Kedaulatan Politik Rakyat Di Uji, Fraksi Demokrat Pilih Kabur

Pasek: PDIP Mesti Tahu Bagaimana Sakitnya Ditinggal Walkout
Jakarta – Aksi walkout yang dilakukan oleh Fraksi Partai Demokrat dalam sidang paripurna DPR membahas RUU Pilkada kontan mengundang kecaman keras, mengingat isu ini adalah salah satu yang paling menjadi perhatian rakyat tahun ini.
Forum Masyarakat Pemantau Parlemen (Formappi) misalnya, tak ragu menyebut aksi partai penguasa itu sebagai sikap ambiguitas. Demikian juga para anggota DPR dari kubu pendukung Pilkada secara langsung, mencemooh dan mengejek rekan-rekannya dari Demokrat yang ketika itu sedang melangkah meninggalkan ruangan.
Namun jika ditelaah, problem paling serius bukan karena partai yang mengaku “Demokrat” itu tidak menyukseskan sistem Pilkada langsung.
Jumat (25/9) dinihari rakyat menyaksikan bahwa partai penguasa ini memilih tidak menjawab ketika bangsa dihadapkan pada salah satu pertanyaan terbesar rakyat Indonesia abad ini. Tinggal glanggang colong playu, atau kurang lebih maknanya “berkoar keras tapi kabur ketika lawannya datang.”
Istilah sederhananya meminjam kalimat Formappi adalah pengecut, atau alternatif lainnya menurut politisi Demokrat Benny K Harman adalah “netral”.
Melalui Benny pula fraksi tersebut berdalih bahwa mereka terpaksa pergi karena keinginan Pilkada langsung disertai 10 syarat tidak diakomodir dalam sidang paripurna. Dengan kata lain, bagi Demokrat substansi masalahnya berbeda dengan substansi yang dihadapi rakyatnya sendiri.
Rakyat bertanya: pilkada langsung atau melalui DPRD? Demokrat bertanya: 10 syarat kami dipenuhi tidak?
Sekiranya Demokrat mendukung Pilkada DPRD, itu akan lebih terhormat karena paling tidak mereka menjawab pertanyaan rakyat. Lagipula, RUU Pilkada lewat mekanisme DPRD itu bisa dibilang merupakan inisiatif pemerintah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga ketua umum partai.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sudah berulang kali menegaskan preferensi pemerintah atas pilkada lewat DPRD, dengan alasan antara lain pilkada langsung menyuburkan korupsi dan membuat bupati/walikota merasa bukan anak buah presiden karena mereka juga dipilih langsung.
Kalau Fraksi Demokrat mendukung proposal ini, berarti mereka konsisten dan sejalan dengan garis kebijakan pemerintahan SBY.
Namun mendekati sidang paripurna, Fraksi Demokrat mengaku mendukung Pilkada langsung, sehingga peta kekuatan langsung berubah. Opsi pilkada langsung bisa menang walau tipis. Partai Demokrat berubah dari partisipan menjadi “game changer”, penentu jawaban.
Mereka mengajukan 10 persyaratan dan bagi fraksi-fraksi lain pendukung pilkada langsung, itu bukan masalah.
Yang menjadi masalah, pada hari H ternyata 10 syarat itu menjadi hal terpenting bagi Demokrat, jauh lebih penting dari pertanyaan “langsung atau via DPRD.” Peta kekuatan kembali kacau.
Setelah membuat semua kekacauan ini, Demokrat memilih pergi, dan hanya segelintir saja dari anggota fraksi itu yang memilih menjaga kehormatan untuk berdiri gagah menjawab pertanyaan rakyat. Hanya segelintir. /beritasatu.com

0 komentar:

Post a Comment