RUU Pilkada : Akankah Kepala Daerah Kembali dipilih DPRD? Bagaimana pandangan politisi dan pengamat?
Partai-partai anggota koalisi Merah Putih solid mendukung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilaksanakan tak langsung alias melalui DPRD. PDIP memandang aspirasi koalisi merah putih itu menunjukkan rasa takut mereka menghadapi Pilkada langsung.
"Itu menunjukkan panik dan ketidak percayaan diri bahwa nantinya mereka tidak bisa menang di Pilkada langsung," kata anggota Komisi II dari Fraksi PDIP, Budiman Sudjatmiko, saat dihubungi, Jumat (5/9/2014).
Aspirasi di Panja RUU Pilkada di DPR ini bertentangan dengan sikap koalisi pendukung Jokowi-JK yang tetap ingin Pilkada digelar langsung. Budiman menilai partai koalisi Merah Putih khawatir dengan realitas pendukung PDIP di lapangan, yang menurut Budiman kuat sehingga bisa meloloskan kepala daerah usungannya kelak.
"Rupanya mereka sadar popular vote PDIP cukup unggul dan skillfull. Dengan adanya pemilihan lewat DPRD, itu celah yang mereka mainkan," kata mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik ini.
Koalisi Merah Putih memang kalah di Pilpres 2014. Namun koalisi ini masih unggul secara kuantitas, yakni berisi Gerindra, Golkar, PAN, PKS, dan PPP. Budiman memandang sikap koalisi Merah Putih mendukung Pilkada langsung adalah untuk menguasai kekuasan di daerah.
"Saya melihat itu upaya Koalisi Merah Putih setelah Pilpres, mereka mencoba menguasai DPRD dan kepala daerah," ujarnya. /detik.com
Jika DPR Hapuskan Pilkada Langsung, Budiman Sudjatmiko akan Gugat ke MK
Koalisi merah putih yang mendukung Pilkada tak langsung punya keunggulan kuantitas di DPR dibanding kubu Jokowi-JK. Risiko kekalahan membayangi kubu Jokowi-JK jika voting pengambilan keputusan RUU Pilkada dilakukan. Bila Pilkada tak langsung alias melalui DPRD diputuskan sah, maka PDIP tak akan tinggal diam.
"Jika kami kalah maka kami akan ajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK)," kata anggota Komisi II dari PDIP, Budiman Sudjatmiko, saat dihubungi, Jumat (5/9/2014).
Meski begitu, PDIP akan terus melakukan proses lobi agar Pilkada nantinya tak dilakukan lewat DPRD. "Kita akan terus lobby, karena ini adalah persoalan masyarakat," ujar Budiman.
Menurutnya, Pilkada langsung bukan berarti sarat dengan potensi korupsi. Maka Pilkada langsung tak perlu diubah menjadi tak langsung.
"Ini mengorbankan banyak hal dalam prestasi demokrasi kita. Bahwa itu (Pilkada langsung) ada cacat dan kekurangan kan tidak semuanya. Yang menyatakan Pilkada langsung sarang korupsi itu tidak benar juga," kata Budiman.
Sebagaimana diketahui, PDIP bersama PKB dan Hanura menginginkan Pilkada tetap dilakukan secara langsung. Sedangkan Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PAN, PKS, dan PPP menginginkan Pilkada langsung dihapus. /detik.com
Parpol koalisi Merah Putih memilih mendukung Pilkada melalui DPRD dengan argumen politik uang yang rentan terjadi bila Pilkada dilakukan secara langsung. Tapi pengamat hukum tata negara Refly Harun menilai, justru pemilihan melalui DPRD lebih rentan politik uang.
"Tidak ada jaminan kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak ada money politics, bahkan lebih kentara karena menentukan hasil pemilu secara langsung. Ongkosnya pun lebih besar karena terukur berapa suaranya dan sebagainya," kata Refly Harun dalam diskusi tentang RUU Pilkada di Jalan Cikini Raya, Jakpus, Jumat (5/9/2014).
Refly mencontohkan, dalam pemilu gubernur dan wakil gubernur Sumatera Selatan tahun 2003 melalui DPRD dimana hasilnya dikenal dengan kelompok 37 dan 38 karena beda satu suara.
"Yang terjadi DPRD disuap dengan koper uang. Jadi setelah Pilkada berlangsung DPRD-nya kaya lalu kepala daerahnya masuk penjara. Saat itu Syahrial Oesman," ujar Direktur Eskekutif Correct itu.
Politik uang menurut Refly bisa dihindari dengan membuat aturan yang tegas bukan dengan mengubah sistem pemilunya. Misal, calon kepala daerah atau timses yang kedapatan politik uang maka calon didiskualifikasi.
"Kalau diganjar dengan diskualifikasi, maka saya yakin money politics akan terhindarkan. Karena bukan hukuman penjara dan denda yang ditakutkan, tapi diskualifikasi yang membuat mereka tidak terpilih," ucapnya.
Karena itu Refly menganggap argumentasi apapun soal kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak tepat, termasuk argumen soal ongkos pemilu yang mahal dan munculnya konflik horizontal pasca pemilu.
"Menurut saya alasan menolak pemilukada langsung tidak justified, tidak benar, tidak logis dan seperti orang putus asa. Menghadapi masalah di sini, tapi lari," imbuhnya. /detik.com
Parpol koalisi Merah Putih memilih mendukung Pilkada melalui DPRD dengan argumen politik uang yang rentan terjadi bila Pilkada dilakukan secara langsung. Tapi pengamat hukum tata negara Refly Harun menilai, justru pemilihan melalui DPRD lebih rentan politik uang.
"Tidak ada jaminan kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak ada money politics, bahkan lebih kentara karena menentukan hasil pemilu secara langsung. Ongkosnya pun lebih besar karena terukur berapa suaranya dan sebagainya," kata Refly Harun dalam diskusi tentang RUU Pilkada di Jalan Cikini Raya, Jakpus, Jumat (5/9/2014).
Refly mencontohkan, dalam pemilu gubernur dan wakil gubernur Sumatera Selatan tahun 2003 melalui DPRD dimana hasilnya dikenal dengan kelompok 37 dan 38 karena beda satu suara.
"Yang terjadi DPRD disuap dengan koper uang. Jadi setelah Pilkada berlangsung DPRD-nya kaya lalu kepala daerahnya masuk penjara. Saat itu Syahrial Oesman," ujar Direktur Eskekutif Correct itu.
Politik uang menurut Refly bisa dihindari dengan membuat aturan yang tegas bukan dengan mengubah sistem pemilunya. Misal, calon kepala daerah atau timses yang kedapatan politik uang maka calon didiskualifikasi.
"Kalau diganjar dengan diskualifikasi, maka saya yakin money politics akan terhindarkan. Karena bukan hukuman penjara dan denda yang ditakutkan, tapi diskualifikasi yang membuat mereka tidak terpilih," ucapnya.
Karena itu Refly menganggap argumentasi apapun soal kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak tepat, termasuk argumen soal ongkos pemilu yang mahal dan munculnya konflik horizontal pasca pemilu.
"Menurut saya alasan menolak pemilukada langsung tidak justified, tidak benar, tidak logis dan seperti orang putus asa. Menghadapi masalah di sini, tapi lari," imbuhnya. /detik.com
DPR melalui Panja tengah menggodok RUU Pilkada yang akan disahkan kurang dari 3 minggu. Padahal materi di dalamnya sangat menentukan, yaitu mengesahkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak lagi langsung oleh rakyat.
Pengamat pemilu Prof Ramlan Surbakti, menilai ketentuan Pilkada dipilih oleh DPRD itu inkonstitusional. Menurutnya, pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah proses kemunduran dari demokrasi.
"Saya berangkat dari konsistensi kita melaksanakan konstitusi UUD. Pertama, saya ingin mengatakan kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak konstitusional dan tidak konsisten dengan bentuk pemerintahan," kata Prof Ramlan dalam diskusi tentang 'RUU Pilkada' di Bakoel Coffe, Jl Cikini Raya, Jakpus, Jumat (5/9/2014).
Menurut Ramlan, kalau bentuk pemerintahan kita presidensial atau presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka harus konsisten kepala daerah juga dipilih oleh rakyat bukan DPRD.
"Kalau sekarang diubah dipilih oleh DPRD itu kemunduran dan tidak sesuai dengan konstitusi, tidak sesuai dengan bentuk presidensial dan tambah lagi artinya menggunakan bentuk pemerintahan parlementer," ujarnya.
"Mana ada negara presidensial kepala daerahnya dipilih oleh DPRD?," imbuh mantan komisioner KPU itu.
Pihaknya juga membantah adanya pemisahan antara rezim pemerintahan dan rezim pemillu. Menurutnya UUD tidak mengenal dua istilah rezim tersebut secara terpisah sehingga presiden diplih rakyat dan kepala daerah boleh oleh DPRD.
"Pemilu di UUD bukan hanya pasal 22e, tapi 6a, 19, 22c, dan 18 ayat 3. Nggak benar UUD 45 pisahkan rezim pemerintah dengan pemilu. Dulu muncul kepala daerah dipilih oleh DPRD karena bukan rezim pemilu, ini omong kosong," ucapnya.
"Jadi semua ini untuk kepentingan politik jangka pendek, dan pemerintahan yang kita pikirkan kan jangka panjang. Arah konstitusi itu untuk kepentingan semua bangsa, bukan untuk koalisi ini atau itu," imbuh guru besar Universitas Airlangga itu. /detik.com
Partai Amanat Nasional setuju bila nantinya Pilkada dilakukan oleh DPRD. Sekjen PAN Taufik Kurniawan pun menjamin nantinya tak ada kolusi mau pun nepotisme dalam pelaksanaan Pilkada demikian.
"Sekarang begini, pimpinan atau kepala daerah ini kan jabatan politis, baik itu Bupati, Walikota, atau Gubernur. Itu sesuai amanat konstitusi bahwa itu jabatan politis. Nah, DPRD juga pejabat publik politis yang dipilih secara demokratis. Jadi bukan masalah apakah nantinya ada kongkalikong atau tidak, apakah di DPRD ada tokoh atau tidak. Itu nanti akan dibahas," ujar Taufik saat berbincang, Jumat (5/9/2014).
Taufik juga menyatakan bahwa dalam konstitusi tak mengatur mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah harus secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu ada ruang untuk membuat regulasi pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
PAN juga mencermati bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung banyak menimbulkan kerugian ketimbang manfaat. Potensi konflik horisontal pun lebih tinggi setelah diumumkan hasil Pilkada langsung.
"Kenyataan bahwa ada 548 kabupaten/kota dan 34 daerah, maka hampir setiap hari ada pilkada di Indonesia. Ini merupakan pemborosan. Kemudian harmonisasi antara kepala daerah dan wakilnya itu paling lama 6 bulan sampai satu tahun. Setelah itu keduanya berebut panggung untuk Pilkada selanjutnya," imbuh Taufik.
Di sisi lain para calon kepala daerah rata-rata mengeluarkan uang Rp 20-50 miliar. Menurut Wakil Ketua MPR ini nantinya para calon yang terpilih akan lebih fokus untuk mengembalikan modal. /detik.com
Partai anggota Koalisi Merah Putih berubah sikap secara tiba-tiba soal RUU Pilkada dari yang semula setuju kepala daerah dipilih secara langsung, menjadi pemilihan lewat DPRD. Mereka menyangkal perubahan frontal ini sebagai aksi balas dendam.
"Nggak ada balas dendam. Momentumnya saja yang kebetulan sama," kata politikus PAN yang juga Ketua Panja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja saat dihubungi detikcom, Jumat (5/9/2014).
PAN yang sebelumnya meminta Pilkada secara langsung, dalam rapat Panja RUU Pilkada pada 1-3 September lalu berubah sikap dan meminta Pilkada kembali seperti zaman Orde Baru yang diputuskan di DPRD. Menurut Hakam, perubahan sikap Koalisi Merah Putih bukan balas dendam karena kalah di Pilpres 2014.
Ia menjelaskan bahwa perubahan keputusan PAN dalam rapat Panja RUU tersebut sudah melalui persetujuan partai dan Ketumnya, Hatta Rajasa. Alasan mendukung Pilkada dilakukan DPRD karena maraknya politik uang di masyarakat dan rentannya gesekan akibat membela salah satu calon.
"Adanya dugaan manipulasi dan kecurangan, ada politik uang, ada gesekan di masyarakat bawah karena pemilihan," ujarnya.
Dalam rapat konsinyering Panja RUU Pilkada dengan Kemendagri pada 1-3 September lalu, Partai Golkar yang sebelumnya meminta Pilkada dilakukan secara langsung berubah sikap dan meminta Pilkada dilakukan oleh DPRD. Langkah ini juga diambil Gerindra, PPP dan PAN. PKS yang dalam rapat itu tetap meminta Pilkada secara langsung, belakangan berubah haluan dan meminta Pilkada dipegang DPRD.
Fraksi yang tak mengubah keputusannya hanya PDIP dan Hanura yang tetap meminta pemilihan dilaksanakan secara langsung. Demokrat dan PKB meminta agar Pilgub dilakukan secara langsung namun Pilwakot dan Pibubnya dilakukan oleh DPRD
Pilkada melalui DPRD dinilai Hakam juga tak luput dari kekurangan. Pandangan adanya politik uang yang berpusat di DPRD menurutnya bagian dari konsekuensi politik dari keputusan yang diambil. Namun, menggandeng penegak hukum bisa menjadi cara memperbaiki sistem demokrasi melalui DPRD.
"Setiap sistem ada kelemahan. (Pilkada) Langsung kelebihannya ada tapi kekurangannya juga lebih banyak. Begitu pula DPRD ada kelebihan dan ada kelemahannya. Tidak ada yang sistem sempurna," imbuhnya.
Mendukung Pilkada dilakukan oleh DPRD, disebut Hakam, sebagai sikap final namun ia tak menutup kemungkinan jika partai lainnya dapat berubah sikap saat rapat Panja RUU Pilkada kembali digelar pekan depan.
Sebelumnya, Direktur LIMA Ray Ranguti mengatakan bahwa perubahan sikap politik para parpol Koalisi Merah Putih dalam RUU Pilkada adalah bentuk balas dendam. Menurut Ray, sikap koalisi itu memberi kesan mendalam sebagai bagian dari luka hati akibat gagal dalam pelaksanaan Pilpres. Argumen bahwa mereka setuju Pilkada digelar langsung tiba-tiba dimentahkan sendiri.
"Mereka mengorbankan pencapaian prinsipil dan esensil dalam reformasi hanya sekadar memenuhi kebutuhan politik jangka pendek, bersifat pragmatis dan juga bernada 'balas dendam'," ujar Ray. /detik.com
Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada di DPR sedang membahas akankah Pilkada ke depan dilaksanakan langsung atau tak langsung alias lewat DPRD. Aspirasi Pilkada tak langsung unggul jumlah dukungan. Wakil Ketua DPR mengimbau agar masyarakat tak berpikir negatif dulu soal Pilkada lewat DPRD, termasuk berpikiran aspirasi ini merupakan balas dendam kubu koalisi merah putih yang kalah dalam Pilpres 2014.
"Jangan berkonotasi negatif dulu. Tujuan Pilkada lewat DPRD adalah untuk lebih mengefisienkan dan memudahkan prosesnya," kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Priyo yang juga politisi Partai Golkar ini menuturkan, Pilkada langsung bisa dibuat semakin efisien dengan jalan lain selain Pilkada lewat DPRD. Cara itu adalah Pilkada serempak bersama-sama dengan Pilpres dan Pileg. Namun demikian Priyo memandang cara Pemilu serempak ini mustahil, sehingga Pilkada lewat DPRD dinilai lebih masuk akal.
"Tapi susah saya bayangkan masyarakat kita nyoblos (jika Pemilu dan Pilkada serempak) sampai tujuh surat suara dari presiden dan wapres, DPR, DPRD I, DPRD II, Gubernur, Bupati, dan Walikota. Serempak atau nggak serempak itu masih sulit mengaturnya," tutur Priyo.
Kekurangan Pilkada langsung, menurut Priyo, adalah menyita energi dan biaya yang besar dalam penyelenggaraannya. Padahal Undang-undang Dasar tidak memerintahkan Pilkada langsung. Pilkada langsung juga rawan gesekan. Pilkada tak langsung lewat DPRD bisa menjadi solusi dari ketidakefisienan Pilkada langsung.
"Dan konsep awal Pilkada lewat DPRD ini dari pemerintah supaya lebih murah dan efisien," kata Priyo.
Sementara kekurangan dari Pilkada lewat DPRD adalah menuai penilaian kemunduran demokratisasi. Ini karena selama ini Indonesia sudah merintis demokrasi yang dilakukan lewat pemilihan pemimpin secara langsung.
"Pilihan kita tinggal ingin meneruskan atau tidak. Soal keputusannya apa nanti, saya ngikut saja, karena masing-masing punya kelebihan dan kekurangan," tutur Priyo./detik.com
Keinginan mayoritas fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih agar Pilkada dilakukan melalui DPRD dianggap mengancam sistem demokrasi. Alasannya, sistem tersebut malah menghapus partisipasi masyarakat dalam demokrasi.
"Ya jelas mundur ini kan tingkat partisipasi masyarakat sudah tereduksi. Sudah kembali lagi diwakilkan. Apa seperti tadi mereka bisa digadaikan?," kata pakar komunikasi politik dari Universitas Alauddin Makassar Firdaus Muhammad dalam diskusi di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Pilkada tidak langsung juga dikhawatirkan menimbulkan potensi kecurangan antar anggota DPRD serta calon kepala daerah bisa terjadi. Adanya berbagai modus yang bisa dimunculkan memberikan kegagalan representasi anggota DPRD terhadap konstituennya.
"Misalkan Anda adalah anggota DPR, saya calon bupati maka kita tinggal komunikasi, atau cash atau modus lain. Apakah suara Anda itu representasi dari konstituen Anda? Kan tidak. Jadi, Anda termasuk negosiasi kita. Sehingga itu jelas melukai masyarakat. Jelas sekali kalau ini mundur," sebutnya.
Firdaus juga menyebut Pilkada melalui DPRD tidak bisa menjamin terjadinya penghematan anggaran dalam pelaksanaannya. Justru sebaliknya, intensitas komunikasi antara anggota DPRD dan kepala daerah semakin terbuka.
Menurutnya, sistem tidak langsung malah menimbulkan spekulasi kerawanan politik uang yang sulit dikontrol.
"Apakah ada jaminan kalau misalkan pemilihan lewat DPRD itu costnya kecil. Tentu tidak. Bisa saja pemilihan itu lewat ATM, kalau mau studi banding, ada kegiatan hajatan keluarga, diperas lagi tuh gubernur. Apalagi kalau dia menguasai parlemen. Itu lebih bahaya lagi. Politik uang tidak bisa dikontrol. Sulit," ujarnya. /detik.com
Ketua DPP Hanura Ali Kastela menyebut Pilkada melalui DPRD justru rawan politik uang antara calon kepala daerah dengan anggota DPRD. Ali menyebut pemilihan tak langsung malah mengembalikan demokrasi ke zaman Orde Baru.
"Itu kayak zaman lama lagi balik di Orba. Masak begitu? Lagian sistem ini jadi bisa rawan permainan money politics," ujar Ali saat dihubungi, Jumat (5/9/2014).
Sistem Pilkada langsung menurut dia sudah baik. Namun diakui perlu perbaikan pada sistem, di antaranya penggunaan data elektronik.
"Yang ada sekarang sudah bagus. Cuma lebih baik disempurnakan kayak pakai electric. Metode e-KTP sekarang dimaksimalin dong buat perbaikan ini," kata Anggota Komisi VII DPR itu.
Pilkada langsung memang membutuhkan biaya besar. Namun masyarakat bisa berpartisipasi menentukan pemimpin di daerahnya.
"Itu konsekuensi dalam sistem demokrasi, biaya besar betul karena
banyak aspek yang harus dilakukan. Tapi, kalau sistem enggak langsung juga bukan jaminan biaya lebih sedikit," sebutnya.
Panja RUU Pilkada sudah memutuskan 2 opsi untuk dibahas dalam rapat lanjutan pada 9 dan 10 September mendatang.
Opsi pertama, gubernur, walikota dan bupati dipilih langsung oleh masyarakat seperti saat ini. Opsi kedua, pemilihan kepala daerah di tiga tingkatan tersebut dilakukan melalui DPRD. /detik.com
Presiden terpilih Joko Widodo menilai Pilkada tak langsung alias lewat DPRD adalah langkah mundur Demokrasi. Partai anggota koalisi merah putih, PPP, menyatakan sebaliknya.
"Pilkada tak langsung bukanlah kemunduran demokrasi, melainkan pengejawantahan murni sila ke-4 Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan)," kata Sekjen PPP Romahurmuziy dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/9/2014).
Romi, sapaannya, menyatakan PPP memang telah berkomitmen untuk mendorong Pilkada tak langsung sejak Mukernas II PPP di Medan pada Januari 2012. Bahkan PPP mengusulkan moratorium Pilkada langsung dan kembali ke Pilkada tak langsung. Ada sejumlah catatan PPP terkait kelemahan Pilkada langsung.
"Berkelindan dengan high cost politics, sehingga hanya calon bermodal besar yang eligible," kata Romi.
PPP menilai, sembilan tahun Pilkada langsung telah mengantarkan 292 atau 60% kepala daerah bermasalah secara hukum. Sedangkan sebelumnya, 60 tahun Pilkada tak langsung tidak banyak persoalan hukum berarti. Nepotisme juga menjadi efek dari Pilkada langsung.
"Pilkada langsung rawan money politics. Akibatnya, bukan merit system yang mendorong munculnya calon berkualitas. Ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang," ujar Romi.
Selanjutnya, Pilkada langsung juga dinilai rawan politik balas budi. Hanya desa-desa dengan kemenangan kepala daerah terpilih saja yang umumnya mendapat perhatian program pembangunan lebih. Padahal kepala daerah terpilih harus bekerja untuk seluruh rakyatnya.
"Pilkada langsung rawan konflik horizontal, sebagaimana selama ini berlangsung. Karenanya usulan Pilkada tak langsung bukanlah hal baru, apalagi bukan karena koalisi merah putih. Alhamdulilah pada akhirnya banyak fraksi yang belakangan sejalan dengan pikiran PPP," kata Romi. /detik.com
Sistem Pilkada melalui DPRD tidak menjadi jaminan bakal mengakhiri praktik korupsi dan kerusuhan. Justru, sistem secara tidak langsung ini lebih berpotensi menghasilkan dinasti politik dalam suatu daerah.
"Jika pilkada langsung dapat melahirkan dinasti politik apalagi lewat DPRD. Alasannya, jika rakyat yang banyak saja dapat dikontrol, maka kontrol terhadap anggota DPRD yang jumlahnya terbatas, karakternya buruk pasti jauh lebih mudah," ujar caleg terpilih partai NasDem, Muchtar Luthfi Andi Mutty dalam diskusi di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Menurut dia, memang harus diakui kalau demokrasi langsung bukan sistem yang sempurna. Selain biaya yang besar, proses pengambilan putusan juga lama. Namun, jika ingin efisien secara biaya dan waktu sama saja mengembalikan ke era otoriter seperti masa Orde Baru.
"Tapi, harus diingat kalau rakyat tidak cukup hidup dengan sepotong roti," sebut anggota mantan Bupati Luwu Utara periode 1999-2009.
Kemudian, dia menyindir adanya anggapan jika Pilkada langsung dijadikan kambing hitam karena berpotensi rusuh. Hal ini menurutnya tidak benar karena seorang kepala daerah punya modal untuk terus melakukan transaksi dengan anggota DPRD.
"Bisa juga seseorang dengan rekam jejak yang buruk terpilih karena memiliki modal yang kuat. Kalau itu terjadi, rakyat tentu kecewa karena ekspektasi mereka berbanding terbalik dengan hasil pilihan DPRD. Rakyat bisa marah dan meluapkan amarahnya yang berpotensi terjadi kerusuhan," ujar Muchtar.
Lantas, dia pun menyindir jika Pilkada dipilih oleh DPRD maka ada dua sistem berlaku di Indonesia yaitu presidensia dan parlementer.
"Jika kepala daerah dipilih DPRD maka ada dua sistem berlaku di negara kita, kepalanya (presiden) dan kakinya (kepala desa) menganut sistem presidensial, sedangkan perutnya (kepala daerah) menganut sistem parlementer," katanya /detik.com
Fraksi-fraksi di DPR mulai terbagi ketika membahas RUU Pilkada. Gabungan parpol di koalisi Merah Putih lebih condong untuk memilih mekanisme Pilkada lewat DPRD. Tapi kepala daerah DKI yang juga anggota koalisi Merah Putih, Basuki Tjahaja Purnama, justru menyampaikan pendapat yang bertolak belakang.
“Ya, saya sih gak setuju (pelaksaaan Pilkada lewat DPRD),” kata Wakil Gubernur DKI yang biasa dipanggil Ahok itu, di kantornya di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (5/9/2014).
Ahok merasa, jika pemilihan lewat DPRD rentan dimanfaatkan oleh oknum anggota dewan yang ingin memperkaya diri sendiri. Selain itu, sulit bagi calon kepala daerah dari kalangan minoritas seperti dirinya untuk bisa bersaing merebut kursi pemerintahan.
“Saya sih pengennya yang (Pilkada) langsung. Kalau (lewat) DPRD enggak akan pernah Ahok jadi kepala daerah dari dulu,” kata kader partai Gerindra itu.
Dengan menegaskan sikapnya itu, Ahok menyatakan dia siap berdiri di sisi yang bertentangan dengan sikap partainya. “Ya bisa saja (sekarang bertentangan),” kata dia sambil tertawa.
Sebelumnya, mayoritas fraksi di DPR memilih skema pelaksaan Pilkada oleh DPRD daripada pemilu langsung. Menurut Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pilkada Abdul Hakam Naja masing-masing fraksi koalisi Merah Putih, mulai bermufakat untuk menyetujui Pilkada lewat DPRD.
Partai dari Koalisi Merah Putih yang sudah kompak soal Pilkada tak langsung ini adalah Gerindra, PPP, PAN, dan Golkar. /detik.com
Parpol koalisi Merah Putih memilih mendukung Pilkada melalui DPRD dengan argumen politik uang yang rentan terjadi bila Pilkada dilakukan secara langsung. Tapi pengamat hukum tata negara Refly Harun menilai, justru pemilihan melalui DPRD lebih rentan politik uang.
"Tidak ada jaminan kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak ada money politics, bahkan lebih kentara karena menentukan hasil pemilu secara langsung. Ongkosnya pun lebih besar karena terukur berapa suaranya dan sebagainya," kata Refly Harun dalam diskusi tentang RUU Pilkada di Jalan Cikini Raya, Jakpus, Jumat (5/9/2014).
Refly mencontohkan, dalam pemilu gubernur dan wakil gubernur Sumatera Selatan tahun 2003 melalui DPRD dimana hasilnya dikenal dengan kelompok 37 dan 38 karena beda satu suara.
"Yang terjadi DPRD disuap dengan koper uang. Jadi setelah Pilkada berlangsung DPRD-nya kaya lalu kepala daerahnya masuk penjara. Saat itu Syahrial Oesman," ujar Direktur Eskekutif Correct itu.
Politik uang menurut Refly bisa dihindari dengan membuat aturan yang tegas bukan dengan mengubah sistem pemilunya. Misal, calon kepala daerah atau timses yang kedapatan politik uang maka calon didiskualifikasi.
"Kalau diganjar dengan diskualifikasi, maka saya yakin money politics akan terhindarkan. Karena bukan hukuman penjara dan denda yang ditakutkan, tapi diskualifikasi yang membuat mereka tidak terpilih," ucapnya.
Karena itu Refly menganggap argumentasi apapun soal kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak tepat, termasuk argumen soal ongkos pemilu yang mahal dan munculnya konflik horizontal pasca pemilu.
"Menurut saya alasan menolak pemilukada langsung tidak justified, tidak benar, tidak logis dan seperti orang putus asa. Menghadapi masalah di sini, tapi lari," imbuhnya. /detik.com
Relfy Harun: Pilkada Melalui DPRD Lebih Rawan Politik Uang
"Tidak ada jaminan kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak ada money politics, bahkan lebih kentara karena menentukan hasil pemilu secara langsung. Ongkosnya pun lebih besar karena terukur berapa suaranya dan sebagainya," kata Refly Harun dalam diskusi tentang RUU Pilkada di Jalan Cikini Raya, Jakpus, Jumat (5/9/2014).
Refly mencontohkan, dalam pemilu gubernur dan wakil gubernur Sumatera Selatan tahun 2003 melalui DPRD dimana hasilnya dikenal dengan kelompok 37 dan 38 karena beda satu suara.
"Yang terjadi DPRD disuap dengan koper uang. Jadi setelah Pilkada berlangsung DPRD-nya kaya lalu kepala daerahnya masuk penjara. Saat itu Syahrial Oesman," ujar Direktur Eskekutif Correct itu.
Politik uang menurut Refly bisa dihindari dengan membuat aturan yang tegas bukan dengan mengubah sistem pemilunya. Misal, calon kepala daerah atau timses yang kedapatan politik uang maka calon didiskualifikasi.
"Kalau diganjar dengan diskualifikasi, maka saya yakin money politics akan terhindarkan. Karena bukan hukuman penjara dan denda yang ditakutkan, tapi diskualifikasi yang membuat mereka tidak terpilih," ucapnya.
Karena itu Refly menganggap argumentasi apapun soal kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak tepat, termasuk argumen soal ongkos pemilu yang mahal dan munculnya konflik horizontal pasca pemilu.
"Menurut saya alasan menolak pemilukada langsung tidak justified, tidak benar, tidak logis dan seperti orang putus asa. Menghadapi masalah di sini, tapi lari," imbuhnya. /detik.com
Prof Ramlan Surbakti: Pilkada Melalui DPRD Inkonstitusional
DPR melalui Panja tengah menggodok RUU Pilkada yang akan disahkan kurang dari 3 minggu. Padahal materi di dalamnya sangat menentukan, yaitu mengesahkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD tidak lagi langsung oleh rakyat.
Pengamat pemilu Prof Ramlan Surbakti, menilai ketentuan Pilkada dipilih oleh DPRD itu inkonstitusional. Menurutnya, pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah proses kemunduran dari demokrasi.
"Saya berangkat dari konsistensi kita melaksanakan konstitusi UUD. Pertama, saya ingin mengatakan kepala daerah dipilih oleh DPRD tidak konstitusional dan tidak konsisten dengan bentuk pemerintahan," kata Prof Ramlan dalam diskusi tentang 'RUU Pilkada' di Bakoel Coffe, Jl Cikini Raya, Jakpus, Jumat (5/9/2014).
Menurut Ramlan, kalau bentuk pemerintahan kita presidensial atau presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka harus konsisten kepala daerah juga dipilih oleh rakyat bukan DPRD.
"Kalau sekarang diubah dipilih oleh DPRD itu kemunduran dan tidak sesuai dengan konstitusi, tidak sesuai dengan bentuk presidensial dan tambah lagi artinya menggunakan bentuk pemerintahan parlementer," ujarnya.
"Mana ada negara presidensial kepala daerahnya dipilih oleh DPRD?," imbuh mantan komisioner KPU itu.
Pihaknya juga membantah adanya pemisahan antara rezim pemerintahan dan rezim pemillu. Menurutnya UUD tidak mengenal dua istilah rezim tersebut secara terpisah sehingga presiden diplih rakyat dan kepala daerah boleh oleh DPRD.
"Pemilu di UUD bukan hanya pasal 22e, tapi 6a, 19, 22c, dan 18 ayat 3. Nggak benar UUD 45 pisahkan rezim pemerintah dengan pemilu. Dulu muncul kepala daerah dipilih oleh DPRD karena bukan rezim pemilu, ini omong kosong," ucapnya.
"Jadi semua ini untuk kepentingan politik jangka pendek, dan pemerintahan yang kita pikirkan kan jangka panjang. Arah konstitusi itu untuk kepentingan semua bangsa, bukan untuk koalisi ini atau itu," imbuh guru besar Universitas Airlangga itu. /detik.com
PAN: Kepala Daerah Jabatan Politis, Bukan Masalah Kongkalikong
Partai Amanat Nasional setuju bila nantinya Pilkada dilakukan oleh DPRD. Sekjen PAN Taufik Kurniawan pun menjamin nantinya tak ada kolusi mau pun nepotisme dalam pelaksanaan Pilkada demikian.
"Sekarang begini, pimpinan atau kepala daerah ini kan jabatan politis, baik itu Bupati, Walikota, atau Gubernur. Itu sesuai amanat konstitusi bahwa itu jabatan politis. Nah, DPRD juga pejabat publik politis yang dipilih secara demokratis. Jadi bukan masalah apakah nantinya ada kongkalikong atau tidak, apakah di DPRD ada tokoh atau tidak. Itu nanti akan dibahas," ujar Taufik saat berbincang, Jumat (5/9/2014).
Taufik juga menyatakan bahwa dalam konstitusi tak mengatur mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah harus secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu ada ruang untuk membuat regulasi pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
PAN juga mencermati bagaimana pemilihan kepala daerah secara langsung banyak menimbulkan kerugian ketimbang manfaat. Potensi konflik horisontal pun lebih tinggi setelah diumumkan hasil Pilkada langsung.
"Kenyataan bahwa ada 548 kabupaten/kota dan 34 daerah, maka hampir setiap hari ada pilkada di Indonesia. Ini merupakan pemborosan. Kemudian harmonisasi antara kepala daerah dan wakilnya itu paling lama 6 bulan sampai satu tahun. Setelah itu keduanya berebut panggung untuk Pilkada selanjutnya," imbuh Taufik.
Di sisi lain para calon kepala daerah rata-rata mengeluarkan uang Rp 20-50 miliar. Menurut Wakil Ketua MPR ini nantinya para calon yang terpilih akan lebih fokus untuk mengembalikan modal. /detik.com
Ingin Pilkada di DPRD, Koalisi Merah Putih Bantah Ingin 'Balas Dendam'
Partai anggota Koalisi Merah Putih berubah sikap secara tiba-tiba soal RUU Pilkada dari yang semula setuju kepala daerah dipilih secara langsung, menjadi pemilihan lewat DPRD. Mereka menyangkal perubahan frontal ini sebagai aksi balas dendam.
"Nggak ada balas dendam. Momentumnya saja yang kebetulan sama," kata politikus PAN yang juga Ketua Panja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja saat dihubungi detikcom, Jumat (5/9/2014).
PAN yang sebelumnya meminta Pilkada secara langsung, dalam rapat Panja RUU Pilkada pada 1-3 September lalu berubah sikap dan meminta Pilkada kembali seperti zaman Orde Baru yang diputuskan di DPRD. Menurut Hakam, perubahan sikap Koalisi Merah Putih bukan balas dendam karena kalah di Pilpres 2014.
Ia menjelaskan bahwa perubahan keputusan PAN dalam rapat Panja RUU tersebut sudah melalui persetujuan partai dan Ketumnya, Hatta Rajasa. Alasan mendukung Pilkada dilakukan DPRD karena maraknya politik uang di masyarakat dan rentannya gesekan akibat membela salah satu calon.
"Adanya dugaan manipulasi dan kecurangan, ada politik uang, ada gesekan di masyarakat bawah karena pemilihan," ujarnya.
Dalam rapat konsinyering Panja RUU Pilkada dengan Kemendagri pada 1-3 September lalu, Partai Golkar yang sebelumnya meminta Pilkada dilakukan secara langsung berubah sikap dan meminta Pilkada dilakukan oleh DPRD. Langkah ini juga diambil Gerindra, PPP dan PAN. PKS yang dalam rapat itu tetap meminta Pilkada secara langsung, belakangan berubah haluan dan meminta Pilkada dipegang DPRD.
Fraksi yang tak mengubah keputusannya hanya PDIP dan Hanura yang tetap meminta pemilihan dilaksanakan secara langsung. Demokrat dan PKB meminta agar Pilgub dilakukan secara langsung namun Pilwakot dan Pibubnya dilakukan oleh DPRD
Pilkada melalui DPRD dinilai Hakam juga tak luput dari kekurangan. Pandangan adanya politik uang yang berpusat di DPRD menurutnya bagian dari konsekuensi politik dari keputusan yang diambil. Namun, menggandeng penegak hukum bisa menjadi cara memperbaiki sistem demokrasi melalui DPRD.
"Setiap sistem ada kelemahan. (Pilkada) Langsung kelebihannya ada tapi kekurangannya juga lebih banyak. Begitu pula DPRD ada kelebihan dan ada kelemahannya. Tidak ada yang sistem sempurna," imbuhnya.
Mendukung Pilkada dilakukan oleh DPRD, disebut Hakam, sebagai sikap final namun ia tak menutup kemungkinan jika partai lainnya dapat berubah sikap saat rapat Panja RUU Pilkada kembali digelar pekan depan.
Sebelumnya, Direktur LIMA Ray Ranguti mengatakan bahwa perubahan sikap politik para parpol Koalisi Merah Putih dalam RUU Pilkada adalah bentuk balas dendam. Menurut Ray, sikap koalisi itu memberi kesan mendalam sebagai bagian dari luka hati akibat gagal dalam pelaksanaan Pilpres. Argumen bahwa mereka setuju Pilkada digelar langsung tiba-tiba dimentahkan sendiri.
"Mereka mengorbankan pencapaian prinsipil dan esensil dalam reformasi hanya sekadar memenuhi kebutuhan politik jangka pendek, bersifat pragmatis dan juga bernada 'balas dendam'," ujar Ray. /detik.com
Priyo: Memilih Kepala Daerah Lewat DPRD Bisa Lebih Efisien dan Murah
Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada di DPR sedang membahas akankah Pilkada ke depan dilaksanakan langsung atau tak langsung alias lewat DPRD. Aspirasi Pilkada tak langsung unggul jumlah dukungan. Wakil Ketua DPR mengimbau agar masyarakat tak berpikir negatif dulu soal Pilkada lewat DPRD, termasuk berpikiran aspirasi ini merupakan balas dendam kubu koalisi merah putih yang kalah dalam Pilpres 2014.
"Jangan berkonotasi negatif dulu. Tujuan Pilkada lewat DPRD adalah untuk lebih mengefisienkan dan memudahkan prosesnya," kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Priyo yang juga politisi Partai Golkar ini menuturkan, Pilkada langsung bisa dibuat semakin efisien dengan jalan lain selain Pilkada lewat DPRD. Cara itu adalah Pilkada serempak bersama-sama dengan Pilpres dan Pileg. Namun demikian Priyo memandang cara Pemilu serempak ini mustahil, sehingga Pilkada lewat DPRD dinilai lebih masuk akal.
"Tapi susah saya bayangkan masyarakat kita nyoblos (jika Pemilu dan Pilkada serempak) sampai tujuh surat suara dari presiden dan wapres, DPR, DPRD I, DPRD II, Gubernur, Bupati, dan Walikota. Serempak atau nggak serempak itu masih sulit mengaturnya," tutur Priyo.
Kekurangan Pilkada langsung, menurut Priyo, adalah menyita energi dan biaya yang besar dalam penyelenggaraannya. Padahal Undang-undang Dasar tidak memerintahkan Pilkada langsung. Pilkada langsung juga rawan gesekan. Pilkada tak langsung lewat DPRD bisa menjadi solusi dari ketidakefisienan Pilkada langsung.
"Dan konsep awal Pilkada lewat DPRD ini dari pemerintah supaya lebih murah dan efisien," kata Priyo.
Sementara kekurangan dari Pilkada lewat DPRD adalah menuai penilaian kemunduran demokratisasi. Ini karena selama ini Indonesia sudah merintis demokrasi yang dilakukan lewat pemilihan pemimpin secara langsung.
"Pilihan kita tinggal ingin meneruskan atau tidak. Soal keputusannya apa nanti, saya ngikut saja, karena masing-masing punya kelebihan dan kekurangan," tutur Priyo./detik.com
Pilkada Lewat DPRD Justru Ancam Partisipasi Masyarakat Pilih Pemimpin
Keinginan mayoritas fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih agar Pilkada dilakukan melalui DPRD dianggap mengancam sistem demokrasi. Alasannya, sistem tersebut malah menghapus partisipasi masyarakat dalam demokrasi.
"Ya jelas mundur ini kan tingkat partisipasi masyarakat sudah tereduksi. Sudah kembali lagi diwakilkan. Apa seperti tadi mereka bisa digadaikan?," kata pakar komunikasi politik dari Universitas Alauddin Makassar Firdaus Muhammad dalam diskusi di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Pilkada tidak langsung juga dikhawatirkan menimbulkan potensi kecurangan antar anggota DPRD serta calon kepala daerah bisa terjadi. Adanya berbagai modus yang bisa dimunculkan memberikan kegagalan representasi anggota DPRD terhadap konstituennya.
"Misalkan Anda adalah anggota DPR, saya calon bupati maka kita tinggal komunikasi, atau cash atau modus lain. Apakah suara Anda itu representasi dari konstituen Anda? Kan tidak. Jadi, Anda termasuk negosiasi kita. Sehingga itu jelas melukai masyarakat. Jelas sekali kalau ini mundur," sebutnya.
Firdaus juga menyebut Pilkada melalui DPRD tidak bisa menjamin terjadinya penghematan anggaran dalam pelaksanaannya. Justru sebaliknya, intensitas komunikasi antara anggota DPRD dan kepala daerah semakin terbuka.
Menurutnya, sistem tidak langsung malah menimbulkan spekulasi kerawanan politik uang yang sulit dikontrol.
"Apakah ada jaminan kalau misalkan pemilihan lewat DPRD itu costnya kecil. Tentu tidak. Bisa saja pemilihan itu lewat ATM, kalau mau studi banding, ada kegiatan hajatan keluarga, diperas lagi tuh gubernur. Apalagi kalau dia menguasai parlemen. Itu lebih bahaya lagi. Politik uang tidak bisa dikontrol. Sulit," ujarnya. /detik.com
Ogah Balik ke Zaman Orba, Jadi Alasan Hanura Tolak Pilkada Lewat DPRD
Ketua DPP Hanura Ali Kastela menyebut Pilkada melalui DPRD justru rawan politik uang antara calon kepala daerah dengan anggota DPRD. Ali menyebut pemilihan tak langsung malah mengembalikan demokrasi ke zaman Orde Baru.
"Itu kayak zaman lama lagi balik di Orba. Masak begitu? Lagian sistem ini jadi bisa rawan permainan money politics," ujar Ali saat dihubungi, Jumat (5/9/2014).
Sistem Pilkada langsung menurut dia sudah baik. Namun diakui perlu perbaikan pada sistem, di antaranya penggunaan data elektronik.
"Yang ada sekarang sudah bagus. Cuma lebih baik disempurnakan kayak pakai electric. Metode e-KTP sekarang dimaksimalin dong buat perbaikan ini," kata Anggota Komisi VII DPR itu.
Pilkada langsung memang membutuhkan biaya besar. Namun masyarakat bisa berpartisipasi menentukan pemimpin di daerahnya.
"Itu konsekuensi dalam sistem demokrasi, biaya besar betul karena
banyak aspek yang harus dilakukan. Tapi, kalau sistem enggak langsung juga bukan jaminan biaya lebih sedikit," sebutnya.
Panja RUU Pilkada sudah memutuskan 2 opsi untuk dibahas dalam rapat lanjutan pada 9 dan 10 September mendatang.
Opsi pertama, gubernur, walikota dan bupati dipilih langsung oleh masyarakat seperti saat ini. Opsi kedua, pemilihan kepala daerah di tiga tingkatan tersebut dilakukan melalui DPRD. /detik.com
Ahok: Pilkada Harusnya Langsung Saja, Kalau Tidak Oknum DPRD Kaya Semua!
Fraksi di DPR mayoritas menyuarakan Pilkada melalui DPRD daripada Pilkada langsung. Opsi ini tak disetujui Wakil Gubernur DKI Basuki T Purnama yang merasa Pilkada yang melalui kursi DPRD akan dimanfaatkan oknum anggota dewan memperkaya diri sendiri.
"Harusnya Pilkada langsung. Kalau dari DPRD nanti oknum DPRD kaya raya semua," kata Basuki di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakpus, Jumat (5/9/2014).
Menurutnya, pelaksanaan Pilkada bukan hanya dilihat dari nominal dana yang dikucurkan. Ia menilai Pilkada yang melalui DPRD akan menimbulkan 'penjajahan berskala regional' oleh anggota dewan pada kepala daerah yang terpilih.
"Nanti semua kepala daerah bisa dikontrol dari oknum DRPD. Dikit-dikit dipanggil, tanggung jawab lagi semua. Dijajah lagi kayak dulu. Kalau zaman Pak Harto kan gampang, satu partai. Kalau sekarang, ada banyak partai ya mati," ujarnya.
Menurutnya anggaran yang harus dikeluarkan calon kepala daerah sifatnya sangat bergantung pada kebutuhannya. Ia mengaku selama maju sebagai kepala daerah di Belitung Timur, Bangka Belitung hingga maju di Jakarta tak pernah mengeluarkan anggaran yang besar,.
Lebih jauh, ia menyebut anggaran besar yang disiapkan seorang calon kepala daerah karena niat untuk bermain curang.
"Aku juga nggak mahal. Nggak keluar duit kok. Lu aja bego mau mahal-mahal nyogok. Kalau nggak mau nyogok mah murah saja," ucapnya.
Sebelumnya, partai Koalisi Merah Putih menyetujui opsi agar Pilkada dilakukan melalui DPRD. Mereka beralasan jika pemilihan secara langsung selama ini sarat dengan manipulasi, politik uang dan menimbulkan gesekan di masyarakat. /detik.com
"Harusnya Pilkada langsung. Kalau dari DPRD nanti oknum DPRD kaya raya semua," kata Basuki di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakpus, Jumat (5/9/2014).
Menurutnya, pelaksanaan Pilkada bukan hanya dilihat dari nominal dana yang dikucurkan. Ia menilai Pilkada yang melalui DPRD akan menimbulkan 'penjajahan berskala regional' oleh anggota dewan pada kepala daerah yang terpilih.
"Nanti semua kepala daerah bisa dikontrol dari oknum DRPD. Dikit-dikit dipanggil, tanggung jawab lagi semua. Dijajah lagi kayak dulu. Kalau zaman Pak Harto kan gampang, satu partai. Kalau sekarang, ada banyak partai ya mati," ujarnya.
Menurutnya anggaran yang harus dikeluarkan calon kepala daerah sifatnya sangat bergantung pada kebutuhannya. Ia mengaku selama maju sebagai kepala daerah di Belitung Timur, Bangka Belitung hingga maju di Jakarta tak pernah mengeluarkan anggaran yang besar,.
Lebih jauh, ia menyebut anggaran besar yang disiapkan seorang calon kepala daerah karena niat untuk bermain curang.
"Aku juga nggak mahal. Nggak keluar duit kok. Lu aja bego mau mahal-mahal nyogok. Kalau nggak mau nyogok mah murah saja," ucapnya.
Sebelumnya, partai Koalisi Merah Putih menyetujui opsi agar Pilkada dilakukan melalui DPRD. Mereka beralasan jika pemilihan secara langsung selama ini sarat dengan manipulasi, politik uang dan menimbulkan gesekan di masyarakat. /detik.com
PPP: Pilkada Tak Langsung Bukan Kemunduran Demokrasi
Presiden terpilih Joko Widodo menilai Pilkada tak langsung alias lewat DPRD adalah langkah mundur Demokrasi. Partai anggota koalisi merah putih, PPP, menyatakan sebaliknya.
"Pilkada tak langsung bukanlah kemunduran demokrasi, melainkan pengejawantahan murni sila ke-4 Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan)," kata Sekjen PPP Romahurmuziy dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/9/2014).
Romi, sapaannya, menyatakan PPP memang telah berkomitmen untuk mendorong Pilkada tak langsung sejak Mukernas II PPP di Medan pada Januari 2012. Bahkan PPP mengusulkan moratorium Pilkada langsung dan kembali ke Pilkada tak langsung. Ada sejumlah catatan PPP terkait kelemahan Pilkada langsung.
"Berkelindan dengan high cost politics, sehingga hanya calon bermodal besar yang eligible," kata Romi.
PPP menilai, sembilan tahun Pilkada langsung telah mengantarkan 292 atau 60% kepala daerah bermasalah secara hukum. Sedangkan sebelumnya, 60 tahun Pilkada tak langsung tidak banyak persoalan hukum berarti. Nepotisme juga menjadi efek dari Pilkada langsung.
"Pilkada langsung rawan money politics. Akibatnya, bukan merit system yang mendorong munculnya calon berkualitas. Ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang," ujar Romi.
Selanjutnya, Pilkada langsung juga dinilai rawan politik balas budi. Hanya desa-desa dengan kemenangan kepala daerah terpilih saja yang umumnya mendapat perhatian program pembangunan lebih. Padahal kepala daerah terpilih harus bekerja untuk seluruh rakyatnya.
"Pilkada langsung rawan konflik horizontal, sebagaimana selama ini berlangsung. Karenanya usulan Pilkada tak langsung bukanlah hal baru, apalagi bukan karena koalisi merah putih. Alhamdulilah pada akhirnya banyak fraksi yang belakangan sejalan dengan pikiran PPP," kata Romi. /detik.com
Pilkada Lewat DPRD Berpotensi Munculkan Dinasti Politik
Sistem Pilkada melalui DPRD tidak menjadi jaminan bakal mengakhiri praktik korupsi dan kerusuhan. Justru, sistem secara tidak langsung ini lebih berpotensi menghasilkan dinasti politik dalam suatu daerah.
"Jika pilkada langsung dapat melahirkan dinasti politik apalagi lewat DPRD. Alasannya, jika rakyat yang banyak saja dapat dikontrol, maka kontrol terhadap anggota DPRD yang jumlahnya terbatas, karakternya buruk pasti jauh lebih mudah," ujar caleg terpilih partai NasDem, Muchtar Luthfi Andi Mutty dalam diskusi di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (5/9/2014).
Menurut dia, memang harus diakui kalau demokrasi langsung bukan sistem yang sempurna. Selain biaya yang besar, proses pengambilan putusan juga lama. Namun, jika ingin efisien secara biaya dan waktu sama saja mengembalikan ke era otoriter seperti masa Orde Baru.
"Tapi, harus diingat kalau rakyat tidak cukup hidup dengan sepotong roti," sebut anggota mantan Bupati Luwu Utara periode 1999-2009.
Kemudian, dia menyindir adanya anggapan jika Pilkada langsung dijadikan kambing hitam karena berpotensi rusuh. Hal ini menurutnya tidak benar karena seorang kepala daerah punya modal untuk terus melakukan transaksi dengan anggota DPRD.
"Bisa juga seseorang dengan rekam jejak yang buruk terpilih karena memiliki modal yang kuat. Kalau itu terjadi, rakyat tentu kecewa karena ekspektasi mereka berbanding terbalik dengan hasil pilihan DPRD. Rakyat bisa marah dan meluapkan amarahnya yang berpotensi terjadi kerusuhan," ujar Muchtar.
Lantas, dia pun menyindir jika Pilkada dipilih oleh DPRD maka ada dua sistem berlaku di Indonesia yaitu presidensia dan parlementer.
"Jika kepala daerah dipilih DPRD maka ada dua sistem berlaku di negara kita, kepalanya (presiden) dan kakinya (kepala desa) menganut sistem presidensial, sedangkan perutnya (kepala daerah) menganut sistem parlementer," katanya /detik.com
Ahok: Kalau Pilkada Lewat DPRD Saya Tak Akan Pernah Terpilih
Fraksi-fraksi di DPR mulai terbagi ketika membahas RUU Pilkada. Gabungan parpol di koalisi Merah Putih lebih condong untuk memilih mekanisme Pilkada lewat DPRD. Tapi kepala daerah DKI yang juga anggota koalisi Merah Putih, Basuki Tjahaja Purnama, justru menyampaikan pendapat yang bertolak belakang.
“Ya, saya sih gak setuju (pelaksaaan Pilkada lewat DPRD),” kata Wakil Gubernur DKI yang biasa dipanggil Ahok itu, di kantornya di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (5/9/2014).
Ahok merasa, jika pemilihan lewat DPRD rentan dimanfaatkan oleh oknum anggota dewan yang ingin memperkaya diri sendiri. Selain itu, sulit bagi calon kepala daerah dari kalangan minoritas seperti dirinya untuk bisa bersaing merebut kursi pemerintahan.
“Saya sih pengennya yang (Pilkada) langsung. Kalau (lewat) DPRD enggak akan pernah Ahok jadi kepala daerah dari dulu,” kata kader partai Gerindra itu.
Dengan menegaskan sikapnya itu, Ahok menyatakan dia siap berdiri di sisi yang bertentangan dengan sikap partainya. “Ya bisa saja (sekarang bertentangan),” kata dia sambil tertawa.
Sebelumnya, mayoritas fraksi di DPR memilih skema pelaksaan Pilkada oleh DPRD daripada pemilu langsung. Menurut Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pilkada Abdul Hakam Naja masing-masing fraksi koalisi Merah Putih, mulai bermufakat untuk menyetujui Pilkada lewat DPRD.
Partai dari Koalisi Merah Putih yang sudah kompak soal Pilkada tak langsung ini adalah Gerindra, PPP, PAN, dan Golkar. /detik.com
0 komentar:
Post a Comment