Koalisi untuk Kepentingan Siapa?
Koalisi. Tema ini merupakan isu sentral dalam banyak pembicaraan publik selepas pemilu legislatif 9 April yang lalu. Berkaitan dengan pembicaraan tentang koalisi ini, menurut saya, hal ini tidak boleh dibiarkan hanya menjadi kepentingan elite. Koalisi harus ditempatkan pada wacana publik dan untuk kepentingan publik.
Artinya, dalam konteks ini, publik harus mencermati dan menilai
bagaimana para elite itu bermanuver dalam pembentukan koalisi politik
mereka, yang dilakukan untuk menentukan pasangan kandidat pemimpin
tertinggi eksekutif di negara ini. Kalangan masyarakat madani perlu
mengawal agar tujuan pembentukan koalisi tetap dalam lingkup public
interest, bukan elite interest. Saya kira penting bagi media cetak
ataupun elektronik, para aktivis media sosial, intelektual, mahasiswa,
dan para pengamat untuk bersikap kritis terhadap pembentukan koalisi
dari sejumlah kekuatan politik. Diduga kuat mereka akan tampil dalam
pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Jadi, yang perlu dipertanyakan,
apakah hal itu berorientasi publik atau tidak?
Isu utama koalisi tidak boleh dibiarkan berkisar tentang siapa yang
harus dipasangkan dengan calon presiden tertentu. Tidak pula boleh
dibiarkan hal ini hanya berbicara tentang partai apa bergabung kepada
partai apa, lalu, berapa poros yang akan hadir dalam konstestasi calon
wakil presiden dan calon presiden 9 Juli nanti. Sebab, ketika hanya
berbicara masalah itu, tidak akan ada titik temunya dengan kepentingan
publik.
Kita harus mengupayakan bahwa koalisi yang terbentuk akan memberi
ekspektasi positif tentang Indonesia selama 2014-2019. Sebagai contoh,
apa kontribusi koalisi yang terbentuk terhadap masalah kesejahteraan
rakyat, khususnya dalam aspek kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat
dan penurunan angka kemiskinan yang subtansial? Perlu disadari, garis
kemiskinan yang kita pakai sebagai dasar perhitungan angka kemiskinan
tidak mencerminkan kesepakatan pandangan dunia tentang kemiskinan yang
sesungguhnya.
Garis kemiskinan yang disepakati oleh dunia internasional adalah
penghasilan US$ 2 per hari per kapita, sedangkan kita menggunakan angka
sekitar US$ 1 per hari per kapita. Parameter internasional harusnya
berani ditetapkan sebagai garis kemiskinan nasional guna menentukan
angka kemiskinan. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan yang
terjadi benar-benar keberhasilan subtansial yang diakui dunia, bukan
keberhasilan yang bersifat pencitraan. Pemerintah selama ini bias pada
pertumbuhan ekonomi dan abai terhadap masalah keadilan ekonomi.
Kita memang telah termasuk dalam kelompok negara dengan pendapatan
menengah-atas dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 3.542,9. Tapi hal
itu menjadi tidak bermakna ketika kita memahami bahwa yang menikmati
kue pembangunan Indonesia itu sebenarnya tidak proporsional. Ada 10
persen penduduk, jika merujuk pada Indikator Pembangunan Dunia dari Bank
Dunia pada 2013, yang memiliki 65,4 persen dari aset total nasional.
Dalam hal ini, Indonesia berada di peringkat 17 negara yang kesenjangan
ekonominya paling tinggi dari 150 negara yang disurvei.
Tidak mengherankan jika kemudian angka indeks Gini juga semakin
melebar dari 0,329 pada 2002 menjadi 0,413 pada 2011, apalagi kalau
dibandingkan pada era Orde Baru yang sebesar 0,3. Hal itu menunjukkan
kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin di era Reformasi ini
semakin melebar.
Ketimpangan (kesenjangan) ekonomi, ditambah dengan semakin sulitnya
akses rakyat miskin terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, dan
kesehatan, adalah bahaya laten yang bukan saja bisa menimbulkan
goncangan sosial. Seperti yang dikemukakan Stiglitz, dalam bukunya, The
Price of Inequality (2012), hal ini menjadi sesuatu yang bisa
menghancurkan demokrasi itu sendiri. Pemerintah di masa mendatang harus
berani mengambil sikap politik yang impelementatif dalam mengatasi
masalah kesenjangan ekonomi yang semakin melebar dan menurunkan angka
kemiskinan yang subtansial.
Untuk itu, DPR dan pemerintah periode 2014–2019 (hasil koalisi yang
terbentuk) harus berani menjadikan angka penurunan kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi menjadi paremeter penting pembangunan, yakni dengan
cara memasukkan parameter-parameter tersebut menjadi asumsi dasar dan
target penting dalam APBN. Belum ada satu pemerintah pun pada era
Reformasi ini yang berani menjadikan penurunan kesenjangan ekonomi dan
penurunan angka kemiskinan signifikan sebagai kemauan politik (political
will) dalam APBN yang mereka susun.
Masyarakat madani perlu mengedukasi para pemilih untuk memaksa para
politikus yang bermanuver tentang koalisi calon presiden agar tidak
sekadar berbicara tentang siapa mendukung siapa dan mendapat apa, tapi
bagaimana koalisi itu memberi ekspektasi tentang Indonesia yang lebih
adil, makmur, dan sejahtera. Bahkan, sebaliknya, kekuatan-kekuatan
politik yang hanya mempertontonkan koalisi yang sarat dengan kepentingan
elite layak dihukum. Caranya adalah dengan tidak memilih kekuatan
koalisi tersebut dalam pemilihan presiden 9 Juli nanti.
0 komentar:
Post a Comment