Breaking News: Operasi Rahasia Kopassus dan BIN Untuk Mempengaruhi Hasil Pemilu
5 Juli 2014
Oleh Allan Nairn
Jakarta
Kopassus dan Badan Intelijen Nasional (BIN) terlibat dalam operasi rahasia guna mempengaruhi pemilihan presiden.
Menurut
laporan-laporan yang terdokumentasikan tentang pertemuan-pertemuan di
markas Kopassus belakangan ini, operasi tersebut dirancang untuk
menjamin kemenangan Jenderal Prabowo pada 9 Juli. Prabowo Subianto
sempat lama menjadi orang binaan Pentagon dan intelijen AS.
Survey-survey menunjukkan, Prabowo kini bersaing ketat dengan lawannya yang sipil, gubernur Jakarta Joko "Jokowi" Widodo.
Prabowo dan Jokowi dijadwalkan berdebat di televisi untuk terakhir kalinya sebelum hari pencoblosan.
Pemilihan umum
di negara kepulauan ini, dan di tengah diaspora global masyarakat
indonesia, diperkirakan merupakan kedua yang paling besar di tahun ini.
Nomor satu ditempati oleh pemilu India yang diselenggarakan Mei lalu.
Prabowo
terlibat dalam kasus-kasus pembunuhan warga sipil dan penyiksaan.
Meskipun kini memasang pose nasionalis tulen, karirnya di militer
dihabiskan untuk bekerjasama dengan DIA (Badan Intelijen Pertahanan AS)
dan pejabat-pejabat tingkat tinggi Amerika. Ia pun pernah membawa masuk
Pasukan Khusus AS bersenjata lengkap ke wilayah Indonesia.
Prabowo telah
menyerukan agar hak rakyat Indonesia untuk memilih dalam pemilihan
langsung (direct vote) dicabut. Ia menjelaskan bahwa hal ini akan
dilakukan setelah musyawarah dengan "elit-elit politik."
Dalam dua
obrolan off-the-record bersama saya, Prabowo mengatakan Indonesia "belum
siap untuk demokrasi." Ia katakan bahwa presiden waktu itu, Gus Dur,
seorang ulama populer dari kalangan sipil, "bikin malu" Indonesia karena
buta. Prabowo menyesalkan angkatan bersenjata yang tunduk pada Gus Dur
dan bicara panjang lebar tentang masa depan politik dirinya. "Apa saya
cukup punya nyali," tanya Prabowo, "Apa saya punya nyali untuk disebut
diktator fasis?"
Rangkaian laporan dan komentar saya tentang Jenderal Prabowo telah menjadi isu dalam pemilu kali ini.
[Tim] Kampanye
Prabowo menuding saya "musuh bangsa" dan menghimbau agar militer
menangkap saya. Angkatan bersenjata telah menyatakan bahwa saya telah
"menjadi target operasional." Kamis pekan ini Prabowo berpidato, memohon
agar rakyat Indonesia mengabaikan laporan-laporan saya tentang dirinya
hanya karena saya orang asing.
Laporan-laporan
di bawah ini datang dari orang-orang yang terlibat dalam operasi
BIN/Kopassus. Mereka berbicara kepada saya secara anonim.
Laporan mengenai rapat-rapat di markas Kopassus di Cijantung datang dari sumber-sumber yang hadir dalam rapat-rapat tersebut.
Panggilan
telepon dari saya pada tanggal 4 Juli untuk meminta komentar Jenderal
Prabowo tidak dijawab. Saya menelpon ke nomor telepon genggam yang
pernah saya kontak saat menghubungi Prabowo sebelumnya.
----
Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, adalah sebuah tempat yang terkenal di Indonesia.
Di tempat
inilah para aktivis pro-demokrasi diculik oleh Kopassus (yang saat itu
dimimpin Prabowo), disiksa, dan rupanya-rupanya dieksekusi pada tahun
1997-98. Ketika itu terjadi perlawanan besar-besaran terhadap mertua
Jenderal Prabowo, yakni Suharto, seorang diktator yang dibekingi AS.
Tiga belas
dari keseluruhan korban penculikan hingga kini masih hilang dan diduga
telah meninggal. Salah satu pimpinan tim kampanye Prabowo, Jenderal
Kivlan Zen, menyatakan bahwa dirnya mengetahui di mana mayat mereka
dikuburkan.
Cijantung juga
merupakan situs pelatihan Kopassus yang diselenggarakan AS. Ke tempat
ini pula para pejabat AS sering berkunjung. Selama Prabowo masih
menjabat, sejumlah nama jenderal, Panglima Pasifik (CINCPAC) dan
Sekretaris Pertahanan, tertulis dalam buku tamu.
Pada suatu
hari dalam pekan ini (sumber-sumber terlibat minta agar saya tidak
menyebut tanggalnya), para agen senior Kopassus mengadakan rapat di
Cijantung pada malam hari.
Topik pembicaraannya adalah operasi rahasia untuk menjadikan Prabowo Presiden.
Diantara hadirin adalah sejumlah veteran operasi-operasi rahasia di Aceh dan Papua Barat.
Sang
komandan-pimpinan memulai rapat dengan mengatakan "Kamu nyantai aja,
kita udah kerja, teman-teman udah kerja semua dan kita menang — Kopassus
dan orangnya Prabowo, kita menang."
Mereka menyebutnya "operasi khusus" yang dilakukan oleh "pasukan khusus ini."
Kendati
sifatnya luar biasa--mencurangi pemilu sipil untuk memenangkan salah
satu kandidat--sang komandan menyebut operasi tersebut sebagai
perpanjangan (extension) dari taktik lumrah "operasi a la Kopassus".
Menurut
seorang peserta rapat, operasi ini dimulai setelah pemilu legislatif
April lalu, ketika Prabowo dan Jokowi keluar sebagai dua kandidat
presiden.
Menurut aturan hukum Indonesia, angkatan bersenjata dan badan-badan intelijen harus mengambil sikap netral.
Anggota aktif TNI bahkan tidak punya hak untuk memilih.
Presiden Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono, adalah seorang jenderal pensiunan. Susilo juga bekas atasan Prabowo.
Susilo secara teknis netral dalam pemilihan ini, walaupun baru-baru ini dia memberi sinyal bekingan ke Prabowo.
Menurut
bahasan rapat tersebut dan rapat-rapat lainnya, dan menurut pihak-pihak
yang terlibat, operasi rahasia ini akan melibatkan kecurangan di bilik
suara (ballot tampering), aksi kekerasan jalanan, ancaman terhadap
pendukung Jokowi, dan jika perlu "menghabisi orang."
Operasi
tersebut juga melibatkan tindakan-tindakan berskala lebih kecil,
termasuk oleh pihak-pihak yang terpancing--dalam pandangan mereka--fakta
bahwa artikel saya yang mengutip cercaan Prabowo terhadap Gus Dur telah
menjadi isu di akar rumput.
Minggu lalu
ketika saya mengeluarkan artikel tersebut, muncul spanduk-spanduk di
jalanan yang menampilkan foto Gus Dur berjejer dengan kutipan Prabowo
yang berbunyi:
"Militer pun bahkan tunduk pada presiden buta! Bayangkan! Coba lihat dia, bikin malu saja!"
Menurut seorang agen, "soal spanduk itu sangat ditakuti di dalam [pimpinan tim Kopassus/BIN], sangat merugikan."
Akibatnya, orang-orang berkendaraan sepeda motor Kopasus diperintahan untuk melepas spanduk-spanduk tersebut.
Namun demikian, bahwa Prabowo melecehkan Gus Dur masih dibahas hingga kini.
Kamis kemarin,
sesuai permintaan mereka, saya bertemu dengan keluarga Gus Dur di
Jakarta. (lihat "Regarding the Late Gus Dur," "Terkait Almarhum Gus
Dur").
-----
Operasi
Kopassus/BIN untuk mencurangi bilik suara--setidaknya menurut yang
diketahui sumber-sumber saya--tidak menyasar tabulasi suara di pusat,
melainkan penghitungan suara pada TPS-TPS yang terletak di unit-unit
kecil pemerintahan setempat, dari kabupaten ke bawah (local precincts).
Operasi ini
akan melibatkan pendistribusian uang terselubung (covert money) yang
kini tengah berlangsung, "uang itu tidak kelihatan, uang di pinggir
jalan."
Uang tersebut
(sebagian besar dalam bentuk uang kontan) digunakan untuk "main dengan
kertas suara", dengan menempatkan agen di dalam ruang-ruang penghitungan
suara atau membayar pegawai negeri yang akan mengawal kotak suara.
Upaya ini
khususnya difokuskan di Jawa Tengah, Bawat dan Timur, namun katanya akan
berlangsung pula di sejumlah tempat di seluruh provinsi.
Menurut para
peserta rapat, uang ini didistribusikan lewat Kopassus dan BIN, namun
sumber utama dari dana ini masih rahasia, "sangat tertutup sumbernya
dari mana".
Menurut
pihak-pihak yang terlibat, operasi rahasia ini dijalankan oleh para
komandan senior. Untuk Kopassus sendiri, mereka sebetulnya belum yakin
akan peranan komandan Kopassus, Jenderal Agus Sutomo. Namun, seperti
yang diklaim dalam salah satu rapat di Cijantung, persetujuan tersebut
datang dari Presiden, Jenderal Susilo, sebagai "perintah langsung" yang
turun dalam minggu-minggu terakhir ini, dan bahwa koordinasi operasi--di
luar rantai komando--berasal dari Prabowo.
(Prabowo
sebenarnya dipecat dari militer setelah kalah dari perebutan kekuasaan
pada tahun 1998. Jenderal Susilo adalah salah satu dari para jenderal
yang menandatangani perintah pemecatan tersebut).
Meski
demikian, dalam kasus BIN, kepala BIN saat ini, Marciano Norman,
dikatakan terlibat penuh (fully on board) dalam operasi tersebut.
Marciano dekat dengan Aburizal Bakrie, seorang oligark dan pendukung
Prabowo.
BIN memiliki hubungan dengan CIA. Namun masih belum jelas--sama sekali--bagaimana CIA berhubungan dengan operasi ini.
----
Banyak orang Indonesia menyatakan kekhawatiran mereka bahwa pemilu kali ini akan berlangsung dengan kekerasan.
Operasi Kopassus/BIN diam-diam telah melakukan kekerasan atas nama kubu Prabowo.
Diantara
mereka yang berada di ruang rapat Cijantung itu adalah para organizer
berlatar belakang agen sipil yang mendapat tugas dari Kopassus untuk
membuat "ribut di bawah."
Beberapa
peserta rapat mengaku telah memancing massa bayaran untuk menyerang
pertemuan-pertemuan pro-Jokowi dan lainnya. Mereka bekerjasama dengan
milisi-milisi jalanan milik Prabowo yang telah mendapat pelatihan di
Bogor. Beberapa unit serupa digambarkan "..sudah berlatih, [dan] sering
merampok di mana mana."
Taktik yang
sering dipakai Kopassus/BIN ini ditambah lagi dengan pendekatan baku
lainnya: telepon dan sms anonim yang mengancam sasaran yang dituju atau
orang-orang terdekat mereka dengan kematian, atau hal yang lebih buruk
dari itu.
Pada
kenyataannya, sebuah buku panduan lama Kopassus yang bocor ke publik
telah secara resmi menyebutkan keberadaan taktik ini. Panduan itu
menyatakan: anggota Kopassus harus terlatih menggunakan "taktik dan
teknik teror."
Terkait
pelaksanaan ancaman-ancaman tersebut, pembunuhan politik yang dilakukan
Kopassus memiliki sejarah yang panjang. BIN dikenal dengan
teknik-tekniknya yang rumit, misalnya arsenik yang digunakan untuk
membunuh Munir.
Namun,
pembunuhan politik dalam pemilihan tingkat nasional adalah urusan
sensitif. Dalam salah satu rapat di Cijantung, dinyatakan bahwa dulu
jika situasi bertambah buruk, mereka akan "ambil orang, habisi orang",
seperti yang dilakukan Kopassus di bawah pimpinan Prabowo selama krisis
tahun 1997-98.
Namun sekarang
keadaannya berbeda. Pelaku operasi senyap harus memiliki sensitivitas
politik. Seorang peserta rapat berkomentar terkait sejumlah target,
"[orang] bisa melukai", tapi mungkin tidak membunuh mereka.
Lebih ke pokok
persoalan, dalam sebuah rapat muncul satu pernyataan menyangkut
pembunuhan: "Paling tidak, dalam kondisi ini, [orang-orang top] dari
kubu [Jokowi], jangan." Namun buat "karyawan kecil [Jokowi],
entah--nggak apa-apa."
Kebijakan ini nyaris paralel dengan apa yang dikatakan Prabowo kepada saya di tahun 2001 tentang pembantaian massal: jangan lakukan [pembantaian] di ibukota, di depan para saksi, "tapi di desa-desa di mana tak seorang pun tahu."(Lihat: "Do I have the guts," Prabowo asked, "am I ready to be called a fascist dictator?").
Mengacu pada
perencanaan kemungkinan pembunuhan/penganiayaan dalam waktu dekat ini,
salah seorang komandan Kopassus di Cijantung mengatakan: "Orang sipil
tidak bisa, hanya kopasus yang bisa."
Pernyataan ini
mengacu pada fakta bahwa banyak dari kerja-kerja operasi di lapangan
dilakukan oleh orang-orang sipil yang secara rahasia bekerja sebagai
agen Kopassus paruh waktu/tetap.
Pada tanggal 9
November 2010, saya mengeluarkan dokumen-dokumen Kopassus yang
diantaranya meliputi daftar aktivis yang ditarget Kopassus di Papua.
Dokumen-dokumen tersebut juga merinci jaringan agen sipil Kopassus di
tempat yang sama.
Menurut
data-data personil Kopassus yang saya laporkan saat itu, jejaring agen
sipil Kopassus meliputi "reporter suratkabar lokal dan stasiun-stasiun
televisi nasional, mahasiswa, staf hotel, seorang pegawai pengadilan,
seorang pegawai negeri sipil yang bekerja di bidang seni dan budaya,
seorang anak usia 14 tahun ... petani [lebih dari satu]. buruh [lebih
dari satu] ... sopir ojek, [dan] seorang penjaga kios pula yang
mengawasi orang-orang yang membeli SIM card, serta seorang sopir yang
bekerja pada sebuah perusahaan rental mobil..."
Dengan
jejaring seperti ini, Kopassus memiliki posisi yang nyaman untuk
mengintai--dan bertindak melawan--orang-orang yang menarik perhatian
mereka dalam pemilihan yang akan berlangsung pekan depan dan di
waktu-waktu pasca-pilpres.
-----
Sumber: Allan Nairn
0 komentar:
Post a Comment