Awal dari Sebuah Akhir untuk Prabowo Subianto?
PRABOWO Subianto bicara kepada pers. Ini adalah wawancara
pertama yang dia berikan sesudah pemilihan presiden. Dia berbicara
kepada dua wartawan British Broadcasting Corporation (BBC),
Babita Sharma dalam bahasa Inggris dan Liston Siregar dalam bahasa
Indonesia. Wawancara ini sedikit banyak memperlihatkan karakter Prabowo
yang tidak mau menyerah kalah. ‘Losing is not an option,’ katanya kepada harian The Straits Times
dari Singapura, beberapa hari lalu. Kali ini pun, tidak berbeda. Namun,
sekalipun memiliki kesamaan retorik, kedua wawancara ini memiliki bobot
berbeda. Wawancara dengan The Straits Times dilakukan sebelum pemilihan, sedangkan dengan BBC sesudah pemilihan.
Prabowo adalah Prabowo. Dia gandrung akan segala sesuatu yang grandeur,
yang besar dan agung. Ini tampak dari bagaimana dia memandang dirinya.
‘Saya memimpin partai terbesar ketiga dari negara terbesar keempat di
dunia,’ demikian dia menggambarkan dirinya. Ketika ditanya tentang semua
kejahatan HAM yang dituduhkan kepadanya, dia menjawab dengan nada yang
tidak kalah grandeur-nya, ‘Saya memimpin koalisi yang mewakili
2/3 rakyat Indonesia. Bagaimana mereka bisa dibodohi, begitu bodoh,
untuk mendukung seseorang yang memiliki semua karakter yang menurut
rival saya adalah karakter saya?’1
Retorika seperti ini sesungguhnya tidak terlalu jauh dari retorika
Prabowo sebelumnya. Di banyak kesempatan, dia mengaku ingin
mengembalikan posisi Indonesia sebagai ‘macan Asia.’ Dia datang ke
pembukaan kampanye dengan helikopter. Turun dari heli, dia menaiki kuda
yang harganya sekitar tiga miliar rupiah atau setara dengan upah minimum
seorang buruh di Jakarta selama seratus empat tahun! Dengan ringan, dia
mengendarai kuda itu, memakai sabuk sambil menyelipkan keris. Kita
tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya ketika itu. Namun, yang jelas
itu adalah pertunjukan tentang sesuatu yang grandeur, yang agung!
Pendidikan àla Barat yang dienyamnya sejak usia muda tidak
menghalangi imajinasinya tentang keagungan tersebut. Tampaknya, dia
sadar, seperti yang diungkapkan dalam film dokumenter Sang Patriot,
bahwa dia patriot dan pahlawan seperti para leluhurnya. Pendidikan
Barat-nya dilengkapi dengan imajinasi aristokratik, bahwa dirinya adalah
seorang aristokrat, keturunan Raden Kertanegara atau Banyakwide, yang
menjadi pembantu Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.
Prabowo adalah produk Barat. Namun, akar kearistokrasiannya bersumber
dari kebudayaan Jawa. Dia adalah keturunan priyayi Jawa (kakeknya masih
menyandang gelar Raden Mas) sehingga dia adalah priyayi, tetapi tanpa
kejawaan di dalamnya. Satu-satunya persentuhan langsung Prabowo dengan
kebudayaan priyayi Jawa adalah dari mertuanya, Suharto, anak seorang
priyayi rendahan dari Kemusuk, Yogyakarta. Kesadaran akan status
kepriyayian, tetapi tanpa akar kebudayaan Jawa inilah yang membuat
Prabowo Subianto tampak aneh di mata orang Jawa. Dia berkuda, memakai
sabuk dan berkeris, serta berpeci: ini adalah pernyataan dirinya sebagai
aristokrat (kebarat-baratan dan lebih mirip aristokrat Eropa!), priyayi
Jawa, dan nasionalis tulen.
Dengan alur imajinasi seperti ini, pantaslah dalam wawancara, beberapa kali dia mengatakan dengan penuh keyakinan, ‘I am confident I am winning!’ Tidak ada kamus kalah karena semua ‘grandeur’ ada pada dirinya.
Wawancara itu juga memperlihatkan sisi lain dari Prabowo. Dia tampak
agak meradang ketika ditanya soal lembaga-lembaga survei yang
memenangkan lawan politiknya, Joko Widodo dalam hitung cepat pemilihan.
‘Semua lembaga survei yang Anda sebut itu partisan,’ demikian sahutnya.
‘Mereka sudah bertahun-tahun mendukung Joko Widodo. Mereka tidak
objektif. Saya pikir mereka adalah bagian dari desain besar untuk
memanipulasi persepsi masyarakat.’ Dia menambahkan kalau semua lembaga
survei tersebut adalah komersial dan mengklaim bisa menunjukkan enam
belas lembaga lain yang menunjukkan dia menang dalam hitung cepat.
Ketika Babita Sharma, pewawancara BBC itu, menunjukkan
perbedaan gaya kepemimpinan antara dirinya dan Joko Widodo, dia
menyahut, ‘Dia bukan orang yang merakyat. Dia hanya mengklaim sebagai
orang yang rendah hati. Tapi, saya rasa itu cuma akting.’ Dia juga
menuduh bahwa Jokowi hanyalah kepanjangan tangan dari oligarki.
Kerendahan hati dan sikap merakyatnya hanyalah rekayasa tim humas (public relations).
Dia pantas untuk meradang. Imajinasi aristokratiknya tidak
mengizinkan seorang yang berasal dari golongan masyarakat biasa itu
menjadi saingannya. Secara intelektual, Joko Widodo, lawan politiknya,
memang bukan tandingan Prabowo. Dia tidak berbahasa Inggris dengan baik
dan tidak memiliki pergaulan internasional seperti Prabowo. Dia bukan
tentara, tidak pernah ‘mengorbankan diri’ untuk negara, sementara
Prabowo selalu bercerita bagaimana dia mengorbankan masa mudanya untuk
Indonesia. Pendidikan Joko Widodo juga seluruhnya dihabiskan di tanah
Jawa. Kecuali bekerja sebentar di Aceh, Jokowi hidup sepenuhnya dalam
lingkungan sosial dan kebudayaan Jawa. Untuk Prabowo, yang merasa
dirinya punya hak (entitled) untuk memimpin Indonesia, menyerahkan negara ini kepada orang biasa yang tidak memiliki ‘grandeur’
seperti dirinya sungguh tidak masuk akal. Joko Widodo adalah semua hal
yang ‘bukan Prabowo.’ Dia bukan aristokrat, bukan priyayi, bukan tentara
(dia politisi), dan bukan pengusaha besar (dia hanya pengusaha mebel).
Apa yang dikerjakan secara natural oleh lawan politiknya sebagai
orang Jawa, ditafsirkan oleh Prabowo sebagai hasil dari akting dan
rekayasa tim public relations. Prabowo mungkin gagal memahami
ini. Namun, sesungguhnya, dia juga melihat fenomena Jokowi ini dari
perspektif dirinya sendiri. Prabowo sangat berhasil mengubah persepsi
masyarakat pemilih Indonesia hanya dalam waktu lebih dari satu dekade
lewat akting (gaya berpidatonya yang meniru persis presiden Sukarno).
Tim public relations yang dia miliki menata panggung untuk
dirinya sedemikian rupa sehingga Prabowo yang tampil saat ini sangat
berbeda dengan Prabowo yang tampil satu dekade lampau. Bagi Prabowo,
tidak ada yang natural dalam politik, pun pula tidak ada kerendahan
hati. Semua itu adalah bagian dari akting yang diciptakan secara
hati-hati lewat media.
Namun, sikap grandeur Prabowo mengempis ketika harus
menanggapi keunggulan lawannya. Dia menjadi sangat defensif dan meminta
belas kasihan sebagai korban. Ketika Babita Sharma bertanya tentang
kemungkinan meledaknya kerusuhan, dia menjawab,
‘Tahukah Anda salah satu stasiun TV yang mendukung saya diserang dan satu lembaga survei yang memenangkan saya dilempari molotov? Jadi, dari mana datangnya kekerasan itu, dari mana datangnya intimidasi itu? Saya dapat laporan dari pendukung saya bahwa mereka diserang, diintimidasi di banyak wilayah di Indonesia. Tapi (kepada pendukung), saya sering bilang… tetaplah tenang, rival kita adalah saudara kita, mereka bukan musuh, tapi tidak pernah sekali pun rival saya mengatakan hal yang sama (kepada pendukungnya).’
Apa yang akan dia lakukan jika KPU mengeluarkan hasil resminya? ‘Jika
KPU sudah memutuskan kehendak rakyat, saya akan menghormati, tapi tidak
pernah sekali pun mereka [Joko Widodo] mengatakan hal itu, yang ada
justru pengumuman kalau Prabowo menang, berarti dia curang.’
Wawancara dengan BBC ini memperjelas kondisi psikis Prabowo
saat ini. Ada kesan bahwa dia tahu bahwa dirinya kalah, sekalipun dia
tidak mengakui hal itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi dalam tim
Prabowo. Namun, yang jelas, mereka bukan orang-orang yang bodoh. Mereka
berpengalaman memakai lembaga-lembaga survei yang mereka tuduh sebagai
partisan ini. Mereka tahu persis bahwa ‘the game is over!’ dan mereka tidak memenangkan kontes ini.
Ilustrasi oleh Alit Ambara
Namun, mengapa Prabowo tampak sangat kukuh (determined)
untuk mengatakan dirinyalah yang menang dalam pemilihan ini? Dalam
wawancara itu, tidak tampak sedikit pun bahwa dia akan menyerah. Hanya
nada bertahan (defensive) yang mengindikasikan kekalahannya.
Sikap defensif itu sebenarnya bertolak belakang dengan apa yang dia
lakukan. Lagi-lagi, apa yang dia tuduhkan kepada lawannya adalah apa
yang dia kerjakan sendiri. Beberapa contoh di bawah ini mungkin akan
memperjelasnya.
Pertama, Prabowo berusaha meruntuhkan citra lawannya dengan menuduh sikap kerakyatan yang ditunjukkan rivalnya hanyalah bagian dari public relations.
Namun Prabowo tidak mengakui bahwa dia sendiri membayar konsultan dari
Amerika Serikat, Rob Allyn, untuk memoles citranya. Rob Allyn, dalam
wawancaranya dengan harian The Financial Times, tidak membantah bahwa dia menjadi konsultan untuk Prabowo.2
Kedua, dia menuduh lawannya dikendalikan oleh oligarkh atau
orang kuat yang berkuasa secara politik dan ekonomi. Dia tidak pernah
menyadari bahwa dia sendiri adalah juga seorang oligarkh. Dia dan
keluarganya memiliki kekuasaan politik dan ekonomi yang luar biasa
sehingga mampu mengendalikan sebuah kekuatan politik ‘nomor tiga
terbesar di negara nomor empat terbesar di dunia.’
Ketiga, dia mendudukkan diri sebagai korban dari ‘desain
besar’ lembaga-lembaga survei komersial yang bertujuan membentuk
persepsi masyarakat. Dia juga membesar-besarkan penyerbuan kader-kader
PDIP (yang digerakkan oleh Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo) atas TVOne – salah
satu TV yang dengan membabi buta mendukungnya – karena stasiun TV ini
menyiarkan berita PDIP disusupi kader PKI. Dia juga menyebutkan lembaga
survei yang mengumumkan kemenangannya diteror dengan bom molotov. Dan
tidak lupa, tepat di hari pemilihan, Prabowo sempat ‘memarahi’
stasiun-stasiun TV yang dianggap tidak memihak dirinya.
Namun di sisi yang lain, Prabowo tidak pernah menyinggung kekuatan
raksasa yang dia miliki untuk membentuk opini masyarakat. Di bidang
pertelevisian, Prabowo didukung oleh dua baron media, yakni Hary
Tanoesoedibjo dan Aburizal Bakrie. Hary Tanoesoedibjo lewat Media
Nusantara Citra group mengontrol tiga stasiun televisi, yaitu RCTI,
MNCTV, dan Global TV. Sementara, Aburizal Bakrie lewat PT Visi Media
Asia mengontrol ANTV and TVOne. Joko Widodo hanya didukung oleh satu
stasiun TV, yakni MetroTV milik taipan Surya Paloh. Dipandang dari sudut
mana pun, jelas telah terjadi bias media dalam kampanye pemilihan
presiden ini. Prabowo menguasai 44 persen air coverage dari stasiun-stasiun televisi yang dimiliki para sekutunya. Sebaliknya, Joko Widodo hanya mengontrol tiga persen air coverage. Ketimpangan seperti ini, toh tidak menghalangi Prabowo untuk mengamuk kepada stasiun-stasiun TV yang tidak mendukungnya.3
Di lain pihak, Prabowo bungkam terhadap kampanye-kampanye hitam yang
dilancarkan terhadap kubu lawannya. Kampanye sistematis lewat pembunuhan
karakter, penyesatan informasi, hingga ke pemakaian ras dan agama
(menuduh Joko Widodo sebagai keturunan Cina dan Kristen) tidak pernah
ditanggapi oleh Prabowo. Demikian pula serangan yang dilakukan oleh
tabloid Obor Rakyat, tidak sekalipun terdengar Prabowo berkomentar tentang kampanye-kampanye hitam ini.
Keempat, Prabowo membangkitkan kesan bahwa dia akan
dicurangi dalam penghitungan suara. Namun, di sisi yang lain, dia juga
mengatakan bahwa dia didukung oleh partai-partai koalisi yang mewakili
2/3 jumlah pemilih Indonesia. Dia juga didukung oleh semua partai
politik yang saat ini memerintah, termasuk Partai Demokrat. Dukungan
yang besar dari partai-partai ini membuat dia tampak sebagai calon incumbent ketimbang sebagai calon penantang (challenger).
Dari sisi ini, sulit rasanya untuk mengerti bagaimana mungkin dia akan
dicurangi. Dia memiliki semua peralatan untuk mengontrol hasil
pemilihan. Dia juga lebih memiliki kontrol terhadap birokrasi dan
militer Indonesia. Bagaimana mungkin dia dicurangi?
Psyche Prabowo, yang melihat dirinya dalam perspektif grandeur:
sebagai aristokrat didikan Barat, keturunan priyayi Jawa, dan
nasionalis tulen itu, mempersulitnya untuk menerima kekalahan. Untuk
itu, dia memaksa membela diri dengan mengemukakan bukti-bukti dari
lembaga-lembaga survei, yang tampaknya dia sendiri juga tidak
memercayainya. Jika bukan untuk kepentingan mempolitisasi dan membangun
opini publik, saya yakin Prabowo dan tim kampanyenya tidak akan pernah
memakai lembaga-lembaga survei yang memenangkan dia.
Namun, pemilihan presiden ini bukanlah urusan Prabowo sendirian. Dia
didukung oleh sebuah koalisi besar partai-partai. Saya juga tidak yakin
bahwa para elite partai-partai ini tidak tahu akan kondisi ‘delusional’
yang ada di dalam koalisi ini. Mereka bukan orang-orang yang bodoh.
Saya percaya, pada waktu-waktu sekarang ini, para elite politik yang
bergabung dengan koalisi Prabowo sedang sibuk mencari ‘exit strategy’, yaitu bagaimana bisa keluar dan mendapatkan konsesi yang baik dari pihak yang dalam pemilihan lalu menjadi lawannya.
Sekarang, tinggal Prabowo sendiri. Apa yang akan dia lakukan? Kepada BBC yang menanyakan apa yang akan dilakukannya kalau ternyata kalah, Prabowo berkata:
‘Apa? Saya yakin menang, tapi Anda tahu… jika rakyat Indonesia tidak memerlukan saya, saya tidak apa-apa. Saya punya kehidupan yang baik. Saya akan kembali ke kehidupan saya, kehidupan tenang di luar politik. Saya melakukan ini karena kewajiban saya untuk melayani bangsa saya.’
Hingga di sini pun masih terlihat kondisi psyche Prabowo
yang tidak bisa menerima kekalahan. Barangkali, dia lupa bahwa ada satu
sikap dari kebudayaan Jawa yang, yang mungkin juga tidak pernah bisa
dipahaminya, sekalipun dia adalah keturunan priyayi Jawa, yang
diterapkan ketika menderita kekalahan, yakni legowo. Ini adalah sebuah sikap untuk menerima kekalahan dan mengakui ketidakmampuan dengan lapang dada. Wawancara dengan BBC
ini, menurut hemat saya, adalah awal dari sebuah akhir pertaruhan
Prabowo untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Prabowo harus legowo! ***
Penulis
adalah peneliti dan jurnalis lepas
1Wawancara selengkapnya bisa dilihat di sini: https://www.youtube.com/watch?v=fDJPBUzdYzc&feature=youtu.be&app=desktop
3Lihat alporan dari Reuters, ‘In Indonesia’s presidential race, ex-general a winner in proxy TV battle’ http://in.reuters.com/article/2014/06/15/us-indonesia-election-media-idINKBN0EQ07F20140615
0 komentar:
Post a Comment