Desi Anwar: My Take on ‘Delusional’ Prabowo
I don’t know what Indonesia has done to deserve this karma of having a
loser of a presidential candidate who just refuses to accept his defeat
gracefully, move on with his life and let the country get on with going
back to business as usual.
Instead, in the more than two weeks since we all went dutifully to
the polling station to make our choice, in a peaceful, democratic and
transparent election, we still have to put up with listening to his
rhetoric and speeches about how, according to his version of the
results, he should have won, about how the General Elections Commission,
or KPU, is unfair and undemocratic, about how the whole election
process is illegitimate because it is based on a massive and systematic
fraud. All because the stars are not in his favor. All because he lost.
Because the result — since the day the quick counts were aired, to
the official count made by the KPU under intense scrutiny by the whole
of country who made sure that no irregularity went unnoticed —
consistently puts him in the losing team.
This, despite his team’s months of relentless efforts in engaging in
huge, effective and systematic smear campaigns in every media platform
that actually garnered him more votes than he would otherwise deserve.
Despite the huge and successful public relations efforts to make him
into some sort of savior of the land and the many activities, both
obvious and covert, to influence voters to choose him. Not to mention
the amount of time, money, professional campaign strategists, energy and
high blood pressure expended in order to fulfill his one lifelong
ambition: to be the president of this country.
But the fact is, there can only be one winner. And it just so
happens, it’s not him. And no amount of bad mouthing of his opponent, no
amount of telling the entire world that he’s won the election, no
amount of shouting and getting upset, can change that fact. A fact that
many losing presidential candidates around the world have had to accept
in the end, however bitter, without breaking down into pathetic temper
tantrums. This, after all, is the world of politics, not some
kindergarten playground.
Instead of quietly and gracefully conceding — which would have been
the most honorable thing to do, especially for a man of valor and a
patriot as he always claims himself to be — he has stolen much of the
media limelight that should have been devoted to congratulating the
newly elected president, to focus on his pain, frustrations and immense
sense of betrayal.
Is he not the embodiment of heroism and bravery? Is he not the
champion of democracy? Is he not the knight in shining armor who is
destined to raise the Indonesian people from their stupidity,
slave-mentality and oppression by arrogant foreigners?
Is it not obvious that he is the true and legitimate winner of the
election, and not some skinny, furniture maker out of nowhere who’s
never ridden a horse, wielded a gun or defended the country in battle? A
nobody who actually had the audacity to cross path with one born with a
silver spoon in his mouth and whose lineage can be traced back
centuries.
Surely there must be some mistake. A cruel joke. Or some massive and
systematic conspiracy concocted by the supporters of the Dark Force to
rob him of his rightful throne and his birthright. The stars cannot be
wrong. So the whole election must be wrong. And it is his duty to right
that wrong, whatever it takes, lest the heavens be offended if the
injustice is not redressed.
Never mind that the whole country is hostage to his rage. Never mind
that he treats respected institutions with contempt like some bilious
and cantankerous despot, and this when he’s not even the president yet.
(God forbid what he would be like if he did become president).
In this, I lay the blame squarely on the KPU for having allowed a
delusional megalomaniac to enter the presidential race to begin with.
Desi Anwar is a senior anchor at Metro TV. She can be reached at desianwar.com or dailyavocado.net.
Terjemahan:
Saya tidak tahu apa dosa Indonesia dengan mendapatkan karmanya memiliki seorang kandidat presiden yang pecundang yang tidak mau menerima kekalahannya dengan lapang dada, melanjutkan saja hidupnya, dan membiarkan negeri ini kembali menjalankan urusan sehari-hari.
Saya tidak tahu apa dosa Indonesia dengan mendapatkan karmanya memiliki seorang kandidat presiden yang pecundang yang tidak mau menerima kekalahannya dengan lapang dada, melanjutkan saja hidupnya, dan membiarkan negeri ini kembali menjalankan urusan sehari-hari.
Alih-alih, selama lebih dari dua
minggu sejak kita menjalankan kewajiban memilih, lewat pemilu yang
demokratis, damai, dan transparan, kita masih saja harus menenggang
pidato-pidato retorikanya tentang hasil-hasil pemilu yang menurut
versinya sendiri, ia semestinya dialah yang menang, pidato tentang
Komisi Pemilihan Umum yang curang dan tidak demokratis, tentang seluruh
proses pemilihan umum yang tidak sah karena didasarkan pada upaya
penipuan yang masif dan sistematis. Semua itu hanya karena dia tidak
sedang beruntung. Semua karena dia kalah.
Sebab hasilnya— sejak hasil
perhitungan cepat (quick count) ditayangkan, sampai ketika hitungan
resmi oleh KPU di bawah pengawasan ketat di seluruh negeri demi
memastikan tidak ada ketidakwajaran yang terluputkan— secara konsisten
dia berada di kubu yang kalah.
Padahal, selama berbulan-bulan
kubunya telah dengan gigih dan tiada henti melancarkan upaya kampanye
garang secara besar-besaran, efektif dan sistematis di setiap basis
media yang sebenarnya sudah berhasil mendongkel kenaikan suara daripada
yang semestinya ia dapatkan. Kendati telah mengerahkan upaya-upaya
humas yang taktis dan besar-besaran untuk mengangkatnya menjadi tokoh
penyelamat negeri ini ditambah lagi dengan berbagai aktivitas, baik
yang secara terang-terangan maupun yang secara sembunyi-sembunyi, untuk
mempengaruhi para pemilih agar memilihnya. Belum lagi entah berapa
banyak uang, waktu, dan ahli strategi kampanye profesional, energi dan
kenaikan tensi darah demi memenuhi ambisi seumur hidupnya: menjadi
presiden di negeri ini.
Namun, dalam kenyataan, pemenangnya
hanya boleh ada satu. Dan pemangnya sudah terpilih, dan bukan dia.
Kendati apapun yang dicemoohkan kubu seberang, kendati ia telah
mengumumkan ke seluruh dunia bahwa dialah sang pemenangnya, kendati
seberapa banyak pun amarah dan ngamuk, fakta itu tidak bisa diubah.
Kenyataan adalah banyak sekali kandidat presiden yang kalah di dunia
ini ujung-ujungnya toh harus menerima kekalahan, seberapa pahitpun,
tanpa harus jadi ngamuk-ngamuk yang membuat iba. Toh semua ini hanya
dunia politik, bukan taman bermain di Taman Kanak-Kanak.
Alih-alih mundur dengan tenang dan
anggun— yang merupakan tindakan terhormat, terutama bagi seorang yang
perkasa dan patriot seperti pengakuannya tentang dirinya selama ini—
dia telah mencuri terlalu banyak perhatian media yang seharusnya dapat
dimanfaatkan untuk memberi ucapan selamat kepada presiden terpilih yang
baru, malah harus difokuskan bagi rasa sakit hatinya, rasa
frustrasinya, dan perasaan terkhianati tiada terhingga.
Kan dialah simbol heroisme dan
keberanian? Kan dialah seorang pendekar demokrasi? Kan dialah kastria
berseragam berkilau para yang telah ditakdirkan untuk mengangkat rakyat
Indonesia dari kebodohan, mentalitas-budak, dan dari penindasan
pihak-pihak asing yang arogan itu?
Tidakkah jelas bahwa dialah sang
pemenang pemilu yang sebenarnya dan yang sah, bukan lelaki kerempeng
pembuat mebel yang tak jelas asal usulnya yang tidak pernah menunggang
kuda, tak pernah menyandang senjata atau tak pernah membela negara
dalam peperangan? Seorang yang tak punya nyali untuk berhadapan dengan
seorang yang terlahir dari keluarga berada dan dengan keturunan yang
dapat dilacak selama berabad-abad?
Pastilah ada kekeliruan. Ada
kejahilan yang keji. Atau semacam konspirasi sistematis dan masif yang
direkayasa oleh para pendukung Kekuatan Jahat untuk merampas tahta yang
sepenuhnya telah menjadi miliknya sejak ia dilahirkan. Mereka yang
berada di atas itu tidak pernah salah. Maka yang salah adalah seluruh
proses pemilu ini. Dan adalah kewajibannya untuk meluruskan kesalahan
itu, apapun yang terjadi, karena kalau tidak maka bahaya mengancam bila
ketidakadilan tidak ditegakkan.
Tak masalah bahwa seluruh negeri
menjadi tersandera oleh murkanya. Tak masalah bahwa ia memperlakukan
lembaga-lembaga terhormat dengan cara hina macam seorang tiran penindas
yang memuakkan dan agresif, dan ini ketika dia bahkan belum jadi
presiden. (Hanya Tuhan yang tahu apa jadinya bila dia yang menjadi
presiden).
Karena itu, saya sepenuhnya
menyalahkan KPU karena dari awal telah membiarkan seorang megalomania
delusional mengikuti pemilihan presiden. ***
0 komentar:
Post a Comment