua ini merupakan skema yang lebih besar. Jika dalam sistem Pilkada langsung, pihak swasta yang hendak mendapatkan izin cukup memberikan uang pelicin kepada kepala daerah, dengan sistem perwakilan peta rasuah menjadi lebih luas.

Para anggota DPRD -- para pihak yang memilih si kepala daerah dalam pilkada -- berpotensi kuat akan ikut serta dalam proses tersebut. "Praktik korupsi di Kepala Daerah tingkat II untuk Izin Usaha Pertambangn (IUP) akan semakin parah dan semakin rentan karena korporasi tambang lebih mudah menyogok anggota DPRD," ujar Busyro.



2. Orang-orang Hebat Tak akan Terpilih

Masalah lain yang bisa timbul bila Pilkada lewat sistem perwakilan DPRD adalah calon yang diusung tak akan berkualitas. Sangat sulit menemukan orang-orang hebat seperti yang saat ini sudah muncul.

Menurut anggota Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari, sosok sekaliber Gubernur DKI Joko Widodo‎, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, atau juga sosok seperti Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (Emil) bakal tak muncul lagi bila lewat Pilkada DPRD.

Prognosis ini didasarkan atas catatan kelam indeks korupsi yang marak dilakukan politisi, dari tingkat pusat hingga daerah. Eva menjelaskan, Indonesia belum siap untuk menyelenggarakan Pilkada langsung karena praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih sering ditemui, tak terkecuali di tingkat DPRD yang digadang pihak Koalisi Merah Putih bakal menjadi 'eksekutor' Pilkada.

Wagub DKI Basuki Tjahaja Purnama juga mengungkapkan hal senada. Ahok menilai, dirinya tak akan terpilih bila digelar Pilkada lewat DPRD.

“Saya sih penginnya yang (Pilkada) langsung. Kalau (lewat) DPRD enggak akan pernah Ahok jadi kepala daerah dari dulu,” kata kader partai Gerindra itu.



3. Bakal Muncul 'Penjajahan' Baru
Menurut Basuki Tjahaja Purnama, pelaksanaan Pilkada bukan hanya dilihat dari nominal dana yang dikucurkan. Ia menilai Pilkada yang melalui DPRD akan menimbulkan 'penjajahan berskala regional' oleh anggota dewan pada kepala daerah yang terpilih.

"Nanti semua kepala daerah bisa dikontrol dari oknum DRPD. Dikit-dikit dipanggil, tanggung jawab lagi semua. Dijajah lagi kayak dulu. Kalau zaman Pak Harto kan gampang, satu partai. Kalau sekarang, ada banyak partai ya mati," ujarnya.

Faisal Basri juga berpendapat senada. Mantan peserta Pilgub Jakarta dari jalur independen ini menilai sistem ini justru menodai reformasi dan mengarah ke percaloan.

Dia mengatakan sistem ini jelas lebih merupakan siasat balas dendam sejumlah fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Menurutnya, dengan 63 persen suara secara nasional di parlemen, maka potensi menguasai seluruh daerah provinsi hingga kabupaten bisa terealisasi.

"Jadi suara Koalisi Merah Putih adalah 63 persen secara nasional. Nah, koalisi Jokowi JK kan cuma 37 persen. 63 persen katakanlah seluruh provinsi kabupaten itu sama proporsinya. Jadi kalau pemilihan kepala daerah lewat DPRD mereka pasti menang," ujar pengamat ekonomi asal Universitas Indonesia itu.



4. Pilkada Langsung Tak Mahal
Pilkada langsung diklaim Koalisi Merah Putih menelan biaya tinggi. Padahal, menurut testimoni para calon yang pernah maju, tidak. 

Faisal Basri pernah maju sebagai calon independen dalam Pilgub DKI. Dia menepis anggapan Pilkada tidak langsung maka bakal menghemat anggaran biaya. Selain itu, dia juga tidak setuju karena sistem tidak langsung otomatis menghapus peluang calon dari independen.

"Jadi kita enggak bisa ngoreksi lagi. Enggak ada calon independen lagi, itu otomatis. Ini juga bukan hemat-hematan. Dia tahu porsinya 63 persen, kalau dia cara ini di DPRD bisa dikuasai semua. Nanti gubernur sampai kepala daerah semua dikuasai," sebutnya.

Wagub DKI Basuki Tjahaja Purnama juga menilai biaya pilkada langsung tak terlalu tinggi. Mereka yang jor-joran justru karena ingin menyogok.

Menurutnya, anggaran yang harus dikeluarkan calon kepala daerah sifatnya sangat bergantung pada kebutuhannya. Ia mengaku selama maju sebagai kepala daerah di Belitung Timur, Bangka Belitung hingga maju di Jakarta tak pernah mengeluarkan anggaran yang besar.

Lebih jauh, ia menyebut anggaran besar yang disiapkan seorang calon kepala daerah karena niat untuk bermain curang.

"Aku juga nggak mahal. Nggak keluar duit kok. Lu aja bego mau mahal-mahal nyogok. Kalau nggak mau nyogok mah murah saja," ucapnya.

Gubernur DKI Jokowi juga mengatakan, bila pilkada langsung dihapus, maka tidak ada calon miskin yang bakal menang jadi pemimpin daerah.



1. Menyalahi UUD

Pemilihan kepala daerah menjadi wacana perdebatan dalam RUU Pilkada yang sedang digodok DPR. Jika sistem politik Indonsia menganut presidensial, maka kepala daerah seyogianya dipilih secara langsung oleh rakyat. Bukan perwakilan melalui DPRD.

"Tafsir terhadap pasal 18 ayat 4 UUD itu harus komprehensif. Kita ini kan menganut sistem presidensial, di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Dalam presidensil, maka mekanisme yang sama juga harus diterapkan pada lembaga eksekutif di bawahnya, provinsi dan kabupaten kota," ujar Ketua Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.

Menurut dia, tidak ada di dunia ini negara yang presidennya dipilih langsung, namun lembaga eksekutif di bawahnya dipilih tidak langsung. Penerjemahan terhadap pasal 18 ayat 4 soal pemilihan secara demokratis harus diterapkan secara konsisten, tidak setengah-setengah.

"Dalam sistem presidensial dan otonomi daerah, produk otonomi daerah itu kan DPRD dan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita akan menghadapi problem legitimasi jika kepala daerah dipilih tidak secara langsung," jelasnya.

Titi juga menolak argumentasi soal biaya politik yang tinggi jika pemilihan dilakukan secara langsung. Menurut dia, tidak fair jika membenturkan antara hak-hak warga negara untuk menentukan pemimpinnya secara langsung dengan biaya politik. Padahal wacana soal biaya politik sudah pernah dibahas di DPR dan menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menekan biaya politik. Salah satunya dengan pilkada langsung serentak.

"Nah, kenapa tidak ini yang didorong soal pilkada langsung serentak. Ini yang bisa tekan biaya politik yang tinggi. Kalau melalui DPRD, ini langkah mundur demokrasi," terangnya.

Rencananya, Koalisi Masyarakat Sipil akan menggugat keputusan ini ke MK bila disahkan.


(mad/nrl) /detik.com


Buku " Misteri Borobudur " Menguak Sejarah dan Misteri Candi Borobudur Secara Obyektif

Cover buku "Misteri Borobudur " penulis Seno Panyadewa  | facebook.com/salahuddingh


MISTERI BOROBUDUR 

Buku dengan judul "Misteri Borobudur" yang ditulis oleh Senyo Panyadewa merupakan sanggahan terhadap tulisan KH. Fahmi Basya dalam bukunya berjudul "Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman" yang telah beredar dipasaran.Candi Borobudur semenjak lama diyakini sebagai peninggalan Dinasti Sailendra dari Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke-8. Lalu ada seseorang bernama KH. Fahmi Basya yang mencetuskan sebuah teori bahwa Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman dan Indonesia adalah Negeri Saba. Ia mengklaim memiliki bukti-bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung teorinya. Benarkah demikian?

Menurut Shalahuddin Gh dalam akun facebook-nya, "buku ini memang tidak semestinya terbit jika buku KH. Fahmi Basya tidak bertahan di pasar. Seharusnya buku KH. Fahmi Basya “Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman” ditarik dari peredaran karena itu sebentuk pembodohan. Sebuah produk yang berbahaya bagi konsumen, baik terkait fisik ataupun mental, sudah seharusnya ditarik dari peredaran. Karena otoritas-otoritas yang seharusnya bisa menarik peredaran buku itu tinggal diam, dengan tentu saja melakukan uji materi atas teori KH. Fahmi Basya sebelumnya".

Teori bahwa Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman dikupas tuntas di buku ini. Bukti-bukti yang diajukannya diperiksa kebenarannya satu demi satu. Seno Panyadewa juga membandingkan bukti-bukti dari berbagai penelitian ilmiah apakah Candi Borobudur peninggalan Dinasti Sailendra ataukah Nabi Sulaiman. Bahkan bukti-bukti mengenai lokasi sebenarnya Negeri Saba juga dibahas. 

Tak hanya mengupas tentang kejanggalan-kejanggalan dalam teori Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman, buku ini juga membahas secara mengesankan perihal sejarah Borobudur, sejarah agama Buddha dan Hindu pada saat itu, serta analisis tentang ikonografi, arsitektur, dan simbol-simbol pada Borobudur. Tak pelak, buku ini akan memampukan Anda untuk memberikan penilaian yang lebih akurat dan objektif mengenai sejarah dan misteri yang menyelimuti monumen agung bernama Borobudur.

-----------------------------------------------
ISBN: 978-979-1701-17-4
Harga Rp 60.000,- (256 hlm.)
Penerbit: Dolphin (www.penerbitdolphin.com)
Email: penerbitdolphin@yahoo.com
-----------------------------------------------

Shalahuddin Gh menyampaikan bahwa buku ini akan diterbitkan pada 10 September 2014 dan bila ada yang berminat pada buku ini bisa dipesan sekarang juga. Hubungi Muhammad Bagus Salim Muharrom untuk pemesanan. Atau bisa pesan melalui email penerbitdolphin@yahoo.com, HP: 08176636601, dan PIN BB: 279A678D.



*MN

RUU Pilkada: 4 Ketakutan Partai Pendukung Pilkada Lewat DPRD






Deputi Sekretariat Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz menganalisa penyebab partai yang menginginkan kepala daerah (kada) tidak dipilih secara langsung tapi dikembalikan lagi ke DPRD. Selain karena ada agenda yang terselubung, juga karena didasari ketakutan.
"Partai pendukung Kada dipilih DPRD adalah partai penakut," kata Masykurudin dalam keterangan persnya kepada JPNN, Minggu (7/9).
Masykurudin menyebutkan ada empat ketakutan yang dimaksudnya. Ketakutan pertama; takut dekat dengan pemilih. Pilkada langsung adalah kesempatan besar partai ditingkat lokal untuk saling mendekatkan dalam berkomunikasi politik dengan pemilih. Masa kampanye dalam ‎Pilkada adalah masa penting bagaimana partai politik membuktikan diri kedekatannya dengan pemilih.
"Dengan mengembalikan Pilkada ke DPRD, partai takut akan sikap kritis pemilih yang cerdas dalam menentukan pilihan politiknya," katanya.
Ketakutan kedua adalah partai politik takut dievaluasi. Pada level eksekutif, adalah hak pemilih untuk memberikan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan. Bila pemilih menilai selama kepemimpinannya partai daerah dipandang buruk, maka hak bagi pemilih untuk tidak lagi memilih calon dari partai tersebut. Dengan mengembalikan Pilkada ke DPRD, berarti partai takut akan adanya evaluasi publik atas kinerja pemerintahannya.
Sedangkan ketakutan ketiga; partai politik takut menjadi partai terbuka. Dalam Pilkada langsung, aspek keterbukaan dari partai menjadi salah satu kunci kemenangan. Semakin partai membuka diri terhadap proses pencalonan yang menyerap aspirasi maka semakin membuka peluang menang. Bila Pilkada kembali ke DPRD, maka partai ketakutan terhadap apa yang terjadi di internal partai politik yang sesungguhnya adalah lembaga publik.
Ketakutan keempat adalah partai politik takut dipantau. Dalam proses Pilkada langsung, elemen organisasi masyarakat sipil mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kualitas demokrasi ditingkat lokal. Kontrak-kontrak politik yang dibangun antara pemilih dengan calon yang didukung partai adalah bagian penting untuk membangun akuntabilitas pemerintahan.
"Bila Pilkada kembali ke DPRD, maka partai politik ketakutan terhadap pemantauan kinerja pemerintahan dari elemen masyarakat sipil tersebut," pungkas Masykurudin.
Seperti diketahui, partai yang menginginkan kada dipilih DPRD merupakan Koalisi Merah Putih (KMP) yang merupakan partai pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. PKS yang juga tergabung dalam KMP tiba-tiba berbalik arah, meski sebelumnya dalam pembahasan RUU Pilkada menolak sistem pemilihan DPRD. (awa/jpnn) /jpnn.com




RUU Pilkada : DPRD Pilih Kepala Daerah, Praktek Korupsi Semakin Parah


 



Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menilai praktek korupsi semakin rentan dilakukan kepala daerah hingga tingkat II jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Menurut Busyro, jika kepala daerah dipilih DPRD, korporasi akan cenderung lebih mudah menyogok anggota DPRD dan anggaota DPRD jadi lebih leluasa memeras kepala daerah.
"Praktek korupsi di kepala daerah tingkat II untuk IUP (ijin usaha pertambangan), akan semakin parah, dan semakin rentan karena korporasi tambang lebih mudah nyogok anggota DPRD dan sebaliknya anggota DPRD merasa lebih leluasa memeras kepala daerahnya," kata Busyro melalui pesan singkat, Minggu (7/9/2014).
Selain itu, menurut Busyro, pemilihan kepala daerah oleh DPRD justru merampas hak demokrasi rakyat. Sebagai subyek hukum, kata dia, rakyat mememiliki hak politik yang harus dihormati.
"Jika selama ini parpol melakukan pendidikan politik dengan benar tentang hak-hak asasi sipil politiknya, maka rakyat akan marah jika hak-haknya dipangkas," sambung Busyro.
Dia mengatakan, pemberantasan korupsi sangat memerlukan peran aktif masyarakat. KPK, menurut Busyro, sudah mencegah praktek korupsi di daerah melalui program-program kerja bersama dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Dengan demikian, kata dia, alangkah cantiknya jika beberapa fraksi di DPR tidak memaksakan kehendak mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD dengan dalih pemilu langsung boros anggaran.
Saat ini, usulan pemilihan kepala daerah melalui DPRD tengah dibahas oleh Panja Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) dengan Kementerian Dalam Negeri. Fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih sepakat pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Sementara itu, Fraksi PDI-P, Hanura, dan PKB tetap menginginkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. /kompas.com




RUU Pilkada : Faisal Basri: Itu Strategi Bangsat, Menodai Reformasi

 
Pengamat ekonomi Faisal Basri mengkritik keras usulan pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Usulan tersebut masuk dalam RUU Pilkada yang sedang dibahas DPR RI.

Dalam rancangan undang-udang tersebut, pemerintah mengusulkan agar pemilihan kepala daerah tidak langsung melainkan DPRD. Namun, hingga pembahasan saat ini usulan pemilihan kepala daerah lewat DPRD hanya untuk bupati atau walikota, sedangkan untuk gubernur diusulkan masih dilakukan secara langsung.

"Ini menodai reformasi," kata Faisal di Hotel Ibis, Jakarta, Minggu (7/9/2014).

Faisal mengingatkan, rakyat menuntut agar pemilihan dapat dilakukan secara langsung dan tidak melalui percaloan.

Ia menengarai, usulan tersebut ditunggangi koalisi Merah-Putih karena saat ini sebanyak 63 persen suara parlemen dikuasai koalisi tersebut, sedangkan kubu Jokowi-JK hanya menguasai sebanyak 37 persen.

"Kalau 63 persen di seluruh provinsi, lalu Pilkada lewat DPRD ya menang semua, jadi enggak perlu ada pemilu. Itu namanya bangsat," tegas Faisal.

Menurut Faisal, metode pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak berkaitan dengan penghematan anggaran. Menurutnya banyak cara anggaran dapat dihemat dalam penyelenggaraan Pilkada.

"Itu kan balas dendam saja, itu strategi bangsat, maaf tidak ada lagi kata yang halus selain bangsat. Rakyat tidak bisa mengoreksi pemerintahan. Tidak ada calon independen lagi," kata Faisal.

Faisal mengatakan bila DPR akhirnya mengesahkan RUU tersebut, ia yakin banyak kelompok masyarakat melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

"Ini akan maju ke MK, bukan saya saja tapi kelompok masyarakat. Kita bawa sama-sama ke MK," ujar Faisal.
(Ferdinand Waskita) /kompas.com

Menlu AS Desak Pengusutan Otak Pembunuhan Munir




Memperingati 10 tahun tewasnya Munir, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, mendesak pemerintah Indonesia untuk menegakkan keadilan dan menghukum pelaku pembunuhan aktivis hak asasi manusia Indonesia itu.
"Hingga hari ini keadilan belum ditegakkan. Upaya menyeret mereka yang diduga bertanggung jawab ke muka hukum juga masih belum tercapai," ujar Kerry dalam pernyataan tertulis yang dikeluarkan Sabtu (6/9/2014).
Kerry menambahkan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 mengakui bahwa penyelesaian menyeluruh kasus pembunuhan Munir merupakan ujian penting bagi demokrasi Indonesia.
"Hingga hari ini pernyataan itu masih tepat. Amerika mendukung semua upaya untuk membawa orang-orang yang memerintahkan pembunuhan Munir ke muka hukum," ujar dia.
Kerry mengatakan, Munir adalah suara hati nurani dan kejernihan berpikir yang telah menjadi inspirasi bagi aktivis, ilmuwan, dan pelayan publik yang kini sedang berjuang memajukan Indonesia.
"Hari ini Amerika bersama rakyat Indonesia memperingati warisan Munir Said Thalib dan kami menyerukan perlindungan bagi semua pihak yang bekerja demi perdamaian, demokrasi, dan hak asasi manusia di seluruh dunia," ujar Kerry dalam akhir pernyataan.
Munir meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia menuju Amsterdam pada 7 September 2004 dalam perjalanan untuk menempuh pendidikan S2 di Utrecht, Belanda.
Dalam penyelidikan diketahui ia meninggal tak wajar. Otopsi yang dilakukan pemerintah Belanda atas jenazah almarhum mendapati racun arsenik dalam kadar mematikan di dalam tubuhnya.
Munir memang dikenal tidak pernah takut memperjuangkan HAM dan sering membuat pihak yang dikritiknya gerah. Ia pernah melawan Kodam V Brawijaya ketika memperjuangkan kasus kematian Marsinah, aktivis buruh di Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan disiksa dengan brutal hingga tewas.
Munir juga tak gentar menyelidiki kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta pada masa reformasi 1997-1998, termasuk kasus penembakan mahasiswa di Trisakti (1998), Semanggi (1998 dan 1999) hingga pelanggaran HAM semasa referendum Timor Timur (1999).
Presiden Yudhoyono pada 23 Desember 2004 membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir yang diketuai petinggi Kepolisian saat itu, Brigjen (Pol) Marsudi Hanafi, dan melibatkan sejumlah masyarakat sipil.
Setahun kemudian polisi resmi menetapkan pilot Garuda Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai tersangka pembunuh Munir. Dalam sidang pengadilan, hakim Cicut Sutiarso menyatakan Pollycarpus, yang sedang cuti dan sempat bertukar tempat duduk dengan Munir dalam penerbangan dari Jakarta-Singapura, menaruh arsenik dalam makanan Munir karena ingin membungkam aktivis itu. Pollycarpus dijatuhi vonis 14 tahun penjara.
Tiga tahun kemudian, pada 19 Juni 2008, Mayjen (Purn) Muchdi PR, mantan petinggi Badan Intelijen Negara (BIN), juga ditangkap karena diduga menjadi otak pembunuhan Munir. Sejumlah bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya, tetapi pada akhir 2008 Muchdi divonis bebas. Vonis yang kontroversial ini kemudian ditinjau ulang dan tiga hakim yang memvonisnya kini diperiksa pihak berwenang.

Sejak pembunuhan Munir, para aktivis HAM di Indonesia memperingati tanggal 7 September sebagai Hari Pembela HAM Indonesia./kompas.com

RUU Pilkada: Tolak Pilkada Dipilih DPRD, Jumhur Galang Aktivis Gerakan dan Buruh


Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh DPRD kini terus bergulir. DPR diyakini bisa mensahkan sebelum masa jabatan anggota dewan periode 2009-2014 berakhir.

Namun saat ini, RUU tersebut mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan termasuk para aktivis. Penyebabnya, pemilihan kepala daerah secara tidak langsung dan diwakilkan kepada DPRD dianggap telah mencederai hak-hak politik rakyat dan cita-cita reformasi.

“Kami para aktivis dari berbagai elemen dan buruh menolak keras RUU yang mencederai rakyat dan cita-cita reformasi yang telah ditebus dengan darah dan air mata para pahlawan reformasi, ” kata aktivis dan pegiat demokrasi, Moh Jumhur Hidayat dalam prolog perlawanan rakyat di Taman Ismail Marzuki, Cikini,  Jakarta, Minggu (7/9).

Menurut Jumhur, gerakan yang sedang digagas dan dimatangkan ini adalah untuk menyadarkan, bahwa bila RUU itu disahkan maka konsekuensinya adalah, bakal tumbuh subur seperti jamur di musim hujan, berbagai praktik korupsi, politik uang. Serta yang bisa mencalonkan Kepala Daerah hanyalah kaum berduit saja.

“Jika RUU pemilihan kepala daerah oleh DPRD disahkan, sama saja kita akan kembali kepada zaman jahiliyah dan sarat korupsi dan segala tindak yang merugikan kepentingan rakyat, ” tandasnya.

Saat ini, pilkada langsung dianggap meneguhkan kedaulatan rakyat dan menguatkan demokrasi. Jika ada dampak negatif, masih bisa dibenahi dan menjadi tanggungjawab kita semua untuk memperbaikinya. Bila politik uang masih terjadi, bisa dibuatkan sistem penataan pemilu menyeluruh.
“Intinya, pilkada langsung memberi peluang munculnya pemimpin yang baik dan berkualitas,” ujarnya.

Seharusnya DPR sekarang menghormati perjuangan bangsa yang sepakat menggunakan pemilu langsung. Argumentasi bahwa pilkada langsung menimbulkan konflik horizontal, sangat tidak tepat. Sebab, jumlah korban akibat konflik horizontal terus berkurang.

"Itu alasan yang tidak rasional dan tidak ada argumentasi. Justru akan mengkhianati rakyat itu sendiri dan hanya menguntungkan segelintir elit semata. Tapi gerakan yang sedang digagas murni, tidak ada kaitannya dengan pemilu presiden dan pihak tertentu, ” akunya.

Pilkada tidak langsung merupakan kemunduran demokrasi. Pengusung sangat subjektif dan menghina rakyat karena dituding sebagai alasan ongkos politik mahal. Ongkos pilkada menjadi mahal disebabkan mental dan watak serakah politikus.
Selama ini, pemilihan langsung masih terjadi banyak kekurangan, menurutnya pemilihan langsung oleh rakyat penting untuk dipertahankan. Demokrasi Indonesia menurutnya membutuhkan pemilihan secara langsung.

“Pergerakan rakyat akan segera melakukan konsolidasi ke daerah-daerah untuk melakukan aksi unjuk rasa menolak RUU tersebut disahkan. Sekarang bukan saatnya diskusi, tapi aksi turun ke jalan dengan masif, ” seru Jumhur yang langsung disambut dengan yel-yel dukungan.

Turut hadir dalam prolog pergerakan rakyat menolak RUU tersebut, di antaranya Serikat Pekerja Nasional (SPN), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Mahasiswa dan pegiat demokrasi, serta Relawan Jkw-Jk maupun Relawan Prabowo-Hatta. [did] /rmol.co