AKHIRNYA sampai juga saya ke Luwuk. Bahkan, bisa dua malam berada di calon ibu kota Provinsi Sulawesi Timur ini karena batalnya kedatangan pesawat yang akan membawa saya keluar dari Luwuk kemarin.Saya tidak menyangka Kota Luwuk seramai dan sedinamis ini. Ketika memutuskan akan ke Luwuk, saya sudah siap dengan keadaan yang serbaminim. Ternyata Kota Luwuk, meski berstatus kecamatan, lebih besar dan lebih dinamis dibanding Gorontalo. Alamnya juga lebih indah dan hijau.
Topografi wilayahnya sangat menarik: ada teluk yang menjorok bulat ke dalam kota sehingga menyerupai danau besar; ada tanjung yang seperti memeluk kota, ada laut dengan pulau besar di kejauhan sana, dan ada bukit tinggi yang jadi backdrop kota ini. Bukit itu begitu dekatnya dengan kota sehingga menjadi keunikan tersendiri: orang bisa naik ke atas bukit dengan cepat dan bisa melihat kota di bawah sana dengan sejelas-jelasnya.
Malam hari, dari atas bukit ini akan terlihat pusat kota dengan ”danau” yang besar dan kapal-kapal yang bersandar di pelabuhannya. Tadi malam saya diajak teman-teman Luwuk Post untuk makan malam di atas bukit yang oleh penduduk lokal disebut Keles itu. Terlihat jelas bagaimana kapal Pelni, KM Tilong Kabila, meninggalkan teluk ini dan tak lama kemudian kapal besar pengangkut kontainer ganti masuk ke dalamnya. Kalau kelak Luwuk bisa berkembang menjadi kota kaya, pemandangan kota ini seimbang dengan kota seperti San Francisco. Hanya akan kalah dengan kota Rio de Janeiro di Brazil.
Bisakah Kota Luwuk menjadi kota yang amat maju di kemudian hari? Tentu bergantung pada banyak faktor. Tapi, alamnya memberikan modal untuk bisa ke sana. Kota ini memiliki sumber air tawar yang luar biasa kualitas dan kuantitasnya. Sampai-sampai Luwuk digelari ”kota berair”. Sebuah kota di pantai dengan backdrop bergunungan, tapi sumber air tawarnya muncul dari mana-mana. Kota yang memiliki sumber air seperti ini akan ditakdirkan menjadi kota yang disenangi umat manusia. Kehidupan tidak akan bisa dilepaskan dari air.
Kota ini memiliki pantai yang panjang dengan laut yang berbatasan dengan Laut Maluku yang kaya ikan. Di seberang sana terhampar pulau besar bernama Peling (wilayah Kabupaten Banggai Kepulauan) yang secara alamiah menjadi pelindung pantai Kota Luwuk. Bahkan, dengan ditemukannya sumber minyak dan gas, kota ini tinggal menunggu saja takdir kemajuan berikutnya. Apalagi, perkebunan sawit dan kakau juga sangat baik di wilayah ini. Hasil bumi juga cukup karena tanahnya subur. Singkat kata, Sulawesi Timur ini sangat berbeda dengan wilayah baratnya, seperti Palu, yang terkesan amat kering.
Namun, Luwuk masih terasa nun jauh di sana. Misi pemdanya memang harus mengatasi yang satu ini: mendekatkan Luwuk ke dunia luar. Rencana memperpanjang landasan Bandara Bubung dari 1.200 meter sekarang ini menjadi 1.600 meter sudah dalam perencanaan. Namun, rasanya harus dipercepat. Pembangunan pelabuhan peti kemas yang baru di Tangkiang sudah nyaris selesai. Pelabuhan baru ini dalam waktu dekat bisa membuat barang yang datang ke daerah ini lebih murah karena bisa diangkut dalam jumlah besar.
Ketika baru mendarat dari Manado dua hari lalu, saya memang langsung minta diantar ke pelabuhan lama di pusat Kota Luwuk. Maklum, hari sudah senja. Saya khawatir keburu malam sehingga tidak bisa melihatnya dengan baik. Belum tentu keesokan harinya saya tidak meninggalkan Luwuk pagi-pagi sekali. Maka, dari bandara saya langsung ke pelabuhan: kaget. Arus barang yang masuk pelabuhan ini sangat besar. Jumlah peti kemas yang turun naik jauh melebihi apa yang pernah saya lihat di Pelabuhan Gorontalo.
Pelabuhan Luwuk sebenarnya sangat istimewa. Dalamnya sampai 13 meter (Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya hanya 9 meter) dan tidak ada ombak sama sekali. Maklum, letaknya di teluk yang dalam. Sayangnya, ”pintu” masuk ke teluk ini ternyata dangkal. Hanya 6,5 meter. Kapal agak besar harus menunggu air pasang untuk bisa masuk atau keluar teluk. Karena itu, sudah tepat kalau pelabuhan peti kemas ini dipindah ke arah Sselatan Luwuk. Yakni, ke daerah Tangkian, sekitar 40 km dari Luwuk.
Keesokan harinya saya minta diantar melihat pelabuhan baru itu. Benar. Sudah selesai. Tinggal crane yang belum ada. Tapi, untuk skala Luwuk, mungkin cukup dengan crane mobile yang bisa dipindahkan dari pelabuhan lama. Teman-teman Luwuk Post saya minta mengukur kedalaman pelabuhan baru ini. Bukan dengan cara menyelam, namun memasukkan tali yang menggunakan pemberat. Ternyata sangat dalam: 12 meter lebih. Sungguh merupakan pelabuhan laut yang sangat ideal. Apalagi, ombaknya juga kecil. Kelihatannya ombak mengarah ke pantai di tanjung utaranya.
Kalau toh ada yang kurang dari pelabuhan ini adalah jalan provinsi yang terlalu mepet ke pelabuhan. Atau pelabuhannya yang terlalu mepet ke jalan provinsi itu. Dari teman Luwuk Post saya mendapat penjelasan bahwa sudah ada rencana memindahkan jalan tersebut ke balik gunung. Kalau ini bisa dilaksanakan, pelabuhan ini menjadi sangat ideal: wilayah yang aman dari masyarakat umum. Kalau pengalihan jalan itu tidak bisa dilaksanakan, saya khawatir nasibnya seperti Pelabuhan Tanjungkarang di Lampung. Kumuh dan terkesan kurang aman.
Tentu saya juga sekalian melihat calon lokasi terminal LNG. Sebab, inilah proyek yang akan membuat Luwuk masuk dalam peta dunia. Saya diberi penjelasan mengenai kesulitan-kesulitan proyek ini, tapi saya percaya semua pihak bisa menyelesaikannya. Terlalu besar proyek ini untuk dibiarkan tertunda-tunda. Saya sendiri, tanpa diminta pun akan ikut mendukung percepatan pelaksanaan proyek ini.
Dari sana teman-teman mengajak saya ke Bukit Halimun: melihat kantor bupati dan rumah jabatannya yang baru. Dari sini terus naik melalui jalan tembus yang melewati tengah hutan itu. Saya ingin tahu apa kira-kira maksud Bupati Ma’mun Amir membangun Bukit Halimun.
Dari Kota Luwuk bangunan baru di Bukit Halimun tersebut sudah terlihat sangat menonjol. Ini karena arsitektur Romawinya dan ukurannya yang menonjol. Terutama kalau dibandingkan dengan umumnya bangunan yang ada di Luwuk yang kecil-kecil dengan atap seng. Maka, bangunan kantor bupati dan rumah jabatan tersebut terasa seperti istana: letaknya di atas bukit dengan luasan yang ideal.
Rumah jabatan itu berdiri di atas lahan seluas kira-kira satu hektare. Ada lapangan tenis di pojok halamannya. Taman-tamannya luas meski belum terlihat indah. Tapi, bangunan yang indah ini dirusak oleh papan nama yang terbuat dari kayu yang lebih cocok dipasang di depan bangunan kelas puskesmas.
Dari halaman rumah bupati kita bisa melihat laut di bawah sana. Juga Kota Luwuk dengan teluknya. Terlihat juga Pulau Peling di kejauhan sana. Ideal sekali lokasi ini untuk rumah pejabat tertinggi di wilayah ini. Baru di bawahnya dibangun kantor bupati dengan arsitektur yang juga Romawi. Sayangnya, lingkungan kantor pemda ini belum digarap. Kesannya lantas seperti bangunan indah yang dikelilingi semak-semak yang liar.
Saya menduga, kantor dan rumah bupati ini adalah lokomotif untuk menarik gerbong-gerbong berikutnya agar ikut bergerak ke Bukit Halimun. Kelak kantor-kantor lain kelihatannya diharuskan pindah ke Bukit Halimun. Bahkan, tidak mustahil kalau akhirnya Bukit Halimun menjadi kota baru yang indah dan modern bagi Luwuk. Bukit Halimun punya potensi untuk bisa menjadi Putra Jayanya Kuala Lumpur. Yakni, sebuah kota baru yang tertata rapi di luar Kota Kuala Lumpur. Perdana Menteri Malaysia dan para menterinya berkantor dan tinggal di kota baru itu.
Kalau memang skenario itu yang akan dilakukan bupati Banggai, saya akan menggolongkan bupati Banggai sebagai seorang pemimpin yang punya pikiran besar. Saya sangat setuju dengan konsep tersebut. Membenahi kota-lama Luwuk akan sangat sulit, memakan energi yang luar biasa besar dan mungkin terlalu banyak bertengkar dengan masyarakat. Membangun kota baru di Bukit Halimun akan lebih tepat. Kelak, kalau kota baru itu sudah jadi, dan masyarakat sudah biasa melihat kota baru yang tertata rapi, lama-lama para pemilik bangunan di kota lama pun merasa malu. Mereka akan dengan sendirinya membenahi bangunan-bangunan mereka.
Akankah Bukit Halimun segera menjadi kota baru yang ideal bagi masa depan Luwuk? Tentu bergantung pada pimpinan daerah ini berikut anggota DPRD-nya. Tapi, itulah jalan yang paling tepat untuk membuat Luwuk terkenal ke seluruh Indonesia. Satu-satunya kota yang memiliki kota baru dengan konsep yang jelas dan tata letak yang sangat indah. Karena itu, lahan 2.000 ha di Bukit Halimun tersebut (di belakang rumah bupati) harus segera diamankan dan ditata peruntukannya. Jalan-jalan yang akan membelah-belah lokasi itu harus sudah ditentukan plotnya sekarang agar para pembeli tanah di sana sudah tahu mana yang bisa dibeli dan mana yang tidak bisa dibeli. Tanah-tanah yang diplot untuk jalan-jalan di lokasi tersebut sudah harus ditentukan. Dengan kelebaran yang cukup. Bukan dengan kelebaran jalan-jalan sempit seperti yang ada di Kota Luwuk sekarang.
Kepada teman-teman Luwuk Post saya mengatakan bahwa Bukit Halimun akan menjadi kawasan yang paling berkembang di Luwuk. Mengapa? Inilah kawasan yang sangat indah, yang lokasinya membentang di antara pusat kota dengan Bandara Bubung. Wilayah yang menghubungkan kota dan bandara adalah wilayah yang paling berkembang. Di mana pun di dunia ini. Termasuk di Indonesia. Karena itu, wilayah Bukit Halimun harus ditata mulai sekarang. Kalau sampai terlambat menyadari hal ini, wilayah itu hanya akan menjadi wilayah rusak berikutnya.
Nama ”Bukit Halimun” sendiri sangat menarik. Sangat puitis. Juga cocok dengan wilayahnya yang bergunung dan sering disinggahi kabut itu. Nama Bukit Halimun jauh lebih. (*)