Petualangan Jusuf Kalla: Dari Aceh, Poso hingga Joko Widodo
Seorang dari internal PDIP, saya sebut beliau Mr. A pada tulisan sebelumnya memberikan sebuah kabar menarik mengenai peta cawapres untuk Jokowi. Secara tiba-tiba, nama Jusuf Kalla dan Abraham Samad kembali masuk dalam calon pendamping Jokowi di Pilpres 2014. Padahal, nama Abraham Samad dan Jusuf Kalla sudah dicoret jauh-jauh hari.
Mr. A mengatakan, nama Abraham
Samad kembali masuk setelah terkuaknya kasus pajak BCA Rp 375 miliar
yang mengarah pada PDIP. Internal PDIP memahami bahwa dibukanya kasus
tersebut oleh Abraham Samad merupakan bentuk pembalasan.
Pembalasan atas apa? Atas
pencoretan nama Abraham Samad dari calon pendamping Jokowi. Abraham
Samad sebagai Ketua KPK menggunakan kuasanya mempercepat pembukaan kasus
pajak BCA untuk kepentingan politiknya. Semua juga tahu kalau Djarum
dan Salim Group merupakan pendana besar di belakang Jokowi. Tentu saja,
dengan membuka kasus pajak BCA, Abraham Samad ingin menunjukkan
kekuatannya pada PDIP. Singkat kata, kasus pajak BCA adalah sebuah
peringatan dari Abraham Samad kepada PDIP jika berani mencoret namanya
dari daftar cawapres Jokowi. Dimengerti.
Namun ketika saya tanyakan
mengenai bagaimana nama Jusuf Kalla bisa kembali masuk dalam daftar
cawapres Jokowi, Mr. A tolak menjawab detail. Ia hanya mengatakan kalau
secara tiba-tiba nama Jusuf Kalla kembali masuk karena adanya intervensi
tingkat tinggi.
“Yang jelas bukan intervensi
Partai Politik. Yu’Tun (nama panggilan Megawati) pun tak bisa
menjelaskan detail soal ini,” jelas Mr. A.
Pertanyaannya, siapakah pihak
yang mampu mengintervensi seorang Megawati? Apakah kelompok pendana di
belakang Jokowi? Atau koneksi internasional Jusuf Kalla yang mendesak
Megawati? Atau ada pihak lain lagi yang selama ini luput dari sorotan?
Mari kita analisa bersama.
Apabila pihak yang
mengintervensi adalah pendana di belakang Jokowi, tentu saja nama yang
masuk itu adalah Abraham Samad. Seperti sudah saya sebut di atas, Djarum
dan Salim kemungkinan mengintervensi masuknya kembali nama Abraham
Samad di cawapres Jokowi. Djarum dan Salim Group beserta BCA-nya tidak
ada kepentingan untuk memasukkan kembali nama Jusuf Kalla. Sebab, lawan
dari kasus pajak BCA ini adalah KPK alias Abraham Samad.
Lantas, apakah pihak yang
mengintervensi Megawati itu adalah koneksi internasional di belakang
Jusuf Kalla? Kita harus akui bahwa Jokowi memang belum memiliki
kemampuan dalam membina relasi internasional. Seperti saya ulas dalam
tulisan saya sebelumnya, hubungan Jokowi dengan Hillary Clinton bermula
dari terorisme di Solo.
Lihat ini : Percumbuan Jokowi dan AS, Bermula dari Abu Bakar Ba’asyir bit.ly/1mL2Vd7
Dalam praktiknya, hubungan
Jokowi dengan Hillary Clinton bukanlah hubungan yang setara (horizontal)
melainkan lebih cenderung Vertikal. Itulah kenapa Megawati selalu
mengawal pertemuan Jokowi dengan kongsi internasional. Contoh, pertemuan
Jokowi didampingi Megawati dengan 7 duta besar asing di rumah Jacob
Soetoyo.
Siapakah Jacob Soetoyo? Beliau
adalah pengusaha Gesit Group yang memiliki kedekatan hubungan dengan
Gemala Group milik keluarga Wanandi.
Jacob Soetoyo dan Jusuf Wanandi (kakak Sofyan Wanandi) merupakan anggota resmi Komisi Trilateral (lihat www.trilateral.org).
Selain itu, Lukito Wanandi juga terdaftar dalam anggota Komisi
Trilateral. Dalam organisasi Trilateral ini, Jacob Soetoyo dan Lukito
Wanandi menjabat sebagai anggota biasa. Namun Jusuf Wanandi tercatat
sebagai Asia Pacific Deputy Chairman Trilateral Commission.
Bagi yang belum tahu, Komisi
Trilateral adalah sebuah organisasi tingkat tinggi di level global.
Trilateral bertujuan menyatukan kepentingan misi dagang (ekonomi) dan
politik di kawasan Eropa, Amerika Utara dan Asia. Mekanisme keanggotaan
dalam Komisi Trilateral menggunakan sistem undangan (invitation). Serupa
dengan kelompok Freemasonry dan Rosicrucian global, memakai sistem
keanggotaan tertutup. Itulah sebabnya, banyak yang menyebut Komisi
Trilateral sebagai bentukan Yahudi internasional juga bagian dari
gerakan iluminati global.
Perlu diketahui, selain keluarga Wanandi dan Jacob Soetoyo, ada beberapa pengusaha Indonesia yang masuk dalam Trilateral.
Chairman Ancora Internasional,
Arifin Siregar terdaftar sebagai anggota Trilateral. Ancora merupakan
bisnis milik Gita Wirjawan. Itulah sebabnya, banyak orang bilang tak
sulit bagi Gita Wirjawan memancing investasi asing besar-besaran ke
Indonesia. Melalui Arifin Siregar, titipannya di Komisi Trilateral, Gita
Wirjawan memiliki koneksi ke kekuatan dana dan poliitik global.
Dato Sri Tahir, bos Mayapada
Group yang merupakan menantu dari Mochtar Riady (Lippo Group) juga
terdaftar dalam anggota Komisi Trilateral. Mungkin itu menjelaskan
kenapa Lippo Group seperti tak pernah kehabisan dana dan jaringan
politik di tingkat global. Perlu diketahui juga, Mayapada merupakan
donatur besar program PPSDMS milik Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Mantan Menteri Luar Negeri Hasan
Wirayuda yang menjabat pada 2001 – 2009, juga terdaftar sebagai anggota
Komisi Trilateral. Kelihatannya, arus modal asing Trilateral untuk
jalur pemerintahan masuk melalui Hasan Wirajuda.
Sejumlah raksasa Asia juga
terdaftar dalam anggota Komisi Trilateral, seperti Toyota Motor
Corporation, Mitsui and Co, Fuji Xerox, Mitsubishi Corp, Samsung
Electronics, Lotte Group, Siam Cement Group, Temasek Holdings dan
sebagainya.
Daftar raksasa Asia yang
terdaftar dalam Komisi Trilateral itu bukan secara kebetulan merek
dagangnya kini menguasai Indonesia. Modal raksasa mereka masuk ke
Indonesia melalui Jusuf Wanandi sebagai pejabat tinggi Trilateral Asia
Pacific. Dari Jusuf Wanandi tersebar ke 3 gerbong : Gita Wirjawan, Lippo
Group dan Pemerintahan.
Dari pemetaan sederhana ini,
dapat disimpulkan siapa pun kandidat capres yang disokong oleh Gita
Wirjawan, Lippo Group dan Pemerintahan (Status Quo), berasal dari
kelompok yang sama, Komisi Trilateral.
Jusuf Kalla memang memiliki
kedekatan hubungan dengan keluarga Wanandi, baik di dalam Partai Golkar
maupun bisnis. Jusuf Wanandi merupakan pendiri CSIS yang juga mantan
anggota Partai Golkar. Tapi informasi dari seorang rekan anggota
Freemasonry sekaligus Rosicrucian mengatakan, Jusuf Kalla tidak masuk
dalam Komisi Trilateral.
Menurut rekan tersebut, Jusuf
Kalla memang sudah lama mengincar masuk dalam Komisi Trilateral, tapi
belum diundang. Keluarga Wanandi belum mengundang Jusuf Kalla masuk ke
dalam Trilateral.
Oleh karenanya, Jusuf Kalla dan
kelompok Makassar menggawangi pembentukan CAPDI. CAPDI adalah kependekan
dari Centrist Asia Pacific Democrats International. Berdiri pada tahun
2006, dengan Jusuf Kalla sebagai Ketua yang berlanjut pada periode kedua
dan ketiga (hingga saat ini).
Anggota CAPDI merupakan tokoh
dan pemimpin politik yang dominan berasal dari kawasan Asia. Namun
anggota CAPDI juga ada dari AS dan Eropa. CAPDI tak lebih dari tiruan
Komisi Trilateral versi Jusuf Kalla yang gagal masuk Trilateral.
Bagi Jusuf Kalla, kesuksesan
‘mendamaikan’ konflik Aceh merupakan modal untuk membangun jaringan
internasional. Apabila Trilateral tak kunjung mengundang dirinya masuk,
bisa dirikan organisasi sendiri. Portofolio Jusuf Kalla ‘mendamaikan’
Aceh tentu bisa diolah untuk mengangkat nama sebagai tokoh perdamaian di
Indonesia.
Pada 15 Agustus 2005, Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) menandatangani ‘perjanjian damai’ dengan Indonesia di
Helsinki, Finlandia. Lalu pada 26 Januari 2006, CAPDI berdiri dan
mengangkat Jusuf Kalla sebagai Ketua CAPDI. Jusuf Kalla memimpin CAPDI
hingga saat ini. Pada konferensi ketiga 21 Mei 2013, CAPDI kembali
mengangkat Jusuf Kalla untuk ketiga kalinya.
Menurut Sekjen CAPDI Mushahid
Sayed (Pakistan), alasan mengangkat kembali Jusuf Kalla adalah
mengusahakan perdamaian Aceh dan Poso. Seperti kita tahu, Jusuf Kalla
menjadi tokoh penengah dalam ‘perdamaian’ Aceh dan Poso.
Benarkah Jusuf Kalla tokoh
perdamaian? Seperti apa sih yang dimaksud perdamaian itu? Apakah sekedar
mendamaikan dua pihak yang berseteru? Ataukah juga melibatkan transaksi
dagang raksasa dalam perdamaian itu?
Mari kita analisa bersama.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
bermula pada tahun 1976. Kebanyakan tentu mengira perjuangan GAM adalah
bentuk perjuangan kemanusiaan membela harkat dan martabat Aceh. Sedikit
yang menyadari kalau ada kepentingan perebutan Gas Lhokseumawe di balik
konflik GAM dan pemerintah RI.
Kalau sempat, baca buku
‘Understanding Civil War’ karya Paul Collier dan Nicholas Sambanis
terbitan World Bank. Salah satu ulasan utamanya adalah soal konflik Aceh
antara GAM dengan pemerintah RI. Hasil penyelidikan tim intelijen World
Bank terhadap konflik Aceh, ada kepentingan perebutan gas Lhokseumawe.
Hasan Di Tiro, cucu Teuku Cik Di
Tiro menggalang organisasi GAM untuk tujuan menggagalkan proyek LNG
Lhokseumawe. Sebelum mendirikan GAM, Hasan Di Tiro hidup di New York dan
bekerja untuk PBB. Pada tahun 1953, ia bergabung bersama Daud Beureueh
untuk menggalang pemberontakan Aceh. Setelah digagalkan Sukarno, Daud
Beureueh dan Darul Islam Aceh kandas dan kelompok ini kabur ke luar
negeri.
Pada tahun 1976, Hasan Di Tiro
kembali ke Aceh dan mendirikan GAM dengan kemasan mengembalikan
perjuangan Darul Islam Aceh. Rupanya, motif itu hanya akal-akalan Hasan
Di Tiro, karena sejatinya ada misi perebutan gas Lhokseumawe di balik
berdirinya GAM.
Pada tahun 1971, Mobil Oil milik
Rockefeller Group menemukan cadangan gas raksasa di Aceh. Cadangan gas
temuan Mobil Oil di Aceh bernilai Rp 20 – 30 triliun (nilai saat itu).
Mobil Oil pun menggandeng Pertamina dan Jilco (konsorsium migas Jepang)
untuk mengelola gas Lhokseumawe.
Hasan Di Tiro melihat gas
Lhokseumawe sebagai peluang untuk direbut dengan kemasan perjuangan Aceh
Merdeka. Lalu didirikanlah GAM pada 1976 dan penyerangan perdananya
dengan sasaran pengolahan gas milik Mobil Oil. Bersamaan dengan itu,
Hasan DI Tiro bersama relasi migasnya mengajukan penawaran pengelolaan
pipa gas Aceh ke pemerintah RI. Sayangnya, tender pipa gas Aceh
dimenangkan oleh Bechtel, perusahaan pipa gas asal AS.
Dampak dari gagalnya pemenangan
tender pipa gas yang disertai ‘pemberontakan’ ini, membuat GAM
kehilangan sumber dana. Pada 1979 pun tidak terlihat lagi adanya
pergerakan GAM di Aceh.
Hasan Di Tiro kembali menggalang
GAM pada 1989 ketika mendapatkan sokongan dari Libya (Khadafi). Khadafi
ketika itu ingin merebut gas Lhokseumawe karena dua alasan. Pertama
menguasai pasar gas Asia Tenggara. Kedua, Khadafi ingin merebut pasar
gas Eropa dari Rusia. Seperti diketahui, pasokan gas Eropa dibeli dari
Rusia (menguasai 70% pangsa pasar). Tren kejatuhan komunisme tahun
1980an dilihat Khadafi sebagai peluang merebut pasar gas Eropa dari
Rusia. Tahun 1980, Rusia sedang dalam fase Glasnost dan Perestroika,
reformasi komunisme Rusia.
Alasan itu yang mendorong Khadafi menyokong GAM garapan Hasan Di Tiro, untuk merebut cadangan gas raksasa Lhokseumawe.
Berhubung Indonesia saat itu
sedang membangun pencitraan internasional, aksi GAM 1989 – 1991 dinilai
pemerintahan Suharto sebagai bahaya besar, sehingga penanganannya
diberlakukan DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh. GAM pun susut lagi.
Tak berhenti sampai situ, pada
1999 – 2002, GAM bangkit lagi dengan sokongan dari Norwegia melalui
Swedia dan Finlandia. Bedanya, Norwegia tidak mengincar cadangan gas
Lhokseumawe dengan mendanai GAM. Norwegia mengincar cadangan gas Natuna
Alpha-D, Swedia dan Finlandia mengincar investasi energi bio massa ke
Indonesia. Sokongan ketiga negara ini ke GAM hanyalah sebagai bargaining
positition untuk perebutan proyek dan investasi raksasa di Indonesia.
Itulah kenapa setelah GAM
dipatahkan pada 2002, konflik Aceh masih terus berlangsung hingga harus
‘didamaikan’ pada 2005. Karena motifnya sudah beda, bukan memerdekakan
Aceh untuk sumber daya aceh, melainkan memerdekakan Aceh jika tidak
diberi proyek raksasa di Indonesia.
Norwegia bergerak sebagai sumber
pendana utama. Swedia berperan sebagai pemberi suaka pada Hasan Di
Tiro, sedangkan Finlandia sebagai juru lobi ke Indonesia.
Melihat fakta bahwa GAM digerakkan oleh kepentingan perebutan sumber daya, lalu apa peran Jusuf Kalla di ‘Perdamaian’ Aceh?
Tentu saja, Jusuf Kalla sebagai
Wakil Presiden ketika itu, bertugas menengahi alias mengurus barter
proyek raksasa. Perdamaian Aceh, bagi saya bukanlah sebuah perdamaian
dalam arti Islah. Perdamaian Aceh tak lain adalah transaksi dagang dan
politik tingkat tinggi diperantarai Jusuf Kalla.
Baru lewat 5 tahun sejak
‘Perdamaian Aceh’, sekitar 2011 mulai ramai berita Finlandia dan Swedia
akan investasi besar-besaran ke Indonesia. Finlandia dan Swedia
Masih ingat ketika Jusuf Kalla teriak tolak AS kelola Natuna Alpha-D?
Blok Natuna Alpha-D adalah
cadangan gas raksasa, mencapai 150 triliun kaki kubik gas. Kendala
utamanya adalah, blok Natuna Alpha-D mengandung gas karbon yang sangat
besar. Salah mengeksplorasi, dampaknya adalah melepas gas karbon
besar-besaran ke atmosfer dan mendorong peningkatan Efek Rumah Kaca.
ExxonMobil (merger Exxon Oil dan
Mobil Oil milik Rockefeller) semula akan mengelola Natuna Alpha-D.
Sayangnya, teknologi ExxonMobil tak mampu memisahkan gas karbon dari
blok Natuna Alpha-D. Bersamaan dengan fakta itu, Jusuf Kalla
mengumandangkan tolak AS kelola Natuna Alpha-D. Ketika ExxonMobil
akhirnya didepak dari Natuna Alpha-D, masuk lah StatOil dari Norwegia
dan diterima oleh pemerintah RI.
Siapakah StatOil? Adalah
perusahaan migas raksasa milik Rothschild Norway Group di Norwegia yang
mengelola banyak migas di negara-negara Skandinavia.
Tak hanya itu, pemerintah Norway
pun berkomitmen akan investasi migas besar-besaran ke Indonesia.
Sebagai uang muka, Norwegia mengucurkan dana EUR 1 miliar kepada REDD+
untuk melawan deforestasi. Siapakah salah satu penggagas REDD+? Adalah
Kuntoro Mangkusubroto yang mulai menjalin relasi dengan Jusuf Kalla di
Aceh. Ketika tahun 2004, Kuntoro Mangkusubroto menjabat sebagai Ketua
Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh.
Penjabaran di atas adalah apa yang terjadi sesungguhnya dari ‘Perdamaian Aceh’, bukan soal manusia tapi tentang migas.
Nah, berdasarkan penjelasan Sekjen CAPDI Mushahid Sayed (Pakistan), Jusuf Kalla juga ‘diapresiasi’ karena ‘Perdamaian Poso’.
Bagaimanakah profil konflik Poso dan bentuk perdamaiannya?
Konflik Poso memuncak sebanyak 2
kali. Pada Desember 1998 dan Mei 2006. Bukan kebetulan pula, kedua
konflik ini terjadi pada masa jabatan Gubernur Sulawesi Tengah Mayjen
TNI Bandjela Paliudju. Bandjela Paliuju menjabat Gubernur Sulteng pada
1996 – 2001 (Periode I) dan 2006 – 2011 (Periode II).
Poso merupakan bagian dari
Sulawesi Tengah yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari minyak bumi,
gas, emas hingga nikel. Bandjela Paliudju merupakan sosok yang berpihak
kepada kepentingan masyarakat Sulteng.
Pertanyaannya, kenapa Bandjela
Paliudju sampai harus digoyang oleh dua kali kerusuhan pada dua kali
masa jabatannya? Adakah kepentingan modal raksasa yang akan diuntungkan
dengan goyangnya atau jatuhnya Bandjela Paliudju?
Sesaat setelah Bandjela Paliudju
menjabat Gubernur Sulteng pada 1996, PT Inco asal Kanada mulai
mengeksplorasi Nikel di Poso (1997). Kemudian pada 1998, PT Mandar Uli
Mineral, anak usaha Rio Tinto Group milik Rothschild, menggarap emas di
Poso seluas 550 ribu hektar. Rupanya, pemerintahan Bandjela Paliudju di
Sulteng yang pro rakyat, mengganggu bisnis Inco dan Rio Tinto. Maka
pecahlah konflik Poso Desember 1998. Konflik Poso I (Desember 1998)
berhasil digagalkan oleh kekuatan militer saat itu.
Pada akhir periode jabatannya
sebagai Gubernur Sulteng, Bandjela Paliudju hendak maju kembali untuk
periode 2001 – 2006. Namun pemerintahan Gus Dur tidak mengangkat kembali
Bandjela Paliudju (saat itu, jabatan Gubernur masih ditunjuk presiden).
Ketika Pilkada Sulteng sudah
digelar, pada 2005, Bandjela Paliuju ikut sebagai peserta. Kekhawatiran
dari para pemilik modal besar di kawasan Sulteng dan khususnya Poso
meningkat. Bandjela Paliudju dianggap bisa membahayakan kepentingan
modal asing yang tengah masuk ke Sulteng dengan kebijakannya yang pro
rakyat.
Pada 2006, Inco akan memulai
eksploitasi tambang barunya di Morowali dan telah investasi US$ 1
miliar. Di Teluk Tolo (Marowali), Pertamina dan Medco tengah memproduksi
minyak dari Lapangan Tiaka sejak 31 Juli 2005. Rencananya, pengapalan
pertama join Pertamina dan Medco ini pada 12 Januari 2006. Pertamina dan
Medco juga tengah membangun proyek Donggi-Senoro di Sulteng. Proyek
Donggi – Senoro mayoritas dikuasai oleh Mitsubishi Corporation (80%),
Pertamina (10%) dan Medco (10%).
PT Bukaka Hydropower Engineering
milik Jusuf Kalla juga tengah membangun PLTA Poso 740 MW. PLTA ini akan
menyuplai kebutuhan listrik bagi industri baru (Inco, Rio Tinto, Medco,
dsb) di area Sulteng.
Adanya fakta kepentingan
industri raksasa baru di Sulteng pada tahun 2005 – 2006 merupakan pemicu
digerakkannya Konflik Poso II pada Mei 2006. Kemenangan Bandjela
Paliudju dengan pemerintahannya yang pro rakyat dianggap sebagai ancaman
bagi para raksasa itu (Inco, Rio Tinto, Medco, Mitsubishi, Bukaka.
dsb). Oleh sebab itu, untuk kedua kalinya Bandjela Paliudju digoyang
oleh kerusuhan Poso.
Sebelumnya malah KPU menunda
pelantikan Bandjela Paliudju karena dituduh memberikan janji terlalu
banyak kepada masyarakat. Tuduhannya adalah Bandjela Paliudju
menjanjikan pembangunan jalan, pemberian traktor, dan sebagainya. Namun
akhirnya tidak terbukti dan mau tak mau Bandjela Paliudju dilantik jadi
Gubernur Sulteng 2006 – 2011.
Strategi pertama (tuduhan KPU)
gagal, para raksasa (Inco, Rio Tinto, Medco, Mitsubishi, Bukaka, dsb)
pun menjalankan Strategi kedua : konflik Poso. Tak lama Bandjela
Paliudju dilantik, pecahlah konflik Poso II pada Mei 2006.
Di tengah konflik tersebut,
Jusuf Kalla yang waktu itu menjabat Wakil Presiden menjadi penengah.
Dengan kata lain, Jusuf Kalla menjadi gawang dari raksasa asing dan
kepentingan PLTA Bukaka di Poso untuk negosiasi dengan Bandjela
Paliudju.
Wakil Presiden Jusuf Kalla
memberikan 2 penawaran pada Bandjela Paliudju : Dijatuhkan atau
Fasilitasi Kepentingan Industri. Bandjela Paliudju saat itu terdesak
oleh adanya konflik agama yang parah di Poso. Tak hanya sekali, tapi
dalam dua masa jabatannya sebagai Gubernur Sulteng. Apabila memilih
dijatuhkan, Bandjela Paliudju akan disandera sebagai otak di belakang
konflik Poso I dan II. Landasannya sederhana, dua kali konflik Poso pada
masa jabatan Bandjela Paliudju sebagai Gubernur Sulteng.
Bagi Bandjela Paliudju, memilih
Dijatuhkan pun akan terjebak pada status ‘Otak Di Belakang Konflik Poso I
dan II’. Tak ada jalan lain bagi Bandjela Paliudju selain menyerah pada
kepentingan industri dan asing yang dikawal Jusuf Kalla. Dan terjadilah
‘Perdamaian Poso’.
Dari ulasan di atas, jelas
sekali bahwa baik dari konflik Aceh (GAM) maupun Poso, di baliknya ada
perebutan sumber daya alam. Ada kepentingan pemilik modal raksasa di
balik konflik-konflik yang terjadi di Indonesia. Konflik-konflik itu
bisa berkemas perang agama, membela hak kesukuan dan lain sebagainya.
Seperti halnya Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Tentu saja motif dan penyokong di belakangnya adalah
Freeport sebagai pihak yang paling diuntungkan jika Papua lepas dari
Indonesia.
Apabila dalam setiap konflik
besar ada kepentingan modal raksasa, maka perdamaiannya pun tak lain
transaksi dagang dan politik. ‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’
bukanlah sebuah islah sebagaimana dalam konflik mikro. ‘Perdamaian Aceh’
dan ‘Perdamaian Poso’ adalah konflik makro yang melibatkan kepentingan
modal raksasa para asing. Maka ‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’
yang diklaim Jusuf Kalla tak lain hanyalah sebuah transaksi jual beli
aset RI dengan pihak raksasa asing.
Pertanyaannya, jika Jusuf Kalla
memiliki kemampuan dan relasi asing sebesar itu, apakah benar ada asing
yang mengintervensi PDIP? Apa benar Asing yang mengintervensi PDIP dan
Megawati agar memasukkan kembali nama Jusuf Kalla dalam daftar cawapres
Jokowi?
Ataukah ada pihak lain yang mengintervensi PDIP dan Megawati terkait Cawapres Jokowi, namun belum disoroti selama ini?
Mari kita simak kelanjutannya.
oleh: Ratu Adil
0 komentar:
Post a Comment