DPR Tegaskan MK Salah Tafsir Pasal 158 UU Pilkada


Jakarta - DPR melalui Komisi II menegaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) salah menafsirkan ketentuan Pasal 158 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terkait batasan pengajuan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Pilkada yakni 0,5-2 persen.

Hal ini menyebabkan dari 147 gugatan yang masuk ke MK, hanya 7 gugatan yang memenuhi kualifikasi syarat formil dan layak untuk dilanjutkan ke agenda pemeriksaan pokok perkara yang akan digelar 1-2 Februari mendatang.

Sementara, sebanyak 5 perkara ditarik, satu perkara masih menunggu pemungutan suara ulang dan sebanyak 134 permohonan dinyatakan tidak diterima dengan alasan tidak memenuhi syarat selisih maksimal yang ditentukan Pasal 158 UU Pilkada.

Selain itu, dianggap kadaluarsa atau melampaui batas waktu yang ditetapkan mengacu pada Peraturan MK (PMK) Nomor 1 Tahun 2015 dan PMK Nomor 5 Tahun 2015 tentang formula penghitungan ambang batas suara gugatan sengketa hasil Pilkada.

"Kami tegaskan MK salah menafsirkan Pasal 158 UU Pilkada. Apa yang diputuskan hakim (MK) itu tidak sesuai dengan maksud DPR dan Kemendagri sebagai pembuat UU Pilkada," tegas Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria saat dihubungi, Kamis (28/1/2016).

Politisi Partai Gerindra ini mengaku sebelum adanya putusan ketiga pada Senin (25/1), pihaknya sudah mengirimkan teguran ke MK. Namun, sayangnya surat yang dikirimkan dua minggu yang lalu agar ada pertemuan dalam rangka berdiskusi terkait beda tafsir itu, tidak dijawab oleh MK. Sebab itu, dalam waktu dekat akan kembali memanggil para hakim MK untuk menjelaskan perihal PMK itu.

"Pastinya dalam pertemuan nanti akan dibicarakan persamaan persepsi perihal UU Pilkada agar tidak salah untuk diterapkan di Pilkada serentak gelombang berikutnya," ujarnya.

Meski demikian, lanjutnya, jika nanti ada pertemuan, maka tidak akan membatalkan putusan yang telah ditetapkan oleh MK. "Ya, MK pasti tidak mau berubah atas putusannya karena merasa benar, final dan bainding," ungkapnya.

Senada, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, mengatakan, MK sama sekali tidak menyentuh dan tidak mempertimbangkan berbagai kecurangan yang dilakukan calon untuk memperoleh kemenangan.

"Peradilan Pilkada boleh saja berbangga terbebas dari suap, tetapi gagal memvalidasi kemenangan pasangan calon karena pemeriksaan kebenaran materiil diabaikan MK. MK malas bekerja menjalankan perintah UU. Meski peradilan Pilkada adalah amanat sementara, tetapi pragmatisme hakim MK membuat integritas Pilkada dan peradilan Pilkada gagal diuji," jelas Ismail.

Menurut Direktur Riset Setara Institute ini, pemerintah dan DPR harus memastikan Pasal 158 menjadi agenda revisi UU Pilkada. Termasuk kemungkinan menyegerakan pembentukan peradilan Pemilu untuk menangani pelanggaran administrasi Pilkada, pidana Pilkada, dan sengketa Pilkada dalam satu badan yang terintegrasi.

Sedangkan Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahudin sudah mengingatkan MK beberapa bulan lalu bahwa PMK tersebut berbeda dengan ketentuan UU Pilkada. Meski demikian, tegasnya, putusan MK ini sudah final dan mengikat dan tak bisa digugat.



Sehingga hal ini menjadi pembelajaran bagi DPR dan MK untuk senafas dalam menjalankan UU. "Kalau mau ditentang apa lagi yang bisa kita harapkan, itu (putusan) sudah kadung dilaksanakan. Jadi kalau nanti DPR mengecam saat memanggil MK, maka sudah usang. Paling-paling menjadi pembelajaran untuk Pilkada 2017," tukas Said. /harianterbit.com

0 komentar:

Post a Comment