Prabowo, Pintu Lain Rothschild Kuasai Tambang di Indonesia
Siapa sangka, di belakang tokoh yang gembar-gembor mengusung ekonomi
kerakyatan bernama Prabowo Subianto, calon presiden RI dari Partai
Gerindra (apabila kuota Presidential Threshold memenuhi), ada
kepentingan keluarga Rothschild untuk tujuan penguasan tambang-tambang
di Indonesia.
Bagaimana bisa? Bukankah Rothschild selalu mengedepankan kebebasan
pasar, investasi asing dan pemangkasan kekuasaan negara atas capital?
Ketika saya ke melancong ke Bali akhir tahun 2013, seorang teman dari
Amerika Serikat, beliau bekerja bersama George Friedman dalam lembaga
bernama Strategic Forecast atau yang lebih dikenal sebagai Stratfor.
Beliau katakan, para global bankers (termasuk Rothschild) menerapkan
pola kebebasan pasar untuk menaklukkan negara-negara Barat. Alasannya,
karena Barat adalah tempat mereka berasal, para global bankers itu,
sehingga siapapun yang menduduki kekuasaan jangan sampai menghalangi
kompetisi para pemilik modal.
Perlakuan berbeda diterapkan pada negara-negara Timur, khususnya yang
pernah dekat dengan ideologi Kiri atau Komunisme. Mereka, para global
bankers itu belajar pada kasus Rusia. Barat berhasil mendemokratisasi
Uni Soviet, memecah belah negara-negara di dalamnya, tetapi mereka tidak
mampu memenangkan sepenuhnya kompetisi di kawasan eks-Uni Soviet.
Kenapa?
Karena dengan mendemokratisasi dan memberikan kebebasan pasar, maka
kekuatan modal pribumi juga memiliki kesempatan yang sama untuk
berkompetisi dan berkongsi dagang, sehingga pada akhirnya penguasaan
penuh tidak dapat dilakukan.
Di sisi lain, pada negara-negara eks-komunis atau yang terpengaruh pada
ideologi kiri seperti Indonesia, terdapat karakter yang mendorong wacana
nasionalisasi atau wacana yang menolak produk-produk asing. Khususnya
ketika senjang ekonomi masyarakat sudah semakin jauh.
Kapitalis Barat juga belajar dari beberapa negara Amerika Latin yang
berhasil menasionalisasi sejumlah aset-aset Barat yang berarti kerugian
maha besar bagi para Global Bankers.
Belajar dari kasus Uni Soviet dan Amerika Latin, para global bankers
melihat perlunya dilakukan adaptasi terhadap pola untuk penguasaan
negara-negara berkarakter kiri tersebut. Solusinya adalah, perlunya
mengunci industri pada kekuasaan negara dan investasi asing dibuka
secara selektif.
Apa artinya ini?
Sebuah pasar yang eksklusif. Hanya investor yang menjadi “Sahabat atau
Strategic Partnership” kekuasaan negara saja yang bisa melakukan
investasi. Pola ini berhasil diterapkan para Global Bankers di China.
Dengan sistem investasi selektif seperti China, tidak semua investor
bisa investasi di China, sehingga hanya beberapa saja yang bisa mengolah
pasar China atau memproduksi disana dengan murah lalu menjualnya ke
seluruh dunia dengan selisih / laba yang lebih besar.
Menurut rekan Stratfor tersebut, pola yang sama menjadi salah satu opsi
bagi para Global Bankers untuk Indonesia. Alasannya jelas, Indonesia
memiliki sumber daya melimpah, batubara, CPO, emas, tembaga, timah,
minyak, gas bumi dan sebagainya.
Membiarkan Indonesia terbuka secara pasar terlalu luas tidak
menguntungkan. Mereka, para Global Bankers itu, lebih menyukai jika
Indonesia tidak terbuka pasarnya dan dikuasai negara, sehingga hanya
segelintir investor Strategis (Strategic Partnership) yang menjalin
hubungan erat dengan kekuasaan Indonesia saja yang diizinkan mengolah
sumber daya.
Dalam pola ini, ujar rekan Stratfor tersebut, akan bermunculan
tokoh-tokoh yang menjual isu “Nasionalisme” namun sebenarnya mereka ini
tidak lain hanya boneka asing untuk penguasaan aset secara eksklusif.
Dan itulah mengapa Rothschild mendukung Prabowo sebagai salah satu opsi.
Untuk tujuan penguasaan tambang secara eksklusif di Indonesia.
Hubungan Prabowo Subianto dengan keluarga Rothschild dilakukan melalui
Hashim Djojohadikusumo (adik kandung Prabowo) yang memang menjadi
pendana utama gerakan Prabowo melalui Gerindra, Tidar dan sebagainya.
Hashim Djojohadikusumo merupakan pendiri Arsari Group yang
berkantor pusat di Mid Plaza (Intercontinnental Hotel). Semua keuangan
bisnisnya Hashim, pendanaan Gerindra, Prabowo dan lainnya diatur dari
salah satu lantai tertutup di gedung tersebut.
Hashim dulu menjadi pemilik tambang batubara Adaro Indonesia
sebelum diambil alih dengan skema keuangan licik oleh Edwin Suryajaya
melalui bonekanya Sandiaga Uno, pemilik Saratoga Group. Sandiaga Uno
bekerja sama dengan Bank Mandiri dipimpin Agus Martowardoyo dan Deutsche
Bank untuk merebut paksa saham Adaro Indonesia dengan skema Hostile
Takeover (pengambilalihan paksa).
Kehilangan Adaro Indonesia yang merupakan salah satu tambang
tunggal batubara terbesar di Indonesia, membuat Hashim lebih banyak main
minyak di luar negeri. Salah satunya Nation’s Energy yang memiliki
ladang minyak di negara-negara bekas Uni Soviet seperti Kazakhztan dan
sebagainya.
Di Rusia, Hashim cukup dekat dengan kelompok penguasa tambang Rusia
seperti bangsawan Rusia Oleg Deripaska dan Reuben Brothers (investor
Yahudi global asal London). Oleg Deripaska dan Reuben Brothers bersama
Nat Rothschild dan Peter Mandelson (politikus Rusia) berinvestasi
bersama di United Company Rusia Aluminium (Rusal).
Melalui pertemanannya dengan Reuben Brothers dan Oleg Deripaska,
Hashim juga diperkenalkan dengan Robert Friedland, seorang Yahudi pemain
tambang legendaris asal AS. Robert Friedland memiliki tambang emas dan
tembaga raksasa di kawasan Mongolia dan menjual hasil tambangnya salah
satunya ke Rusia, sehingga Robert Friedland juga dekat dengan Oleg
Deripaska dan Reuben Brothers.
Robert Friedland kemudian memperkenalkan Hashim kepada Nat
Rothschild untuk keperluan mengambil alih tambang batubara di Indonesia.
Robert Friedland diminta bantuan oleh Nat Rothschild untuk mengumpulkan
investor untuk membentuk konsorsium dalam rangka akuisisi
tambang-tambang di Indonesia.
Pada September 2012, Hashim dipertemukan dengan Nat Rothschild oleh
Robert Friedland di London. Nat Rothschild mempresentasikan konsepnya
untuk penguasaan tambang di Indonesia. Nat Rothschild juga menyebutkan
kalau kerjasama dengan Hashim ini akan menjadi kerjasama strategis
jangka panjang, karena Prabowo Subianto, kakak Hashim sedang maju
Pilpres 2014.
Seperti biasa, Rothschild selalu berbisnis apabila juga didukung
kekuatan politik. Contoh, ketika membentuk British Petroleum (BP),
Rothschild bekerja sama dengan kerajaan Inggris. Ketika Rothschild
membentuk Royal Dutch Shell untuk menggali ladang minyak di Sumatera,
Indonesia satu abad lalu, Rothschild menggandeng Kerajaan Belanda.
Begitu pula ketika membentuk Rusal bersama Reuben Brothers, mereka
menggandeng Oleg Deripaska dari barisan kebangsawanan Rusia.
Di Indonesia, Rothschild telah memiliki hubungan dengan Partai
Demokrat dan Presiden SBY melalui Hillary Clinton. Pasangan Bill Clinton
dan Hillary Clinton di AS didukung secara pendanaan oleh Lynn Forester
de Rothschild, pemilik sekaligus Chairman di majalah The Economist.
Namun, mendukung Partai Demokrat saja tidak cukup, karena SBY
banyak digoyang oleh kompetitor utamanya seperti Partai Golkar dan PDIP.
Rothschild sempat merapat ke keluarga Bakrie untuk 2 alasan. Pertama,
menjalin bisnis untuk menguasai tambang-tambangnya Bakrie. Kedua,
menjalin hubungan politik mengingat Ical hendak maju sebagai Capres
Golkar.
Sayangnya, rencana itu gagal dan dibatalkan juga karena 2 alasan.
Pertama, Ical dinilai sulit menang karena banyak masalah mulai dari
utang, Lapindo, pajak, konflik internal Golkar dan sebagainya. Kedua,
perusahaan Bakrie dinilai Rothschild terlalu banyak bermain skema-skema
keuangan berisiko tinggi, sehingga tidak aman.
Akan tetapi, keluarga Rothschild tetap menginginkan tambang-tambang
yang dikuasai Bakrie Group, khususnya PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT
Berau Coal Tbk (BRAU) dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS). Namun
pengambilalihan tidak dapat dilakukan dengan kerjasama strategis karena
alasan di atas. Maka harus dicari jalan lain.
Dari dunia internasional, Rothschild mengangkat dosa-dosa keuangan
Bakrie untuk menghantam saham-saham Bakrie agar bisa dibeli murah. Dari
sisi nasional, Rothschild perlu dukungan dari kandidat yang potensial
menang untuk nantinya menggoyang tambang-tambang, termasuk tambangnya
Bakrie melalui penataan ulang regulasi pertambangan. Rothschild perlu
‘boneka politik’ yang bisa menang dan mampu menggoyang regulasi tambang.
Prabowo sebagai tokoh yang gembar-gembor isu nasionalisme menjadi
sasaran empuk bagi Rothschild. Dengan isu nasionalisme, tentu akan mudah
menggoyang regulasi tambang sehingga Rothschild bisa merebut
tambang-tambang itu lewat kapal-kapalnya yang lain nantinya.
Sebagai informasi, Rothschild sebetulnya sudah memiliki kaki di
Indonesia sejak lama. Bahkan sebelum negara ini berdiri. Pada
pemerintahan Orde Baru, hubungan dagang juga tidak dapat dibangun secara
politik karena persoalan Suharto yang anti Yahudi.
Hubungan Rothschild dengan tanah Nusantara sebetulnya sudah
berlangsung lebih dari 100 tahun. Demam bisnis minyak pada paruh kedua
abad 19 (tahun 1.800-an) dipicu oleh kesuksesan Standard Oil milik John D
Rockefeller yang didirikan tahun 1870 di Amerika Serikat. Kesuksesan
Rockefeller mendorong Rothschild ikutan mengincar bisnis minyak.
Baku Oil di Rusia adalah bisnis minyak Rothschild yang pertama.
Kemudian pada tahun 1885, Royal Dutch milik kerajaan Belanda menemukan
minyak di Sumatera, Hindia Belanda. Sayangnya, Belanda sebagai penjajah
berkarakter Agraris kurang menguasai bisnis minyak. Rothschild yang
melihat “peluang” itu lantas mengakuisisi perusahaan jual beli kerang
dan jasa angkut laut bernama Shell Transport and Trading Company
(didirikan tahun 1833) milik Samuel Marcus. Shell yang semula perusahaan
jual beli kerang dan jasa angkut laut, kemudian disulap menjadi
perusahaan minyak
Melalui jaringan kuat Rothschild di kerajaan-kerajaan Eropa,
termasuk Belanda, kemudian terbentuklah Royal Dutch Shell, kongsi bisnis
minyak Rothschild dengan pemerintah Belanda untuk mengeruk minyak
Sumatera.
Royal Dutch Shell juga menjadi perusahaan minyak pertama yang
memiliki kapal angkut minyak untuk melalui Terusan Suez. Terusan Suez
adalah kanal yang dibangun oleh dana Rothschild untuk mengangkut minyak
dari Baku Oil di Rusia, juga milik Rothschild.
Tanpa Terusan Suez, biaya angkut minyak Rothschild dari Rusia ke
Eropa jauh lebih mahal karena harus memutar Afrika. Besarnya biaya
angkut Rothschild sebelum adanya Terusan Suez membuat bisnis minyak
Rothschild kalah dari Rockefeller. Dengan adanya Terusan Suez, biaya
angkut minyak Rothschild dari Baku Oil di Rusia dan Shell di Sumatera
menjadi jauh lebih murah. Kombinasi Baku Oil di Rusia - Shell di
Sumatera dan Terusan Suez menjadikan Rothschild sejajar dengan
Rockefeller di bisnis minyak.
Tak hanya itu, Rothschild juga ikut serta dalam pembentukan British
Petroleum, kongsi bisnis minyak antara Rothschild dengan pemerintah
Inggris. Jadi jangan heran kalau Rothschild bisa begitu berkuasa di
dunia modern ini, beliau termasuk di antara sedikit orang yang
mengendalikan bisnis minyak dunia.
Pada sektor tambang, Rothschild juga tercatat sebagai pemilik Rio
Tinto yang dibelinya pada tahun 1880. Rio Tinto merupakan raksasa
tambang, termasuk yang mengendalikan bisnis batubara Australia bersama
BHP Biliton yang juga dikendalikan oleh Rothschild.
Lantas apa hubungannya dengan Indonesia masa kini?
Sangat jelas. Rothschild melalui kepemilikannya di British
Petroleum, Rio Tinto dan BHP Biliton sempat menguasai aset-aset batubara
nasional, terutama sebelum memasuki era milenium. Tambang batubara
Kaltim Prima Coal (KPC) sebelum diambil alih grup Bakrie dimiliki oleh
British Petroleum dan Rio Tinto, masing-masing memiliki 50% saham,
sedangkan tambang Arutmin Indonesia juga dimiliki oleh BHP Biliton dan
Yayasan Ekakarsa Yasakarya, sebelum dibeli oleh grup Bakrie.
Ketika masa konsesi KPC di bawah Rio Tinto dan British Petroleum
serta konsesi Arutmin di bawah BHP Biliton habis, grup Bakrie melalui
Bumi Resources mengambil alih tambang tersebut dari tangan asing, lebih
tepatnya Rothschild. Akuisisi grup Bakrie terhadap 2 perusahaan tambang
ini tuntas pada tahun 2004.
Hengkang dari batubara di Indonesia tak membuat Rothschild urungkan
niat untuk kembali ke Indonesia. Apalagi, bisnis batubaranya di Rio
Tinto dan BHP Biliton tengah terancam. Krisis pasar modal global 2008
yang disebabkan oleh kekacauan kredit rumah berisiko tinggi (Subprime
Mortgage), menghantam ekonomi barat.
Negara-negara Barat tak lagi mampu memborong habis batubara yg
dijual BHP Biliton dan Rio Tinto milik Rothschild. Rothschild sempat
wacanakan merger Rio Tinto dan BHP Biliton untuk mengatasi krisis
keuangan, tapi batal. Rothschild melihat, BHP Biliton dan Rio Tinto yang
tambangnya ada di Australia, memerlukan pembeli batubara di Asia.
Pembeli batubara Rio Tinto dan BHP Biliton yang semua negara-negara
Barat mengalami penurunan daya beli akibat krisis 2008.
China, India, Jepang yang menjadi pembeli batubara besar di kawasan
Asia menjadi sasaran perubahan target pasar Rio Tinto dan BHP Biliton.
Sayangnya, China, India dan Jepang tak mau beli batubara Rio Tinto dan
BHP Biliton yang ada di Australia. Akan ada pembengkakan ongkos angkut
jika China, Jepang dan India membeli dari Australia (Rio Tinto dan BHP
Biliton). Rio Tinto dan BHP Biliton milik Rothschild pun tak mampu
menekan harga menghadapi harga pembelian batubara di Asia. Sementara
China, India dan Jepang sudah nyaman membeli batubara dari Indonesia.
Tahukah kamu, 25% batubara Jepang dibeli dari Bumi Resources milik Bakrie?
Jadi kalau Bumi Resources bangkrut, seperempat Jepang mati lampu.
Harga jual batubara Indonesia ke India, China dan Jepang juga lebih
murah karena ongkos kirim lebih rendah. Batubara Rothschild, Rio Tinto
dan BHP Biliton tak mampu menyaingi harga jual batubara Indonesia ke
China, Jepang dan India. Rothschild akhirnya putuskan harus menguasai
tambang batubara di Indonesia secara langsung. Agar batubara Rio Tinto
dan BHP Biliton dapat dipasok dan dijual melalui tambang di Indonesia.
Selain itu, kartel harga tentunya.
Rothschild lalu membentuk Vallar Plc untuk investasi (baca : rebut
tambang2 strategis) di Indonesia. Selain Vallar Plc, Nat Rothschild juga
membentuk Vallares Plc untuk mengambil migas-migas Indonesia. Vallar
dan Vallares. Sepasang kekasih karya Nat Rothschild untuk menguasai
tambang di Indonesia.
Gagal berkongsi dengan Bakrie yang dinilai kurang berpotensi menang
dan bisnisnya dijalankan dengan risiko tinggi, Rothschild pilih jalan
lain, menggandeng Hashim Djojohadikusumo untuk agenda penguasaan tambang
di Indonesia.
Melalui perkenalan yang diperantarai Robert Friedland, orang yang
ditunjuk Rothschild menjadi pemimpin konsorsium tersebut, Nat Rothschild
pun menawarkan kerjasama bisnis dan politik tersebut kepada Hashim.
Pada Oktober 2012 (satu bulan setelah presentasi Rothschild kepada
Hashim di London), Hashim memberikan persetujuan atas proposal tersebut.
Dimulailah kongsi Rothschild sebagai perwakilan Global Bankers /
Investor dengan Hashim Djojohadikusumo sebagai perwakilan bisnis
sekaligus mewakili kakaknya Prabowo Subianto untuk agenda penguasaan
tambang-tambang di Indonesia.
Mari kita simak pernyataan Hashim sebelum dan sesudah bergabung dengan Nat Rothschild, di bawah ini :
Kita bisa lihat sendiri bagaimana loyalitas beliau, Hashim
Djojohadikusumo terhadap bangsa ini. Sebelumnya bangga mengucapkan “Saya
Cinta Bangsa Saya”, kemudian berubah total dan siap melakukan segala
cara untuk menghadang kompetitornya di Indonesia demi mengawal Nat
Rothschild.
Saya tidak kobarkan ini untuk mendukung Bakrie dan Bumi
Resourcesnya. Saya jelas dan tegas menolak Ical Bakrie apabila ia tidak
lunasi sisa Rp 1 triliun dari kewajiban Rp 9 triliun kepada warga
Sidoarjo terkait Lapindo.
Justru saya sangat kecewa, mengapa para pengusaha nasional bisa
diadu domba dan dibeli seperti yang Hashim sudah terjual oleh Rothschild
sang Yahudi Global.
Lebih buruk lagi, Hashim siap pasang badan dan bela mati-matian
kepentingan Rothschild kuasai tambang Indonesia. Bukankah akan lebih
baik jika Hashim, Bakrie, Jusuf Kalla, Chairul Tanjung dan semua
pengusaha lainnya bersatu untuk merebut aset-aset Indonesia yang
dikuasai asing?
Tapi faktanya malah berbeda. Bakrie sibuk plesiran dan lupa lunasi
Lapindo, Jusuf Kalla sibuk kolusi bisnis pribadi ke proyek pemerintah,
Hashim sibuk dagang bersama Yahudi untuk kuasai tambang Indonesia.
Siapa yang untung dari semua ini? Tentu saja, kelompok Global
Bankers, para Yahudi Global, The Rothschild dan rekan-rekan Zionis
lainnya.
So, Prabowo Subianto masih mengaku memperjuangkan kepentingan bangsa?
Bangsa mana? Bangsa Indonesia atau bangsa Israel?
Mari kita simak kelanjutannya.
Oleh: Ratu Adil
0 komentar:
Post a Comment