KPK: Jelang Pilkada Serentak, Kepala Daerah Jangan Obral Bansos dan Dana Desa


KPK: Jelang Pilkada Serentak, Kepala Daerah Jangan Obral Bansos dan Dana Desa
Jakarta - Pendaftaran calon kepala daerah untuk mengikuti Pilkada serentak sepekan lagi dibuka. Beberapa kepala daerah pun akan kembali mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. 

KPK mengimbau agar para kepala daerah tidak mengobral dana bansos dan dana desa untuk dijadikan sarana kampanye.

"Kami imbau publik agar jangan sampai kepala daerah gunakan bansos dan bantuan daerah," kata Pimpinan KPK, Adnan Pandu Praja di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (23/7/2015).

Pandu mengingatkan, dana bansos dan dana desa saat ini sangat rawan diselewengkan para kepala daerah untuk alat kampanye. Jelang Pilkada, biasanya angka dana bansos yang digelontorkan kepala daerah akan meningkat berkali lipat.

"Jangan sampai terkait dengan implementasi UU Desa, dan terkait pembagian anggaran siswa miskin. Seperti kita tahu kan Sumut terkait dengan itu (bansos) juga," tegas Pandu.

KPK memberi warning kepada para kepala daerah yang kembali maju di Pilkada serentak agar tidak main-main dengan dana bansos dan dana desa. KPK tak akan ragu menangkap para kepala daerah yang menyalahgunakan dana bansos dan dana desa sebagai sarana kampanye gratis.

"Bahwa dengan preverensi kami tidak lakukan black campaign, maka kalau terpilih maka kami tidak ragu-ragu memproses," tutur Pandu. /detik.com

Kejati Bidik Anggota DPRD Sulteng


Palu – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah menyelidiki dugaan keterlibatan anggota DPRD  Sulawesi Tengah terkait dugaan korupsi bantuan sapi fiktif di salah satu kabupaten di daerah ini.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah, Johanis Tanak mengungkapkan, telah membentuk tim untuk menyelidiki kasus dugaan korupsi bantuan sapi tahun 2010 tersebut.
Dia menjelaskan, sapi bantuan tersebut tidak dinikmati oleh masyarakat yang seharusnya berhak menerima bantuan dari pemerintah.
Johanis Tanak menuturkan, dugaan korupsi tersebut melibatkan salah seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah berinisial ST.
Modus operandinya, kata dia yakni pada saat melakukan reses ke daerah pemilihan (dapil), para wakil rakyat menampung semua aspirasi masyarakat. Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat kemudian diperjuangkan untuk mendapatkan bantuan.
Alhasil, pemerintah mengalokasikan anggaran bantuan sosial (bansos) berupa pengadaan sapi tahun 2010 senilai Rp 1 miliar lebih untuk masyarakat di dapil anggota DPRD Sulteng berinisial ST tersebut. Namun, sapi bantuan itu tidak dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkannya, dan justru dipelihara untuk kepentingan pribadinya ST.
“Saat ini, kami sudah membentuk tim untuk mengusut dugaan korupsi bantuan sapi, dan sekarang sedang mengumpulkan barang bukti, kalau sudah lengkap maka akan dinaikan (ke tahap ke penyidikan),” kata Johanis Tanak disela syukuran Hari Bhakti Adhyaksa ke 55 di Palu, Rabu (22/7).
Diketahui, program pemerintah dengan memberikan bantuan ternak sapi bertujuan meningkatkan kesejahteraan peternak di desa. Johanis belum menjelaskan lebih detail kasus yang diduga melibatkan anggota DPRD Sulteng tersebut dengan alasan masih dalam proses penyelidikan. /metrosulawesi.com

Meneriakkan Hambalang dan Century




HIRUK pikuk kerap membuat perhatian publik teralihkan dari perkara-perkara besar yang belum tuntas. Munculnya kasus-kasus baru dengan berbagai bentuk kegaduhan tidak jarang juga membuat fokus para penegak hukum bergeser.
Di antara perkara besar yang belakangan seperti hilang dari perhatian publik ialah kasus Century dan Hambalang. Padahal, penyelesaian kedua kasus tersebut masih jauh dari tuntas. Kita ingat kedua megaskandal itu masih ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, dalam beberapa tahun terakhir kita melihat tak banyak kemajuan yang dicapai KPK dalam menyelesaikan kedua kasus tersebut.
Baik kasus Century maupun kasus Hambalang merugikan keuangan negara dalam skala fantastis. Karena itu, kita mengingatkan kembali KPK akan urgensi penuntasan kasus tersebut.
Banyaknya kasus baru yang bermunculan di era pemerintahan baru ini bisa saja telah menyita dan mengalihkan perhatian KPK. Akan tetapi, hal itu tentu tidak boleh membuat kita melupakan megaskandal penggelontoran dana Rp6,7 triliun ke Bank Century yang diduga sarat moral hazard.
Kita juga tidak bisa melepaskan begitu saja upaya penuntasan kasus Hambalang. Mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan sejumlah koleganya di partai itu memang telah divonis. Namun, keliru besar jika itu menjadi ukuran untuk menganggap kasus tersebut telah tuntas.
Kasus Century kita amati seperti jalan di tempat setelah Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya dijadikan tersangka dan kemudian divonis 15 tahun di tingkat Mahkamah Agung.
Kita semua mesti mengingatkan KPK mengenai pentingnya penyelesaian kedua megaskandal tersebut. Kita harus tetap berteriak agar KPK menuntaskan Century dan Hambalang di tengah kebisingan kasus-kasus lain.
Kita mencatat, semasa memimpin lembaga antirasywah itu, Ketua KPK Abraham Samad pernah mengemukakan pengungkapan kasus Century sulit, lebih sulit daripada kasus Hambalang. Abraham ketika itu mengibaratkan penanganan Century bagai mengusut peristiwa pembunuhan yang tempat kejadian perkaranya sudah berantakan. Kita tentu tidak bisa memberikan excuse kepada KPK untuk meloloskan dan melupakan begitu saja penyelesaian kasus Century, pun kasus Hambalang.
Di ujung masa kerja KPK periode ini rakyat ingin rnmenyaksikan komitmen kelembagaan KPK menuntaskan Century dan Hambalang. Inilah utang KPK secara kelembagaan. Penyelesaian Century dan Hambalang hendaknya juga menjadi komitmen para calon pemimpin KPK yang mengikuti proses seleksi.

Presiden Pertimbangkan Grasi untuk Antasari Azhar


  Mantan ketua KPK Antasari Azhar saat mendengarkan putusan sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan, Selasa (18/11).  (Republika/ Tahta Aidilla)
JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertimbangkan pemberian grasi kepada mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar yang divonis 18 tahun penjara.


"Kami diskusikan alasan atau pertimbangan kemanusiaan, persoalannya adalah ini nantinya keputusan Kepala Negara agar jangan sampai melanggar UU," kata Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Senin (13/7) malam.



Menkumham menyebutkan, jangka waktu pengajuan grasi Antasari Azhar sudah lewat batas waktu sehingga sesuai ketentuan pasal 7 ayat 2 UU tentang Grasi, maka MA memberi pertimbangan bahwa grasi tidak memenuhi syarat.



Sebelumnya Presiden Jokowi mengumpulkan sejumlah pejabat negara untuk membahas grasi kepada mantan Ketua KPK itu. Para pejabat negara itu antara lain Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, Kapolri Jenderal Pol Barodin Haiti, Jaksa Agung M Prasetyo dan Menkumham Yasonna Laoly.



"Kami sudah memberi masukan-masukan, nanti Presiden yang akan mengambil keputusan seperti apa," kata Yasonna.



Ia menyebutkan awalnya Antasari tidak pernah mau mengakui dan memang tidak mengaku bahwa dia melakukan apa yang dituduhkan dan kemudian menjadi dasar vonis.



"Tapi ini bukan soal mengaku atau tidak mengaku tapi beliau mendapat hukuman sangat tinggi dan saat ini beliau sakit-sakitan," katanya.



Ia mengaku sudah pernah mengunjungi Antasari Azhar di rumah sakit tempat mantan Ketua KPK itu dirawat.



"Pokoknya kita kasih petimbangan kepada Presiden, termasuk pertimbangan kesehatan, biarlah Presiden yang memutuskan, kami masing-masing Kapolri, Jaksa Agung, Menkopolhukam dan saya sendiri memberikan pendapat, biar presiden yang memutuskan seperti apa," kata Yasonna.



Antasari Azhar divonis 18 tahun penjara di PN Jaksel pada Februari 2010 dalam kasus pembunuhan terhadap bos PT Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Republika.co.id

PTTUN 'Menangkan' Golkar Kubu Agung dan PPP Kubu Romi

JAKARTA -- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta, memenangkan banding Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly.
Dua Majelis Hakim PT TUN menganulir dua putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait pembatalan SK Menkumham Kepengurusan Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
"Menyatakan gugatan Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima," demikian keterangan amar putusan Majelis Hakim PT TUN Jakarta yang disalin lewat web resmi PT TUN Jakarta, Jumat (10/7).
Amar putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim PT TUN Arif Nurdu'a untuk perkara banding Menkumham Yasonna atas putusan PTUN yang memenangkan kepengurusan Golkar versi Ketua Umum Aburizal Bakrie (ARB).
Sementara, Ketua Majelis Hakim PT TUN lainnya, Didik Andy Prastowo, membacakan putusan banding dalam putusan PTUN yang membatalkan SK Menkumham tentang keabsahan kepengurusan PPP versi Ketua Umum Muhammad Rohammurmuziy.
Dalam putusan yang diterima Republika, menyatakan,"Mencabut dan menyatakan tidak berlaku serta tidak memiliki kekuatan hukum lagi Penetapan Majelis Hakim PTUN bernomor 217/G/2014/PTUN-JKT," demikian isi putusan tersebut.
Itu artinya, dengan adanya dua putusan banding tersebut, mengembalikan keberlakuan dua SK Kemenkumham yang mengakui dua kepengurusan bertikai dalam Golkar dan PPP.
SK pertama, ialah pengakuan pemerintah terhadap kepengurusan PPP hasil muhktamar Surabaya. Sedangan SK kedua, ialah keabsahan kepengurusan partai Golkar yang dihasilkan dari musyarawah nasional (munas).
Untuk PPP, putusan PT TUN mengembalikan Rohammurmuziy sebagai ketua umum, dengan Sekertaris Jenderal (Sekjen) Aunur Rofiq.
Sedangkan Golkar, dengan komposisi Agung Laksono sebagai ketua umum, dengan Sekjen Zainuddin Amali. Dua kepengurusan partai tersebut, tercatat sebagai pembanding intervensi atas dua putusan PTUN Jakarta. /republika.co.id