Film Dokumenter Baru Terkait Pembantaian Tahun 1965 "The Look of Silence"
Sutradara film kontroversial The Act of Killing, Joshua Oppenheimer, kembali mengeluarkan film dokumenter baru yang masih bercerita terkait masa-masa kelam tahun 1965.
Film dokumenter berjudul The Look of Silence
itu tayang perdana di Venesia, Kamis (28/8/2014) lalu. Lewat film itu,
Joshua kembali mengisahkan pembunuhan lebih dari sejuta orang yang
dianggap komunis, setelah kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di
Indonesia gagal.
Dalam film kali ini, Joshua mendokumentasikan seorang pria bernama
Adi Rukun, seorang ahli optik berusia 40 tahunan yang menelusuri para
pembunuh saudara laki-lakinya. Film tersebut mendokumentasikan dampak
konfrontasi di masa lalu terhadap para orangtuanya yang telah menua,
istri, dan anak-anaknya.
Adi menggunakan usahanya untuk membuka
komunikasi dengan para pembunuh. Ia menggali informasi saat memeriksa
mata mereka tentang peran mereka dalam membunuh orang-orang yang dituduh
komunis, yang juga dilihat sebagai musuh militer.
Saat ini, para pembunuh dan keluarga korban hidup berdampingan.
Masing-masing sadar akan pihak yang lain. Namun, setiap dari mereka
tidak ingin membuka luka masa lalu.
Dokumenter itu memasukkan
cuplikan dari laporan televisi Amerika pada 1967 mengenai pembantaian
dan seorang pembunuh yang memuji AS karena mengajarkannya membenci
komunis. Jelas bahwa Oppenheimer sekali lagi berupaya mendapatkan reaksi
dari Barat, yang menurutnya tidak hanya mengabaikan pembunuhan, tetapi
juga mendorongnya.
Propaganda
Salah satu dari momen-momen yang paling alami dan melukai hati adalah
ketika Adi menemukan bahwa salah seorang anggota keluarganya berperan
dalam kematian abangnya, Ramli. Saat itu, Ramli dipenjara dan kemudian
dibantai sebelum dilemparkan ke Sungai Ular.
Dua dari para pembunuh menunjukkan kepada Joshua tempat mereka
melakukan eksekusi, menertawakan bagaimana ia menghabisi para korbannya
sampai sempat-sempatnya berhenti untuk mengagumi dan mencium bunga di
sepanjang bantaran sungai.
Salah satu yang mendorong Oppenheimer membuat film dokumenter
tersebut terangkum dalam adegan di sekolah putra Adi. Guru sejarah di
sekolah tersebut membela pembantaian itu dan memuji negara karena
melindungi demokrasi.
"Tidak ada yang benar-benar berubah dan anak-anak masih dijejali
propaganda. Ini mimpi buruk yang terjadi setiap hari," ujar Joshua.
Adi mengatakan, film dokumenter ini membawa jawaban dan kelegaan
secara pribadi, Namun, ia mengingatkan bahwa masih ada diskriminasi
terhadap para keluarga orang-orang yang dituduh komunias di Indonesia.
"Kami selalu merasa hidup di bawah bayang-bayang para pembunuh," ujar Adi.
Meski gagal mendapat permintaan maaf dari para pembunuh, ia berharap bahwa pelaku akan mengakui apa yang mereka lakukan.
"Bahwa itu salah dan bahwa kami tidak jahat, merekalah yang melakukan hal yang mengerikan," lanjut dia.
Ia berharap semuanya dapat saling memaafkan, sebuah langkah penting
untuk meyakinkan satu sama lain bahwa saat ini semua orang dapat hidup
bersama./kompas.com
0 komentar:
Post a Comment