Rumah Kaca Abraham Samad
Dalam satu minggu ini adalah hari-hari yang berat bagi Jokowi, di satu sisi ia ditekan oleh Kubu Megawati untuk memunculkan Komjen Budi Gunawan, di sisi lain ia juga masuk dalam jebakan Samad. Sementara saat ini panggung Megawati berhasil diselesaikan oleh Jokowi, sementara panggung Samad dalam menggempur Jokowi belum berhenti. Jelas sudah, Samad berhasil memenangkan pertarungannya pada Jumat, 16 Januari 2019 dimana Jokowi mengambil jalan tengah, memberikan Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri pada Komjen Badrodin Haiti, sementara Komjen Budi Gunawan diserahkan Jokowi pada KPK untuk menyelesaikan tugasnya. Jokowi sendiri memberikan garis bawah :
“Bukan Pembatalan Budi Gunawan, tapi Penundaan”
Arena politik sudah sampai pada fase ini. Apakah Samad masih menggunakan KPK untuk membereskan Budi Gunawan?, apakah Samad kemudian menyusun langkah-langkah baru politik?, Samad sendiri harus membongkar kronologi politiknya, pengumuman Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Samad yang terburu-buru, juga tidak adanya pemeriksan dua sisi, yaitu : “siapa yang transfer duit ke BG, dan kenapa BG terima duit” menjadi pertanyaan besar disini “Apakah Samad Sudah Menjadi Pemain Politik?” Begitu juga harus ada pernyataan terang benderang, dimana saat ini KPK sudah mendapatkan bola panas Jokowi, soal dugaan kriminalitas Jenderal BG, publik harus tahu apa salah Jenderal BG, paralel juga publik harus tahu ada apa dengan Samad. Ini soal fair dalam melihat dua sisi.
Sebagai Komjen, BG juga sebenarnya tidak layak sebelum ada kepastian apakah bukti transfer itu menyalahi aturan etika kepolisian jadi tekanan publik yang digawangi Fadjroel Rahman, GM dan Abdee Negara ada betulnya karena masih ada wilayah abu-abu mereka ingin Kapolri bersih tapi publik juga berhak tau, namun publik juga berhak tahu siapakah Abraham Samad sebenarnya, apa motifnya ketika perlahan-lahan Samad head to head berhadapan dengan Jokowi terutama dalam colongan popularitasnya, tapi terkandung muatan politik di dalamnya. Juga “prediksi posisi Samad yang digunakan kelak untuk menghajar Jokowi”.
Catatan ini hanya mengingatkan “Betapa Bahayanya KPK sebagai lembaga publik paling dipercaya bila dijadikan alat politik oleh Abraham Samad”. Karena penangkapannya menjadi motif politik dan apakah Jokowi siap melawan manuver Samad, sementara di satu sisi Jokowi juga harus berhadapan dengan kelompok kepentingan di PDI Perjuangan.
Dalam status Facebooknya, Jokowi menulis dengan mengutip salah satu kalimat dari novel Pramoedya Ananta Toer : “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” mustinya Jokowi harus menambahkan lagi kalimat dari Pramoedya Ananta Toer yang ia harus dedikasikan ke Samad :
“seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”
karena apakah Samad benar-benar adil dalam melaksanakan tugas KPK, apakah itu hanya pada memenuhi investasi politiknya sekaligus menyelesaikan dendam politiknya?, kenapa ada dendam politik?, karena memang ada latar belakang atas keputusan ini yang harus ditanyakan pada Samad, baik publik yang sedang eforia Samad, sampai ada tulisan “Samad Adalah Kita”, lalu melengos pada Jokowi saat Samad bermain tarik ulur soal Budi Gunawan.
Juga pada petinggi PDIP sendiri harus jujur ke publik baik soal BG, juga soal Samad yang ingin mengejar jabatan Wakil Presiden saat itu, sampai-sampai kritikan Samad tidak beretika labur sama sekali, karena arus besar emosi publik saat itu ada pada Jokowi.
PDIP juga harus jujur, kenapa Jenderal Budi Gunawan yang punya lobi politik kuat mengusulkan Jusuf Kalla, sampai-sampai Samad tersingkir dan marah besar. Samad juga harus jujur ke publik soal tingkah lakunya dalam mendekati PDIP.
Penulis memiliki data, yang bisa dikonfirmasi baik pihak Samad maupun pihak PDIP, dan penulis meminta agar kedua kubu itu menjelaskan semua hal-hal yang perlu diketahui publik, misalnya ada apa PDIP dengan BG, selain itu penulis juga meminta Samad “Kenapa kamu main politik dengan menggunakan KPK yang seharusnya KPK itu harus steril dari permainan politik?”
Catatan Penting Ini :
Ada Enam Pertemuan yang dilakukan oleh Abraham Samad dengan PDIP yang mengindikasikan Samad bukan lagi seorang Penyidik yang bebas kepentingan politik, tapi ia seperti Politisi biasa yang memanfaatkan peluang baik kesempatan maupun posisi,
Dalam beberapa pertemuan itu juga Samad memakai Masker dan Topi, Samad menemui petinggi PDIP dan menawarkan dirinya untuk mendampingi Jokowi. Karena dalam pertemuan itu Samad masih dalam kedudukannya sebagai KETUA KPK…ingat KETUA KPK.. dalam kapasitasnya itulah Samad melakukan transaksi politik.
Kronologi Pertemuan Samad dengan Petinggi PDIP
PERTEMUAN PERTAMA :
Di bulan Februari 2014, pihak Samad sudah mendengar kubu Megawati yang saat itu sedang dalam posisi genting untuk memutuskan siapa yang maju “Megawati atau Jokowi dalam Capres 2014″, Samad mendapatkan kabar bahwa Jokowi-lah yang mulai mendapatkan angin ketimbang Megawati dalam pencalonan Presiden 2014 karena banyak beredar survey-survey dimana Megawati selalu ditempatkan dibawah Jokowi oleh lembaga survey. Samad mulai berhitung bahwa dirinya punya kesempatan mendampingi Jokowi, karena Samad mendapatkan kabar Jokowi belum ditentukan siapa pendampingnya, kubu PDIP ingin ada semacam reprosikal politik “Jokowi maju, PDIP menang 27,02 % sesuai hasil keputusan kongres. Inilah kenapa pendamping Jokowi belum ditentukan, tapi semua pihak yang punya jaringan politik mulai merapat ke PDIP. Tak terkecuali Samad, ia punya kekuatan politik, walaupun bila kekuatan politiknya itu digunakan, ia menyalahi etika dan fungsi kebijakan publik, karena senjata satu-satunya adalah KPK.
Pada pertemuan pertama ada dua orang Petinggi PDIP senior, dan Petinggi PDIP yunior yang diajak Samad bertemu, di sebuah tempat mewah, sebuah Apartemen di depan sebuah Mall dan Pusat Perbelanjaan Pacific Place” yang berlokasi di Sudirman Central Business.
Dalam pertemuan itu, pihak Samad nyenggol soal “Emir Moeis” ini harus juga dibuka ke publik, kenapa dalam pertemuan ini, Emir Moeis dibuka dan jadi pembahasan Samad kepada dua petinggi PDIP itu?
“Saya akan bantu kalau ada kasus Emir Moeis, Emir …kan sudah dibantu hukumannya tidak berat?”
(Abraham Samad, pada dua petinggi PDIP, Februari 2014).
PERTEMUAN KEDUA
Terjadi pertemuan kedua antara Samad dengan seorang Petinggi PDIP dan salah satu temannya yang bukan orang Partai, pertemuan itu ada asisten Samad yang berinisial “D”. Lagi-lagi di Apartemen mewah di wilayah SCBD, Jakarta Selatan. Samad tampak sangat santai, dan tahu sekali suasana apartemen. Disana petinggi PDI Perjuangan bertanya dengan Samad, “Apakah bersedia untuk dijaring” pertanyaan ini membuka kesempatan bagi Samad masuk dalam bursa pencalonan wakil Presiden dari kubu PDIP. Samad dengan wajah teduhnya menyetujui dan gembira sekali.-Hal ini harus dicatat, Samad masih menduduki posisi Ketua KPK dan amat tidak etis masuk ke dalam pencalonan politik saat ia menjabat, andai ia ingin terus menjabat etikanya ia harus keluar dulu dari posisi pimpinan KPK.
PERTEMUAN KETIGA
Inilah pertemuan yang diketahui publik secara luas yaitu pada Sabtu (3/5/2014) di Ruang VIP Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta - Pers berebutan memfoto mereka, seakan-akan ada pertemuan yang tidak disengaja, tapi pers dikelabui ada pertemuan rahasia, dimana Samad memakai Masker dan Topi menemui pihak PDIP di sebuah hotel Bintang Lima di Yogyakarta, sekali lagi Samad didampingi Asistennya yang bernama “D”. Dalam pertemuan itu Samad mempertanyakan nasibnya soal kelanjutan posisi pencalonannya sebagai Wakil Presiden RI. Ada satu petinggi PDIP. - Agar peristiwa ini tidak menjadi fokus, Samad kemudian merancang seakan-akan ada pertemuan yang tidak sengaja di Bandara Yogyakarta. Disini sekaligus Samad ingin mencoba “Apakah publik setuju apa tidak bila dirinya maju menjadi “Capresnya Jokowi”. Dan rupanya dukungan Publik besar juga, Samad sangat antusias ia menggariskan diri berada dalam barisan Jokowi.
PERTEMUAN KEEMPAT
Setelah melihat antusias rakyat bahwa Samad yang akan maju menjadi pendampingnya Jokowi, Samad semakin bersemangat. Ia dikenalkan oleh salah satu petinggi PDIP kepada seorang Jenderal Purnawirawan dan membahas soal peluangnya menjadi Cawapres. Samad sekali lagi datang dengan masker dan topi, digunakannya masker dan topi adalah bagian dari alam bawah sadar Samad bahwa dirinya bersalah secara etika bila mengunjungi seseorang dalam kepentingannya yang menjadi irisan dalam tanggung jawabnya di KPK. Dalam pertemuan itu Samad, bahkan sempat foto-foto dengan keluarga Pensiunan Jenderal itu.
PERTEMUAN KELIMA
Pertemuan kelima terjadi di sebuah gedung, ada petinggi PDIP dan Samad. Saat itu pembicaraan Samad sudah sangat serius dan mendalam, bahkan dari gedung itulah logo Jokowi-Samad sudah mulai beredar dimana-mana.
PERTEMUAN KEENAM
Inilah pertemuan yang paling mengerikan dan perlu dicatat khusus, dan juga menjadi alat dalam mengkaji siapakah Samad sesungguhnya. Sebelum masuk ke Pertemuan keenam, baiklah kita lihat diluar lingkungan Samad. Saat itu beberapa elite PDI Perjuangan berkumpul. Ada masukan paling penting bahwa Jusuf Kalla maju jadi Cawapres Jokowi, pertimbangannya amat rasional “Jusuf Kalla memegang massa Golkar, Jusuf Kalla bisa menjadi jangkar Golkar, walaupun Golkar saat ini dipegang Aburizal Bakrie, tapi pengurus-pengurus Golkar pasti akan berpihak ke Jokowi bila ada Jusuf Kalla disana. Sementara Abraham Samad sama sekali dinilai tidak punya akar massa, ia hanya kuat di media, bukan di tingkat massa, Samad dinilai oleh salah satu elite PDIP itu masih hijau dalam politik, sementara ada beberapa informasi yang masuk bahwa Prabowo sangat kuat, mustahil bila menjadikan Samad sebagai gacoan politik, bisa berantakan nanti Jokowi. Dan yang paling kuat menentang Samad adalah Budi Gunawan (BG) orang yang pada minggu depan kemungkinan besar akan berhadapan dengan Samad di KPK.
Gagalnya Samad jadi Cawapres Jokowi tidak diterima dengan legowo oleh Samad. Saat berita itu sampai pada dirinya, ia berkata dengan mata tajam ke arah salah satu petinggi PDIP
“Saya Sudah Tahu karena sudah menyuruh orang-orang saya saya untuk memasang alat sadap, sehingga saya tahu siapa yang menjadi penyebab kegagalan saya. Saya janji akan menghabisi orang itu”
(Abraham Samad, kepada salah satu petinggi PDIP).
poin diatas amat penting karena : “menjelaskan bahwa salah satu yang diincar Abraham Samad adalah Budi Gunawan” dan menjadikan Megawati sasaran kebencian publik, karena gagal menjadikan dirinya sebagai Cawapres.
Bila Jenderal BG dieksekusi minggu depan, maka pihak Kejaksaan dan pihak DPR bisa menjadikan hal ini diangkat ke publik, soal Abraham Samad. Pihak DPR, Presiden Jokowi, Media dan Publik secara umum harus mempertanyakan soal pertemuan-pertemuan Samad dengan PDIP dan hal ini bisa menjadikan pertanyaan lebih lanjut soal “legitimasi moral” Samad menjadi Pimpinan KPK.
Etika yang dilanggar Abraham Samad sebagai Ketua KPK saat melakukan rangkaian pertemuan politik :
A. Pelanggaran Kode Etik KPK No. Keputusan No.6/P-KPK/02/2004
-Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu apapun kepada siapapun juga-.
-Menerima Langsung atau Tidak Langsung Dari Siapapun Juga Suatu Janji Atau Pemberian
-Setia Mempertahankan dan Mengamalkan Peraturan Perundang-undangan
-Senantiasa Sungguh-Sungguh dan Jujur
-Menolak atau Tidak Menerima Atau Mau Dipengaruhi Oleh Campur Tangan Siapapun.
-Bertentangan dengan kewajiban dan Hukum
a) menarik garis tegas tentang apa yang patut, layak dan pantas dilakukan dengan apa yang tidak patut, layak dan pantas.
b)pasal 6 ayat 1 (m) : “menghilangkan sikap arogansi dan sektoral”
c) pasal 6 ayat 1(n) : “Mengindentifikasi setiap kepentingan yang timbul atau mungkin benturan kepentingan yang timbul dan memberitahukan ke pemimpin lainnya sesegera mungkin.
d) pasal 6 ayat 1 (q) menahan diri terhadap godaan yang berpotensi mempengaruhi substansi keputusan
e) pasal 6 ayat 1 (r) : “memberitahukan dengan kepada pimpinan lainnya mengenai pertemuan dengan pihak lain dan telah dilaksanakan, baik sendiri atau bersama, baik dalam hubungan tugas maupun tidak.
f) pasal 6 ayat 1 (u) : “Membatasi pertemuan di ruang publik seperti di hotel, restoran atau lobi kantor atau hotel atau di ruang publik lainnya.
Dari kronologis ini apakah bisa dikatakan :
1. Apakah Samad bersih dari Permainan Politik pada saat ini.
2. Apakah bila kemudian hal ini menjadi bukti dalam paparan publik, bisakah Samad mempertanggungjawabkan perbuatannya, seperti ia menyeret Suryadharma Ali (SDA) dimana ia saat itu sebagai Ketua KPK, dan SDA berada dalam lingkaran Prabowo, ia juga mempermalukan Prabowo pada Pilpres 2014. Tujuannya agar ia menaikkan posisi tawarnya pada Jokowi dan mempesona lawan politik Prabowo.
3. Lantas kenapa pemberian stempel terjadi amat politis, seperti pada SDA, lalu ketika Rini naik ia tidak melakukan langkah politik sementara Rini dikabarnya “tidak layak KPK”, lalu pada Jenderal BG ia tiba-tiba memberikan penangkapan dan diuntungkan oleh eforia besar keberpihakan publik, lucunya juga ketika Badrodin Haiti naik dan sama-sama diindikasikan punya rekening gendut Samad diam saja.
4. Ada apa dengan PDIP yang semangat banget mencalonkan Jenderal BG, dan kenapa Jokowi juga tunduk pada arahan PDIP itu.
5. Ada apa dengan konflik internal POLRI ?
Sebagai warga negara Indonesia saya sebenarnya sedih, karena saya berharap sekali KPK menjadi ujung tombak penegakan hukum, sebuah lembaga yang dibentuk dalam situasi darurat korupsi, tapi malah terjebak dalam permainan politik karena oknumnya yang berambisi politik.
Saya rasa Media Massa, pasca pembatalan ini juga melihat dua hal BG dan Samad. Terutama TEMPO cobalah selidiki sejujurnya soal peran Samad dalam ikut campur dalam dunia politik, ketuklah rasa kewartawanan kalian soal sikap tidak adil Samad ini, apakah benar ada enam pertemuan dengan PDIP karena bila itu menjadi fakta maka Samad sudah melanggar hukum dan secara legitimasi moral sudah tidak layak memimpin KPK.
Indonesia bagi Abraham Samad seperti dijadikan “Rumah Kaca” ala Pangemanann dalam tetralogi Pram. Sebuah novel yang bisa menjelaskan dengan jelas bagaimana kekuasaan itu bekerja, dan membuat orang yang tak jujur gelisah, walaupun kekuasaan itu mendukung dirinya untuk berbuat salah. Semoga Abraham Samad bisa sadar, bahwa jabatan KPK adalah harapan satu-satunya rakyat, ungkaplah BLBI, Hambalang, Bank Century bukan menjadikan kasus tipiring menjadi alat tekanan politik dan membuat pusing Bapak Presiden. Kita juga tak ingin punya Kapolri yang tidak baik masa lalunya, tapi kita juga tidak ingin semangat massa dikelabui untuk kepentingan politik seseorang dan mengorbankan harapan bangsa untuk menjadi lebih baik