RUU Pilkada: Kepala Daerah Kembali dipilih DPRD Merupakan Hasil Permufakatan Jahat Elit Parpol
Rencana pengesahan RUU Pilkada yang sementara dibahas oleh DOR menimbulkan pro dan kontra di masyarakat tehdapa opsi apakah pemilihan kepala daerah masih dipilih langsung atau kembali dipilih oleh DPRD. Sementara ini, peta kekuatan di DPR berdasarkan beberapa pertemuan Panja RUU Pilkada antara lain Fraksi DPIP dan Hanura tetap mendukung Pilkada langsung oleh rakyat dan Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Fraksi Gerindra, Golkar, PAN, PKS dan PPP solid mendukung Pilkada kembali dipilih DPRD.
Berikut tanggapan seorang akun twitter bernama @PartaiSocmed terhadap permufakatan jahat tersebut:
Seorang tiran selalu menganggap dirinya lebih baik dari rakyatnya. Oleh karenanya mereka merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan rakyatnya
Tidak pernah sedikitpun mereka berpikir bahwa apa yang baik menurutnya belum tentu baik bagi orang lain atau rakyatnya
Apa yang terjadi di gedung DPR saat ini mencerminkan semangat tsb. Mereka melihat segala sesuatu dari kaca mata mereka sendiri.
Saat pemilu berakhir, kebutuhan parpol terhadap suara rakyat berakhir. Maka pada saat itu berakhir pula sensitifitas mereka terhadap suara rakyat
Apa yang terjadi pada UU MD3 dan RUU Pilkada memperlihatkan sifat khianat parpol-parpol tersebut.
Merasa sudah tidak lagi membutuhkan suara rakyat, dengan secepat kilat mereka memproduksi UU yang melawan kepentingan rakyatnya.
UU MD3 dan RUU Pilkada adalah contoh ideal PERMUFAKATAN JAHAT wakil rakyat menelikung rakyatnya sendiri.
Upaya agar pilkada ditentukan oleh DPRD selain merupakan kemunduran demokrasi juga rawan politik uang.
Memang benar ongkos politik kita terlalu mahal. Tapi pilkada yang ditentukan oleh DPRD sama sekali tidak akan membuatnya jadi murah.
Perbedaannya cuma uangnya mengalir ke pihak yang berbeda. Jika yang sebelumnya dana tersedot kemana-mana, kini terfokus ke parpol-parpol di DPRD.
Ibarat lepas dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Silakan tebak sendiri siapa buayanya.
Jadi benarkah kepala daerah dipilih oleh DPRD akan melahirkan efisiensi dan ongkos politik yang lebih murah? Jawabnya TIDAK.
Justru ongkos bisa semakin besar karena terpilih tidaknya seorang calon murni berdasarkan deal-dealan 'wani piro'
Seharusnya yang dilakukan adalah perbaikan aturan dan mekanisme Pilkada langsung agar menjadi lebih efisien.
Contoh: pembatasan media kampanye, law enforcement terhadap pelanggaran pilkada, penguatan KPUD, transparansi, pemanfaatan teknologi, dan lain-lain.
Dengan pembenahan aturan main disertai oleh mekanisme kontrol yang ketat serta sanksi yang tegas maka efisiensi bisa dilakukan.
Lalu alasan lain kepala daerah dipilih oleh DPRD karena selama ini pemilihan langsung dianggap selalu bermasalah juga sangat absurd.
Sejak kapan demokrasi tidak membawa masalah? Demokrasi memang membawa konsekwensinya tersendiri. Tapi itu bukan alasan membunuh demokrasi.
Atau jangan-jangan mereka yang dulu ramai-ramai menjatuhkan Soeharto itu tidak paham konsekwensi demokrasi?
Jangan-jangan mereka hanya orang-orang bodoh yang menganggap reformasi adalah menjatuhkan rejim Soeharto saja?
Harus kita pahami sejak sekarang bahwa demokrasi adalah masalah. Dan justru karena itu maka kita butuh demokrasi.
Manakala masalah-masalah yang ditimbulkan oleh demokrasi dianggap beban berlebihan, maka saat itu pula kita mulai berpikir sebagai seorang tiran.
Jika Pilkada dianggap menimbulkan perselisihan dan diputuskan pemilihan oleh DPRD. Lalu bagaimana dgn pilpres?
Bukankah pilpres juga menimbulkan perselisihan? Apakah bisa juga dijadikan alasan kelak pemilihan presiden kembali oleh MPR?
Jadi pemilihan langsung memang selalu membawa masalah, itulah demokrasi. Jika tidak mau konsekwensinya maka jangan berdemokrasi.
Hal yg paling absurd dari RUU Pilkada ini adalah melahirkan sistem ketatanegaraan yg campur aduk.
Katanya sistem kita presidensiil? Lalu mengapa kepala daerahnya dipilih oleh parlemen? Apa ini sistem presidensiil yang parlementer?
Jika mengikuti semangat otonomi daerah pun RUU Pilkada ini juga merupakan anomali.
Dimana otonomi daerahnya jika penentuan kepala daerah ditentukan oleh lobi elit-elit parpol di Jakarta?
Demokrasi adalah proses mencari pemimpin dengan cara yang paling alami. Dari proses ini bisa lahir pemimpin baik atau buruk
Manakala pemimpin buruk yang didapatkan, maka rakyat punya opsi menurunkannya pada pemilihan berikutnya.
Nah, opsi apa yg dimiliki rakyat dari pemimpin buruk yang dipilihkan orang lain bagi mereka?
Karena dalam pemilihan langsung suara rakyat adalah penentu, maka potensi mendapatkan pemimpin yang baik (bagi rakyat) juga sama besarnya.
Demokrasi kita masih sangat muda. Tapi lihatlah apa yg dihasilkannya untuk bangsa ini. Muncul trend pemimpin-pemimpin baik akhir-akhir ini.
Pemilihan langsunglah yang melahirkan tokoh-tokoh spt Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Bima Arya, Azwar Anas, dan lain-lain.
Terlepas dari tujuannya agar mendapat popularitas dari rakyat, yang penting terbukti menguntungkan rakyat.
Lalu seberapa besar peluang mendapatkan pemimpin baik jika sang kepala daerah merasa tidak punya kepentingan langsung dgn rakyat?
Pilkada telah terbukti melahirkan bibit-bibit unggul pemimpin negeri ini dari sumber-sumber yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Apakah manfaat ini terlalu kecil dibanding mudharatnya? Ingat, kita berhasil menemukan kepala negara dari proses Pilkada langsung lho!
Tapi kita tahu, semua ini tak lebih dari sikap mereka yang tidak bisa menerima kekalahan.
Dengan menguasai kepala-kepala daerah di seluruh Indonesia maka mereka berharap bisa memboikot program-program Jokowi-JK.
Sehingga, apapun program-program Jokowi-JK tidak akan bisa diimplementasikan dengan baik di daerah. Tujuannya, menggagalkan pemerintahan Jokowi.
Tapi mereka lupa. Yang sedang mereka korbankan itu adalah seluruh rakyat Indonesia.
Lihatlah betapa khianatnya mereka sebagai politikus. Demi dendam dan ambisi pribadi mereka rela mengorbankan rakyat dan masa depan negeri ini.
Lalu apa yang harus dilakukan atas semua ini? Tampaknya butuh kecerdikan dan kedewasaan berpolitik Jokowi.
Sudah saatnya Jokowi berhenti hanya mengatakan ketidak setujuannya saja. Ini waktunya bertindak!
Jokowi harus mau memecah koalisi merah putih. Sebagai pemenang dia memiliki kemampuan melakukan hal tsb.
Jokowi harus melakukan apa yang harus dia lakukan. Terlepas apakah kawan-kawan koalisinya akan bahagia atau tidak.
Terlepas dari hal-hal diatas. Poin RUU Pilkada yang menyangkut tentang pencegahan lahirnya dinasti politik perlu diapresiasi.
Namun pemilihan walikota dan bupati oleh DPRD harus ditolak! Jadikanlah ini sikap bersama.
Sekian kultwit kami. Semoga mencerahkan dan menambah wawasan kita semua. Terimakasih.
By. PS
0 komentar:
Post a Comment