Kendati Undang-Undang Pilkada telah mengalami revisi maraton, Ternyata dalam berbagai pengaturannya masih mengalami kerancuan. Masih terjadi kekaburan norma, antinomi, bahkan masih menyimpan sejumlah kekosongan hukum. Kondisi demikian tegas-tegas terjadi dalam pasal yang mengatur tentang money politic dan bahan kampanye yang dapat dipergunakan oleh pasangan calon (paslon) atau tim kampanyenya.
Tapi sebelumnya, saya ingin mengingatkan sekaligus meluruskan pemahaman yang keliru selama ini dari sebagian orang. Suap politik yang dimaksud dalam UU Pilkada baik itu mahar politik maupun money politic sejatinya bukan makna suap yang terdapat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).
Sebab terpenuhinya peristiwa pidana berkualifikasi suap dalam UUPTPK mutlak salah satu pelakunya adalah pejabat negara, sementara yang ditegaskan dalam Pasal 47 dan Pasal 73 UU Pilkada, baik paslon, partai politik atau gabungan partai politik, tim kampanye dan pemilih, satupun dari pelakunya tidak ada yang memiliki kedudukan sebagai pejabat negara.
Sehingga mustahil kalau ada ‘tuntutan’ kepada KPK agar melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perbuata suap politik pilkada. Yang benar adalah penyelidik dan penyidik dalam suap politik pilkada hanyalah penyelidik/penyidik Polri yang memiliki kewenangan untuk menelusuri benar/tidaknya suap politik.
Laporan perbuatan tersebut ada kemungkinan diperoleh berdasarkan informasi yang dikumpul oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Alasan Pembenar
In concreto antara money politic dan alasan pembenar bagi paslon kepala daerah dan/atau tim kampanye memberikan bahan kampanye kepada pemilih dengan menggunakan tafsir sistematikal UU Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pilkada junto PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) Nomor 7 Tahun 2015Tentang Kampanye Pilkada masih mengalami kekaburan norma.
Kekaburannya yakni terdapat dalam Pasal 73 ayat 1 UU Pilkada yang menegaskan “calon dan/atau tim kampanye ketika menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih”. Pada dasarnya pasal a quo berimplikasi hukum sanksi pidana dan sanksi administratif. Lalu di sisi lain dalam Pasal 26 PKPU Tentang Kampanye Pilkada masih membuka celah pemberian ‘materi lainnya’ berwujud bahan kampanye pada dasarnya bukanlah bagian dari perbuatan yang dilarang sebagai perbuatan money politic. Kontradiksinya tersimpul dalam pertanyaan; apakah pemberian atau pembagian bahan kampanye kepada pemilih bukan money politic?
Kekaburan ketentuan ini mestinya ditindaklanjuti dengan pengaturan dalam bentuk pengecualian (sebagai alasan pembenar), bahwa pemberian dan/atau pembagian bahan kampaye dikecualikan dari Pasal 73 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU Pilkada.
Hal tersebut penting untuk diperhatikan agar terdapat kepastian hukum bagi Paslon ketika melakukan kampanye. Kepastian itu penting manakalah Paslon dan/atau tim kampanye membagi-bagikan bahan kampanye kepada pemilih yang sudah dibenarkan dalam PKPU Tentang Kampanye Pilkada; berupa kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, dan/atau stiker. Jangan sampai kegiatan kampanye tersebut dipahami oleh Panwaslu atau penyidik tindak pidana pemilihan sebagai bagian dari perbuatan yang memenuhi money politic.
Selain itu, dalam PKPU Tentang Kampanye Pilkada terkait dengan klasifikasi bahan kampanye juga mengalami kekaburan norma dalam ihwal bahan-bahan kampanye yang diperbolehkan diberikan kepada pemilih. Apakah bahan kampanye yang dimaksud hanya dalam batasan yang ditentukan berdasarkan Pasal 26 ayat 1 PKPU a quo yang terdiri atas kaos, topi, mug, kalender, kartu nama, pin, ballpoint, payung, dan stiker? Ataukah masih bisa dirancang bahan kampanye lainnya seperti pencetakan “buku” yang memuat visi dan misi Paslon bersangkutan? Sepanjang bahan kampanye yang disediakan jika dikonversikan dengan nilai uang masih dalam standar Rp. 25.000, 00 (dua puluh lima ribu rupiah).
Kiranya Pasal a quo dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2015 membatasi saja, bahwa bahan kampanye yang diperbolehkan hanya yang nyata-nyata telah disebutkan dalam ketentuan ini. Tujuannya, agar tidak lagi muncul tafsir lain dari Paslon dan/atau tim kampanye untuk membuat dan/atau menciptakan bahan kampanye yang tidak disebutkan dalam pasal a quo.
Sebab siapalah yang bisa menjamin dan menindak nantinya andaikata dalam kegiatan kampanye ada paslon yang merancang bahan kampanye dalam wujud kado misalnya, yang mana kadonya berisi “sembako” dalam standar Rp. 25.000, 00 lalu dibagi-bagikan kepada pemilih. Bukankah dalam wujud perbuatan tersebut bisa-bisa terjerat sebagai money politic berkualifikasi “memberikan materi lainnya” . Dan sudah pasti memenuhi unsur “mempengaruhi pemilih” agar menjatuhkan pilihan kepada Paslo tertentu. Oleh karena itu pembentukan norma dalam bentuk pengetatan klasifikasi bahan kampanye sudah tepat. Yakni, cukup yang disebutkan saja dalam Pasal 26 ayat 2 PKPU Tentang Kampanye Pilkada.
Tim Penaksir
In casu a quo Pasal 26 ayat 3 PKPU Tentang Kampanye Pilkada penting pula dimaknai, dalam pembatasan bahan kampanye dalam standar konversi nilai mata uang Rp.25.000, 00; bahwa manakalah ada Paslon dan/ atau tim kampanye menciptakan dan/atau membuat bahan kampanye selanjutnya diberikan kepada pemilih melewati standar tersebut (di atas Rp.25.000, 00) maka sudah menjadi perbuatan berkualifikasi money politic.
Pasal 26 ayat 3 PKPU Tentang Kampanye Pilkada dengan Pasal 73 UU Pilkada merupakan satu kesatuan sistematikal; atas pemberian dan/atau pembagian bahan kampanye yang melewati standar Rp. 25. 000, 00 telah memenuhi unsur tindak pidana sebagai pemberian “materi lainnya” untuk mempengaruhi pemilih yang pada dasarnya dilarang dengan penjeratan pidana sekaligus penjeratan administratif (dapat mendiskualifikasi Paslon Kepala Daerah).
Hanya saja, persoalan lebih lanjut yang muncul sebagai bagian dari kekosongan hukum; siapakah yang berwenang untuk melakukan penilaian atau penaksiran terhadap bahan kampanye yang dipergunakan oleh Paslon dan/atau tim kampanye mutatis-mutandis tidak melewati standar Rp. 25.000,00? Sebab hal ini memiliki konsekuensi yuridis dalam upaya pembuktian perbuatan memenuhi sebagai peristiwa pidana “money politic” yang mana titik beratnya terletak pada standar nilai uang dari bahan kampanye tersebut.
Menyikapi kekosongan hukum atau dengan kata lain tidak terdapatnya badan yang berwenang untuk melakukan penaksiran nilai rupiah terhadap bahan kampanye, seyogianya fungsi tim penaksir bahan-bahan kampanye diberikan kepada Akuntan Publik yang telah ditunjuk oleh KPUD.
Hasil penilaian oleh akuntan publik itulah dalam kapasitasnya sebagai tim penaksir bahan-bahan kampanye, kemudian ditindaklanjuti oleh Panwaslu, untuk diproses dalam sistem peradilan pidana sebagaimana yang telah ditentukan prosedur pembuktiannya dalam UU Pilkada.*
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mahasiswa PPs HTN UMI