Jakarta - Sistem Pilkada lewat DPRD yang diusung Koalisi Merah Putih mendapat penolakan dari sejumlah pihak. Ada yang menilai langkah ini berpotensi menimbulkan korupsi baru, ada juga yang menganggap ini langkah mundur dalam demokrasi. Saatnya publik bergerak!
Koalisi Merah Putih yang digawangi partai-partai pengusung Prabowo-Hatta dalam Pilpres lalu memang paling ngotot ingin mengembalikan sistem Pilkada ke DPRD. Padahal sebagian partai di koalisi itu, seperti PKS dan PAN, sempat mengusulkan Pilkada langsung. Sikap itu kemudian berubah ketika Pilpres usai.
Melihat dominasi mereka di parlemen, bukan tidak mungkin usulan tersebut akan disahkan menjadi undang-undang dalam waktu dekat. Padahal, sejumlah tokoh reformasi dan antikorupsi menilai ini adalah langkah mundur dalam demokrasi.
Berikut lima alasan kenapa Pilkada lewat DPRD harus ditolak:
1. Berpotensi Jadi Lahan Korupsi DPRD
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyebut, dengan Pilkada sistem perwakilan, maka suara rakyat dialihkan kepada anggota DPRD. Dengan sistem ini, anggota DPRD memiliki posisi tawar yang jauh lebih tinggi di depan si kepala daerah.
Begitu pemerintahan sudah berjalan, anggota DPRD bisa dengan mudah meminta uang dengan dalih untuk memuluskan program yang diajukan kepala daerah. Pola ini sebenarnya sudah jamak terjadi, namun dengan sistem perwakilan kepala daerah berada dalam posisi sangat terpojok.
Dan dalam masa pemerintahannya, si kepala daerah sangat mungkin untuk terus-terusan dimintai uang oleh legislator, entah itu terkait program yang diajukan atau karena imbas perjanjian pada saat Pilkada dilakukan.
"Pilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan korupsi demokrasi. Walaupun dengan dalih apapun. Kepala daerah terpilih potensial ATM anggota DPRD setempat. Anggota DPRD merasa lebih leluasa memeras kepala daerahnya," ujar Busyro.
Pola yang kedua ini merupakan skema yang lebih besar. Jika dalam sistem Pilkada langsung, pihak swasta yang hendak mendapatkan izin cukup memberikan uang pelicin kepada kepala daerah, dengan sistem perwakilan peta rasuah menjadi lebih luas.
Para anggota DPRD -- para pihak yang memilih si kepala daerah dalam pilkada -- berpotensi kuat akan ikut serta dalam proses tersebut. "Praktik korupsi di Kepala Daerah tingkat II untuk Izin Usaha Pertambangn (IUP) akan semakin parah dan semakin rentan karena korporasi tambang lebih mudah menyogok anggota DPRD," ujar Busyro.
2. Orang-orang Hebat Tak akan Terpilih
Masalah lain yang bisa timbul bila Pilkada lewat sistem perwakilan DPRD adalah calon yang diusung tak akan berkualitas. Sangat sulit menemukan orang-orang hebat seperti yang saat ini sudah muncul.
Menurut anggota Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari, sosok sekaliber Gubernur DKI Joko Widodo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, atau juga sosok seperti Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (Emil) bakal tak muncul lagi bila lewat Pilkada DPRD.
Prognosis ini didasarkan atas catatan kelam indeks korupsi yang marak dilakukan politisi, dari tingkat pusat hingga daerah. Eva menjelaskan, Indonesia belum siap untuk menyelenggarakan Pilkada langsung karena praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih sering ditemui, tak terkecuali di tingkat DPRD yang digadang pihak Koalisi Merah Putih bakal menjadi 'eksekutor' Pilkada.
Wagub DKI Basuki Tjahaja Purnama juga mengungkapkan hal senada. Ahok menilai, dirinya tak akan terpilih bila digelar Pilkada lewat DPRD.
“Saya sih penginnya yang (Pilkada) langsung. Kalau (lewat) DPRD enggak akan pernah Ahok jadi kepala daerah dari dulu,” kata kader partai Gerindra itu.
3. Bakal Muncul 'Penjajahan' Baru
Menurut Basuki Tjahaja Purnama, pelaksanaan Pilkada bukan hanya dilihat dari nominal dana yang dikucurkan. Ia menilai Pilkada yang melalui DPRD akan menimbulkan 'penjajahan berskala regional' oleh anggota dewan pada kepala daerah yang terpilih.
"Nanti semua kepala daerah bisa dikontrol dari oknum DRPD. Dikit-dikit dipanggil, tanggung jawab lagi semua. Dijajah lagi kayak dulu. Kalau zaman Pak Harto kan gampang, satu partai. Kalau sekarang, ada banyak partai ya mati," ujarnya.
Faisal Basri juga berpendapat senada. Mantan peserta Pilgub Jakarta dari jalur independen ini menilai sistem ini justru menodai reformasi dan mengarah ke percaloan.
Dia mengatakan sistem ini jelas lebih merupakan siasat balas dendam sejumlah fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Menurutnya, dengan 63 persen suara secara nasional di parlemen, maka potensi menguasai seluruh daerah provinsi hingga kabupaten bisa terealisasi.
"Jadi suara Koalisi Merah Putih adalah 63 persen secara nasional. Nah, koalisi Jokowi JK kan cuma 37 persen. 63 persen katakanlah seluruh provinsi kabupaten itu sama proporsinya. Jadi kalau pemilihan kepala daerah lewat DPRD mereka pasti menang," ujar pengamat ekonomi asal Universitas Indonesia itu.
4. Pilkada Langsung Tak Mahal
Pilkada langsung diklaim Koalisi Merah Putih menelan biaya tinggi. Padahal, menurut testimoni para calon yang pernah maju, tidak.
Faisal Basri pernah maju sebagai calon independen dalam Pilgub DKI. Dia menepis anggapan Pilkada tidak langsung maka bakal menghemat anggaran biaya. Selain itu, dia juga tidak setuju karena sistem tidak langsung otomatis menghapus peluang calon dari independen.
"Jadi kita enggak bisa ngoreksi lagi. Enggak ada calon independen lagi, itu otomatis. Ini juga bukan hemat-hematan. Dia tahu porsinya 63 persen, kalau dia cara ini di DPRD bisa dikuasai semua. Nanti gubernur sampai kepala daerah semua dikuasai," sebutnya.
Wagub DKI Basuki Tjahaja Purnama juga menilai biaya pilkada langsung tak terlalu tinggi. Mereka yang jor-joran justru karena ingin menyogok.
Menurutnya, anggaran yang harus dikeluarkan calon kepala daerah sifatnya sangat bergantung pada kebutuhannya. Ia mengaku selama maju sebagai kepala daerah di Belitung Timur, Bangka Belitung hingga maju di Jakarta tak pernah mengeluarkan anggaran yang besar.
Lebih jauh, ia menyebut anggaran besar yang disiapkan seorang calon kepala daerah karena niat untuk bermain curang.
"Aku juga nggak mahal. Nggak keluar duit kok. Lu aja bego mau mahal-mahal nyogok. Kalau nggak mau nyogok mah murah saja," ucapnya.
Gubernur DKI Jokowi juga mengatakan, bila pilkada langsung dihapus, maka tidak ada calon miskin yang bakal menang jadi pemimpin daerah.
1. Menyalahi UUD
Pemilihan kepala daerah menjadi wacana perdebatan dalam RUU Pilkada yang sedang digodok DPR. Jika sistem politik Indonsia menganut presidensial, maka kepala daerah seyogianya dipilih secara langsung oleh rakyat. Bukan perwakilan melalui DPRD.
"Tafsir terhadap pasal 18 ayat 4 UUD itu harus komprehensif. Kita ini kan menganut sistem presidensial, di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat. Dalam presidensil, maka mekanisme yang sama juga harus diterapkan pada lembaga eksekutif di bawahnya, provinsi dan kabupaten kota," ujar Ketua Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Menurut dia, tidak ada di dunia ini negara yang presidennya dipilih langsung, namun lembaga eksekutif di bawahnya dipilih tidak langsung. Penerjemahan terhadap pasal 18 ayat 4 soal pemilihan secara demokratis harus diterapkan secara konsisten, tidak setengah-setengah.
"Dalam sistem presidensial dan otonomi daerah, produk otonomi daerah itu kan DPRD dan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Kita akan menghadapi problem legitimasi jika kepala daerah dipilih tidak secara langsung," jelasnya.
Titi juga menolak argumentasi soal biaya politik yang tinggi jika pemilihan dilakukan secara langsung. Menurut dia, tidak fair jika membenturkan antara hak-hak warga negara untuk menentukan pemimpinnya secara langsung dengan biaya politik. Padahal wacana soal biaya politik sudah pernah dibahas di DPR dan menghasilkan sebuah kesimpulan untuk menekan biaya politik. Salah satunya dengan pilkada langsung serentak.
"Nah, kenapa tidak ini yang didorong soal pilkada langsung serentak. Ini yang bisa tekan biaya politik yang tinggi. Kalau melalui DPRD, ini langkah mundur demokrasi," terangnya.
Rencananya, Koalisi Masyarakat Sipil akan menggugat keputusan ini ke MK bila disahkan.
(mad/nrl) /detik.com