Taktik Permainan Prabowo Pada Pilpres 2014
Edward Aspinall and Marcus Mietzner, Guest Contributors
Terdapat satu hal yang jelas: Joko Widodo (Jokowi) telah memenangkan
Pemilihan Presiden Indonesia pada tanggal 9 Juli. Apabila perhitungan
formal dan proses tabulasi berjalan tanpa ada kecurangan, dia akan
dinobatkan menjadi presiden Indonesia yang baru pada 20 Oktober 2014.
Alasan yang membuat kami bisa yakin dengan hasil ini, walaupun belum
ada pengumuman resmi dari KPU adalah adanya Hitung Cepat (Quick Count)
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey yang kredibel di Indonesia.
Hitung Cepat dilakukan dengan menempatkan surveyor lapangan di lokasi
TPS-TPS yang dijadikan sampel. Pada saat penghitungan suara secara resmi
di TPS selesai, surveyor lapangan menyampaikan hasil TPS tersebut ke
pusat penghitungan suara lembaga bersangkutan, yang biasanya dilakukan
melalui telepon. Apabila penentuan sampel dilakukan dengan benar dan
dalam jumlah yang banyak sesuai kaidah statistik serta pencatatan hasil
dilakukan dengan akurat, hitung cepat yang terorganisir dengan baik
dapat memprediksi hasil akhir dari penghitungan resmi dengan kemungkinan
kesalahan (Margin of Error) yang sangat kecil.
Pada hari pemungutan suara, dalam rentang waktu beberapa jam setelah
TPS ditutup, delapan lembaga survey telah merilis hasil mereka yang
menyatakan bahwa Jokowi memenangkan Pilpres dengan selisih suara yang
cukup besar.
Lembaga Survey | Jokowi-Kalla | Prabowo-Hatta |
Radio Republik Indonesia | 52,7 | 47,3 |
Lingkaran Survey Indonesia | 53,4 | 46,4 |
Populi Center | 51,0 | 49,0 |
CSIS | 51,9 | 48,1 |
Litbang Kompas | 52,3 | 47,7 |
Indikator Politik | 52,9 | 47,1 |
SMRC | 52,9 | 47,1 |
Poltrackting | 53,4 | 46,6 |
Penting dicatat, sebagian besar dari lembaga-lembaga ini telah
terkenal dan dihargai atas integritas, profesionalisme dan kemampuan
teknis mereka dalam survey metodologis- reputasi ini didapatkan dengan
track record menghasilkan hasil hitung cepat yang akurat sejak 2004,
pada saat pilpres dan pilkada pertama diberlakukan. Bahkan RRI (Radio
Republik Indonesia), saluran resmi pemerintah Indonesia –pendatang baru
dalam bisnis hitung cepat- mendapatkan apresiasi atas hitung cepatnya di
Pileg 2014; hasilnya ternyata paling mendekati hasil hitungan resmi
KPU. Fakta tentang lembaga-lembaga survey yang kredibel menyatakan
temuannya bahwa Jokowi memenangkan Pilpres, dan dengan hasil yang
relatif sama, maka dapat dikatakan bahwa secara statistik tidak mungkin
Jokowi tidak muncul sebagai pemenang dalam hitungan resmi KPU yang
dilakukan tanpa kecurangan.
Berdasarkan hasil hitung cepat tersebut, Jokowi pada tanggal 9 Juli
mendeklarasikan kemenangannya dalam Pilpres (walaupun tanpa
menggebu-gebu), dia mengingatkan pendukungnya untuk secara cermat
mengawasi hitungan resmi surat suara dalam dua minggu ke depan. Tetapi,
pada saat yang sama, empat lembaga survey menghasilkan hitung cepat yang
menunjukkan kemenangan Prabowo Subianto, walaupun hanya dengan selisih
yang lebih tipis.
Lembaga Survey | Jokowi-Kalla | Prabowo-Hatta |
Puskaptis | 48,0 | 52,0 |
Indonesia Research Centre (IRC) | 48,9 | 51,1 |
Lembaga Survey Nasional (LSN) | 49,5 | 50,5 |
Jaringan Suara Indonesia (JSI) | 49,9 | 50,1 |
Berdasarkan hitung cepat empat lembaga ini, yang jumlahnya lebih
kecil dibandingkan dengan yang memenangkan Jokowi, Prabowo Subianto juga
mendeklarasikan kemenangannya. Sebagai konsekuensinya, Indonesia saat
ini berada dalam kebingunan politik, ketidakpastian dan bahkan
instabilitas, dalam dua minggu menjelang pengumuman hasil resmi yang
akan disampaikan oleh KPU pada tanggal 22 Juli.
Bagaimana kebingungan ini bisa muncul? Kita harus menarik garis lurus
bahwa hal ini tidak disebabkan oleh adanya lembaga-lembaga survey yang
memiliki kredibilitas yang sama yang menghasilkan hasil hitung cepat
yang sama legitimasinya. Sebaliknya, kebingungan ini adalah bagian dari
strategi yang sengaja diambil untuk mengaburkan hasil pilpres yang
sebenarnya membuka ruang untuk mencapai kemenangan melalui cara yang
manipulatif, sebuah strategi yang telah lama dipersiapkan. Sebagaimana
diketahui umum, salah satu penasehat strategi Prabowo, Rob Allyn,
terkenal tidak hanya ahli dengan strategi kampanye negatif tetapi juga dengan memproduksi survey yang menciptakan kesan seolah-olah kandidat yang elektabilitasnya
rendah adalah kandidat yang kompetitif, dan menciptakan kebingungan
publik untuk melakukan manuver sehingga kandidat yang bersangkutan
mendapatkan posisi yang diinginkan. Allyn sudah terkenal melakukan
strategi ini di pemilu Meksiko dan sepertinya Indonesia merupakan lahan
yang subur untuk melakukan metode yang sama.
Langkah 1: Memperkeruh Statistik
Selama sekitar sepuluh tahun terakhir, selain lembaga-lembaga survey
professional yang kredibel, mudah diketahui ada banyak juga organisasi
yang muncul di Indonesia yang bersedia merekayasa survey sesuai
kebutuhan kliennya, bahkan juga memalsukan surveynya sekaligus. Mereka
biasanya melakukannya dalam survey pemilih, dengan asumpsi bahwa
sebagian pemilih Indonesia akan cenderung untuk mendukung calon yang
diperkirakan akan menang, sehingga melakukan manipulasi survey dapat
menaikkan elektibilitas sponsornya.
Walaupun kami tidak memiliki bukti bahwa lembaga survey yang
menghasilkan hasil hitung cepat yang memenangkan Prabowo dibayar untuk
merekayasa hasil hitung cepat yang mereka lakukan, rekam jejak mereka
memberikan banyak alasan bagi kita untuk curiga –bahkan yakin- bahwa
manipulasi telah terjadi. Sebagai contoh, salah satu dari organisasi
yang disebutkan di atas, LSN (Lembaga Survey Nasional), memiliki rekam
jejak yang menghasilkan hasil survey pemilih yang menunjukkan kemenangan
Prabowo dan partai Gerindranya dengan selisih yang sangat jauh
dibandingkan dengan lembaga survey yang kredibel dan mapan. Pada tahun
2009, LSN memprediksi perolehan suara Gerindra pada pemilu legislatif
waktu itu akan mencapai 15,6 % suara – yang ternyata hanya memperoleh
4,5%. Pada pemilu legislatif 2014, LSN mempublikasikan hitung cepat awal
yang bahkan dilakukan sebelum TPS ditutup yang menunjukkan Gerindra
akan memenangkan pemilu dengan 26,1% suara, nampaknya dengan harapan
bahwa pemilih yang belum mencoblos akan terpengaruh dan memilih
Gerindra. Kenyataanya, Gerindra memperoleh posisi ketiga dengan 11,8%.
Dua hari sebelum hari pencoblosan pemilu presiden, LSN mengeluarkan
survey pemilih yang menunjukkan Prabowo memenangkan pilpres dengan
selisih 9% suara – walaupun lembaga survey kredibel lainnya menunjukkan
Jokowi yang memimpin dengan selisih 2-4% suara.
Puskaptis, lembaga lain yang menunjukkan bahwa Prabowo memenangkan
pilpres pada 9 Juli sore, memiliki sejarah serupa yang layak
dipertanyakan. Pada tahun 2013, kepala Puskaptis, Husin Yazid, harus
diselamatkan dari amukan massa yang murka akibat manipulasinya dalam
hitung cepat di Pilkada Sumatra Selatan. JSI (Jaringan Suara Indonesia);
dalam pilpres kali ini, hampir tidak memiliki rekam jejak, disamping
prediksinya yang salah tentang kemenangan Gubernur Fauzi Bowo melawan
Jokowi di Pilgub Jakarta 2012. JSI juga mengklaim pada tahun yang sama
bahwa 64% dari penduduk Indonesia menganggap Prabowo paling cocok untuk
menjadi presiden Republik Indonesia. Terakhir, IRC (Indonesian Research
Center) dilaporkan dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo, konglomerat media
yang merapat di kubu Prabowo. Pada Juni 2014, IRC memprediksi bahwa
Prabowo akan memenangkan pilpres melawan Jokowi dengan prosentase 48%
berbanding 43% – menggunakan metodologi yang tidak dikatahui sebelumnya:
yaitu mengkombinasikan perolehan suara masing-masing kandidat capres
dalam survey sebelumnya dalam sebuah indeks dan mendistribusikannya
ulang berdasarkan kecenderungan saat ini, apakah mereka memilih Prabowo
atau Jokowi. Sangat sulit untuk memikirkan pendekatan yang lebih tidak
professional dalam survey pemilih dibandingkan dengan yang ini.
Berdasarkan apa yang terjadi sebelumnya, tidak mengherankan apabila
lembaga-lembaga ini menghasilkan hitungan yang kita saksikan pada 9
Juli. Tidak mengherankan juga bahwa semua lembaga ini mempublikasikan
temuannya di TVOne –channel TV yang dimiliki sekutu Prabowo, Aburizal
Bakrie yang telah menyiarkan secara terang-terangan dukungan kepada
Prabowo selama pilpres. Menjelang 9 Juli, TVOne menandatangani kontrak
eksklusif dengan Poltracking, lembaga survey baru dengan reputasi baik.
Pada hari pemungutan suara, sayangnya, Poltracking diberi tahu oleh
TVOne bahwa lembaga survey lain akan ikut hitung cepat yang disiarkan
oleh TVOne. Mengetahui reputasi lembaga-lembaga ini yang dipertanyakan,
Poltracking memutus kontrak dengan TVOne pada 9 Juli 2014 jam 10.00
pagi. Poltracking kemudian mengumumkan hasil hitung cepat, seperti
lembaga kredibel lainnya, bahwa Jokowi memenangkan pilpres. Lembaga
lainnya, seperti telah dijelaskan di atas, mengikuti keinginan TVOne dan
mempublikasikan hasil hitung cepat yang telah termanipulasi yang
memenangkan Prabowo.
Langkah 2: Curi hasilnya.
Untuk apa melakukan manipulasi terhadap hitung cepat? Masyarakat
sudah mencoblos, jadi melakukan manipulasi tidak akan mempengaruhi
pilihan pemilih atau elektibilitas seorang capres lagi. Dengan demikian,
tujuannya sangat jelas: untuk mengulur waktu dan menciptakan kebingunan
publik tentang hasil pilpres, dengan tujuan untuk memberikan ruang bagi
metode lain untuk memproduksi kemenangan melalui hitungan resmi.
Terdapat dua langkah yang kemungkinan bisa dilakukan Prabowo untuk
memenangkan pilpres saat ini. Yang pertama adalah menunggu pengumuman
resmi dari KPU lalu mengajukan banding sengketa pemilu ke Mahkamah
Konsitusi. Selisih peroleh suara yang memenangkan Jokowi, sepertinya,
menunjukkan bahwa jika toh akhirnya kubu Prabowo bisa menunjukkan bukti
kesalahan administrasi perhitungan di beberapa tempat – yang pasti akan
dapat dilakukannya karena pemilu di Indonesia tidak steril dari
kesalahan dalam penghitungan- hal ini tidak akan dapat membalikkan hasil
pemilu melalui keberatan formal. Berdasarkan quick count dari lembaga
yang kredibel, keunggulan Jokowi diperkirakan sekitar 6,5 juta suara;
sehingga Prabowo harus membalikkan sekitar 3,3 juta suara untuk bisa
mendapatkan posisi seimbang dengan Jokowi atau menang tipis. Tidak ada
keputusan Mahkamah Konstitusi, baik dalam kasus lokal atau nasional,
yang pernah membalikkan sedemikian banyak suara dari satu kandidat ke
kandidat lainnya. Dalam kasus yang sangat jarang, MK memutuskan untuk
memindahkan beberapa ratus atau ribu suara- tetapi tidak dalam skala
sebesar ini. Dalam kasus lain yang serupa, MK akan meminta pemilihan
ulang di beberapa tempat, tetapi umumnya akan dilakukan di beberapa TPS
atau kabupaten saja.
Hal ini menyisakan satu pilihan terakhir: manipulasi terhadap
penghitungan suara resmi dan proses tabulasi suara. Kita belajar dari
pemilu Indonesia yang lain- khususnya dari pileg yang terakhir bulan
April- bahwa jual beli suara dalam proses penghitungan terjadi di banyak
tempat. Sebagian calon legislatif atau caleg pada waktu itu berhasil
menyuap penyelenggara pemilu di berbagai level – mulai dari TPS dan
terus berjenjang ke desa, kecamatan, kabupaten/kota lalu ke tingkat
provinsi- untuk mengalihkan suara dari satu partai atau caleg ke partai
atau caleg lainnya, menggelumbungkan suara dengan menggunakan surat
suara kosong yang diperuntukkan bagi pemilih yang tidak datang ke TPS
atau melakukan manipulasi lainnya. Pada pileg bulan April, penyelewengan
terjadi sangat massif tetapi memiliki dampak yang sangat kecil terhadap
perolehan total suara masing-masing partai secara nasional karena caleg
dari semua partai terlibat dalam penyelewengan suara dalam pola yang
terpecah-pecah dan tidak terkoordinasi.
Belum pernah terjadi sebelumnya dalam pengalaman demokrasi Indonesia
seorang capres dapat mencuri kemenangan dalam pilpres. Tetapi patut
dicurigai bahwa kubu Prabowo sedang mempersiapkan langkah tersebut.
Terutama di tempat-tempat yang rawan (seperti di Pulau Madura), dimana
pendukung Prabowo mendominasi struktur politik lokal dan dimana kubu
Jokowi atau PDIP-nya hanya memiliki sedikit saksi untuk mencatat hasil
pemilu pada saat penghitungan suara di TPS (Exit Poll menunjukkan bahwa
Prabowo memiliki saksi di 88% dari seluruh TPS sementara Jokowi hanya
memiliki saksi di 83% TPS). Manipulasi juga sangat mungkin terjadi di
daerah-daerah dimana gubernur dan walikota atau bupatinya adalah
pendukung Prabowo, mereka dapat memberikan tekanan kepada aparat
pemerintah lokal untuk mengintervensi penghitungan suara.
Kemana Sekarang?
Selama kampanye pilpres, Prabowo menempatkan diri sebagai seorang
demokrat. Bahkan, dia memprotes berkali-kali atas persepsi dirinya
sebagai seorang “diktator”- termasuk dalam pesan Facebook terakhirnya
kepada para pendukungnya sebelum pilpres, dia memprotes gambaran dirinya
sebagai orang yang tidak demokratis, walaupun Prabowo tidak menjelaskan
siapa yang memberinya gambaran tersebut. Dengan adanya manipulasi
hitung cepat dan perang opini tentang siapa sebenarnya yang menang
pilpres, Prabowo memberikan alasan kuat bagi kita untuk berasumpsi bahwa
dia berpotensi menjadi seorang otokrat yang tidak memiliki penghargaan
atas keinginan rakyat dan tidak akan berhenti sampai mendapatkan
kekuasaan.
Menurut kami, kalaupun terjadi, upaya untuk mencuri pilpres akan
gagal. Skala kemenangan Jokowi cukup besar sehingga terlalu banyak suara
yang harus dibalik untuk memenangkan Prabowo. Tetapi kita tidak bisa
sangat yakin atas kesimpulan ini: apa yang kita ketahui tentang latar
belakang Prabowo, sejarah manipulasi penghitungan dan tabulasi suara di
pemilu atau pilkada lainnya di Indonesia, lemahnya monitoring saksi
PDIP, kuatnya jaringan politik Prabowo di daerah dan melimpahnya dana
yang dimilikinya, menunjukkan bahwa kubu Prabowo sangat berpotensi untuk
melakukan langkah terorganisir untuk mengubah hasil pilpres. Walaupun
untuk melakukannya tentu tidak mudah. Skala manipulasi yang besar akan
membutuhkan cara-cara yang akan sangat mudah dideteksi dan akan
membangkitkan perlawanan dari pendukung Jokowi. Kalau ada kecurangan
dalam skala yang signifikan, konflik politik akan sulit terhindari.
Demokrasi Indonesia belum lepas dari bahaya. Dalam beberapa posting sebelumnya (disini, disini dan disini),
kami sudah berkesimpulan bahwa demokrasi Indonesia paska Suharto berada
dalam bahaya jika Prabowo terpilih menjadi presiden. Sekarang sudah
muncul indikasi bahwa setelah gagal terpilih, sedang dipersiapkan
langkah untuk merongrong institusi demokrasi sebagai bagian untuk
merengkuh kekuasaan.
……………
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner adalah peneliti politik Indonesia di Department of Political and Social Change di Australian National University, pada College of Asia and the Pacific.
Versi asli dari artikel ini, yang diterbitkan pada tanggal 10 Juli, bisa dibaca di sini.
Article translated by Bayu Dardias.
0 komentar:
Post a Comment