Ke manakah para perwira yang dulu terlibat dalam penculikan aktivis?
Apakah mereka masih memiliki karier militer setelah menjadi terpidana?
Apakah mereka masih terkait dengan gerakan politik mantan komandan mereka, Prabowo Subianto?
KONTROVERSI tentang Tim Mawar seakan tidak pernah lekang. Nama tim
dari Kopassus yang melakukan penculikan para aktivis tahun 1997-1998 ini
kembali mencuat terutama karena dikaitkan dengan sosok Prabowo
Subianto, mantan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus yang kini menjadi
calon kuat dalam pemilihan presiden RI. Prabowo adalah garis depan dan
pusat dari kontroversi ini. Lawan-lawan politiknya menuduh bahwa dialah
yang memerintahkan penculikan itu. Namun, Prabowo dan apparatchicks-nya
di Partai Gerindra, dengan keras membantah hal tersebut. Mereka
berusaha membangun ‘narasi’ bahwa mantan menantu Suharto itu tidak
bersalah karena dia hanya menjalankan perintah atasannya.
Menariknya, di sisi lain, komandan tim penculik yang menjadi
tersangka, mengaku di depan sidang pengadilan bahwa penculikan itu
adalah inisiatif pribadinya. Komandan itu, Mayor Inf. Bambang Kristiono,
dihukum 22 bulan penjara dan dipecat dari dinas militer. Bambang
Kristiono juga mengaku bahwa timnya hanya menculik sembilan aktivis dan
semua aktivis itu sudah dibebaskan. Ada tiga belas orang aktivis lain
yang hilang sampai saat ini. Baik Prabowo Subianto maupun Tim Mawar,
menolak bertanggung jawab atas nasib ketiga belas orang yang hilang ini.
Cerita yang berkembang, ada ‘tim’ lain yang ikut menculik. Hingga saat
ini, tidak ada kejelasan soal tiga belas yang hilang tersebut.
Para pelaku penculikan sudah diadili di pengadilan militer dan
dihukum. Selama proses peradilan, terlihat banyak sekali kejanggalan
selain juga tidak transparan. Awalnya, masyarakat diberitahu bahwa lima
perwira dihukum dan dipecat dari dinas militer, sementara sisanya hanya
dihukum dan tidak dipecat dari dinas militer. Namun, sekitar tahun 2006,
masyarakat dikejutkan karena beberapa perwira yang diberitakan telah
dipecat ini justru menjadi komandan Kodim (komando distrik militer) di
beberapa daerah di Jawa dan di Ambon, Maluku. Kemudian, diketahui bahwa
para perwira ini telah mengajukan banding atas keputusan pengadilan
tingkat pertama. Di tingkat Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), hakim
memutuskan menambah hukuman tetapi tidak memecat mereka dari dinas
militer, kecuali untuk Mayor Inf. Bambang Kristiono yang tetap dihukum
22 bulan penjara.1
Hampir tujuh belas tahun kemudian, ke manakah perwira-perwira
Kopassus itu? Apakah karier militer mereka berhenti karena telah tercela
melakukan suatu tindak pidana? Apakah mereka masih menjalin hubungan
dengan bekas-bekas komandan mereka, terutama dengan Prabowo Subianto?
Penyelidikan mendalam atas beberapa perwira yang terlibat langsung
dalam kasus penculikan itu menemukan fakta bahwa sebagian besar dari
perwira-perwira ini menjalani karier militer dengan normal. Bahkan,
beberapa di antara mereka memiliki karier yang menanjak di atas
rata-rata dibandingkan rekan-rekan satu angkatannya di Akmil (akademi
militer). Sementara, untuk perwira yang lebih senior, seperti Mayjen TNI
(Pur) Muchdi Purwoprandjono-yang saat penculikan terbongkar menjabat
sebagai Danjen Kopassus dan dicopot dari jabatannya-juga tidak mengalami
hambatan berarti, baik dalam karier militernya maupun dalam kehidupan
sipilnya setelah pensiun dari dinas militer. Demikian juga dengan Kol.
Inf. Chairawan Kadarsyah Nusyirwan yang saat itu menjabat sebagai
Komandan Grup-4 Kopassus. Dia memang diberhentikan dari kedudukan
sebagai komandan Grup -4. tetapi dia kemudian berhasil menyelesaikan
karier militernya dengan pangkat Mayor Jenderal.
Tulisan ini akan dimulai dengan pembahasan tentang satuan tugas
intelijen, yang oleh masyarakat dikenal dengan nama ‘Tim Mawar’ itu.
Apakah sebenarnya Tim Mawar itu? Pertanyaan yang lebih penting: apakah
ia benar-benar ada? Ada beberapa pihak yang meragukan bahwa tim ini
sungguh pernah ada. Kemungkinannya adalah tim ini dinamakan ex post facto (setelah kejadian) dan ada lebih banyak perwira dan prajurit yang terlibat, tetapi tidak tersentuh oleh hukum.
Kemudian, kita akan membahas masing-masing perwira yang terlibat
dalam kasus penculikan ini. Perjalanan karier mereka akan diteliti
secara saksama. Ke mana mereka sesudah menjalani ‘hukuman’2
hingga saat ini? Tidak semua perwira-perwira ini bisa dilacak.
Perwira-perwira yang bertugas di dunia intelijen terbukti lebih sulit
untuk dilacak.
Penyelidikan untuk tulisan ini sebagian besar dilakukan lewat
pencarian berita di media massa. Ada juga beberapa informan yang
dihubungi baik lewat telepon maupun e-mail. Seluruh informan
menolak diidentifikasikan karena mengkhawatirkan keselamatan mereka.
Kekhawatiran itu menjadi bukti bahwa Indonesia masih merupakan wilayah
berbahaya untuk melakukan kerja jurnalistik investigatif.
Tim Mawar: Apakah Sungguh Ada?
Hingga saat ini tidak ada yang tahu pasti apa itu Tim Mawar.
Sebenarnya, keberadaan tim ini di luar kebiasaan operasi Kopassus.
Berbagai studi militer Indonesia menunjukkan bahwa satuan Kopassus,
yakni Grup-3 Sandi Yudha, mengemban fungsi sebagai intelijen tempur.
Biasanya, dalam operasi, satuan intelijen Kopasssus diorganisasikan di
dalam Satuan Tugas (Satgas). Satgas yang umum dikenal adalah Satgas
Tribuana, yang pernah beroperasi di Timor Timur, Aceh dan Papua.3 Dari Satgas ini kemudian dibentuk satuan-satuan taktis (sattis) yang menangani satu tugas khusus seperti mengawasi satu kelompok, satu wilayah, melakukan penggalangan, atau inflitrasi.
Tidak terlalu jelas apakah ketika itu Tim Mawar adalah salah satu sattis
di bawah komando Grup-4/Sandi Yudha. Di pengadilan militer, komandan
Tim Mawar, Mayor Inf. Bambang Kristiono mengaku membentuk tim untuk
melakukan penculikan atas inisiatif pribadi. Sulit untuk dimengerti
bahwa satuan taktis dengan pola operasi dalam skala ini dan dilakukan di
Markas Kopassus, Cijantung, dilakukan atas inisiatif seorang perwira
menengah tanpa sepengetahuan atasannya.
Namun, ada hal-hal yang menarik dari Tim Mawar. Beberapa sumber yang
dihubungi untuk tulisan ini mengatakan bahwa mereka sempat melihat
beberapa perwira yang terlibat dalam penculikan 1998 perna bertugas di
Dili, Timor-Timur, sebelum Pemilu 1997 dan pemilihan presiden 1998.
Mereka tahu bahwa perwira-perwira tersebut adalah perwira-perwira
Kopassus. Yang juga diketahui adalah beberapa perwira ini berkantor di
kantor SGI.4
Sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Timor-Timur bahwa
penculikan dan penghilangan paksa merupakan metode kerja intelijen
Indonesia di sana. Mungkinkah para perwira yang terlibat dalam
penculikan ini sengaja ditarik dari tempat tugasnya di Timor-Timur, lalu
ditugaskan di Jakarta? Jika benar ini adalah sebuah sattis di
bawah Kopassus, pertanyaannya adalah: siapa yang membentuk? Kepada siapa
tim ini bertanggungjawab? Bagaimana aliran komandonya?
Pertanyaan kedua yang sama pentingnya adalah seberapa besarkah tim
ini? Yang kita ketahui dari proses peradilan adalah bahwa hanya ada
delapan perwira pertama dan tiga bintara yang terlibat dalam penculikan.
Komposisi terlihat sangat janggal mengingat banyaknya perwira dan
sedikitnya prajurit yang terlibat. Ada juga spekulasi yang mengatakan
bahwa sebenarnya jumlah anggota tim ini sebenarnya lebih besar daripada
yang diungkap di pengadilan.
Terlalu banyak misteri yang meliputi tim ini. Namun, satu hal yang
jelas, pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan dan perbuatan yang
dilakukan tim ini tidak pernah dijawab dengan jelas.
Perwira-Perwira Terkait
Seperti yang kita ketahui, beberapa perwira yang terkait dengan Tim
Mawar sudah menjalani hukuman. Mereka yang menanggung hukuman paling
berat adalah para perwira pertama. Sementara, di level perwira tinggi
dan menengah, hukuman maksimal yang dijatuhkan adalah pemberhentian dari
dinas militer, ini dilakukan terhadap Prabowo Subianto. Atasan langsung
dari tim penculik-Muchdi Pr. Dan Chairawan-hanya dibebaskan dari
jabatannya. Muchdi Pr. dibebaskan dari jabatannya sebagai Komandan
Jendral (Danjen) Kopassus dan Chairawan dibebastugaskan dari jabatannya
sebagai komandan Grup-4/Sandi Yudha. Sementara itu, pelaku langsung di
lapangan, Mayor Inf. Bambang Kristiono, dihukum dua puluh dua bulan
penjara dan dipecat dari dinas militer.
Selain Prabowo Subianto, yang saat ini menjadi calon presiden RI 2014-2019, ke manakah perwira-perwira itu sekarang?
1. Muchdi Purwopranjono(Akmil 1970)
Muchdi menamatkan kariernya dengan pangkat mayor Jenderal. Lulusan
Akmil 1970 ini kembali ke dunia intelijen setelah diberhentikan sebagai
komandan Kopassus. Muchdi dikenal sebagai Direktur V Badan Intelijen
Nasional (BIN) yang membawahi keamanan dalam negeri. Pada masa jabatan
itulah, Muchdi kembali terkenal karena diduga mendalangi pembunuhan
aktivis HAM Munir bin Thalib. Muchdi sempat ditahan, tetapi lewat proses
pengadilan yang sangat kontroversial, dia dibebaskan dari semua
tuduhan.5
Bersama Prabowo Subianto, Muchdi terlibat dalam mendirikan partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), pada tahun 2006. Namun, dia
meninggalkan Gerindra pada awal 2012, lalu memilih bergabung dengan PPP.
Langkahnya meninggalkan Gerindra ini mengejutkan banyak pihak, karena
tidak terlihat adanya konflik atau perselisihan antara Muchdi dengan
Prabowo. Spekulasi yang menguar di banyak orang adalah Muchdi
meninggalkan Gerindra agar dapat ‘menggarap PPP’ guna kepentingan
Prabowo di dalam pemilihan presiden 2014.6 Muchdi juga
bermanuver agar bisa duduk sebagai ketua umum PPP, tetapi gagal. Di
dalam PPP sendiri, sebenarnya juga sudah ada Kivlan Zen, yang menjabat
sebagai Kepala Staf Kostrad semasa Prabowo menjadi Pangkostrad. Kivlan
juga dikenal sebagai loyalis Prabowo.
Selain di PPP, Muchdi juga aktif di Muhammadiyah. Pada saat Muktamar
Muhammadiyah 2010, ia berusaha untuk duduk dalam susunan Pengurus Pusat
(PP) Muhammadiyah. Namun dia gagal lagi. Di dalam Muhammadiyah, Muchdi
menjadi ketua organisasi silat Tapak Suci Putera Muhammadiyah. Dia
bergabung dengan organisasi ini sejak 1963, sebelum terjun ke dunia
militer. Menariknya, Tapak Suci juga bergabung di dalam Ikatan Pencak
Silat Indonesia (IPSI), yang di dalamnya memuat Prabowo Subianto sebagai
anggotanya. Keterlibatan Muchdi di dalam organisasi-organisasi Islam
membuat orang menduga bahwa dia sebenarnya adalah ‘kaki Prabowo’ di
dalam ormas-ormas Islam.
Selain aktif sebagai politisi, Muchdi juga menjadi komisaris
perusahaan kehutanan, yakni PT. Rizki Kacida Reana. Perusahan ini
memiliki beberapa konsesi hutan sebesar kurang lebih tiga puluh ribu
hektare di beberapa wilayah di Kalimantan Timur.7 Perusahan
ini dimiliki oleh Epi S. Daskian yang sekaligus menjadi CEO. Muchdi dan
Epi S. Daskian sama-sama duduk dalam organisasi alumni PII (Pelajar
Islam Indonesia).8
2. Chairawan Kadarsyah Nusyirwan (Akmil 1980)
Ketika kasus penculikan pecah ke permukaan, Kol. Inf. Chairawan
menjabat sebagai komandan Grup-4/ Sandi Yudha Kopassus. Akibatnya,
Chairawan dicopot dari kedudukannya sebagai komandan. Dia ‘diparkir’ di
Mabes AD, namun itu tidak berlangsung lama. Dia kemudian menjadi perwira
di Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.
Chairawan besar di lingkungan Kopassus, khususnya Sandi Yudha. Sandi
Yudha adalah bagian dari Kopassus yang bertugas untuk mengumpulkan data
intelijen tempur (combat-intelligence). Namun, dalam pelaksanaannya, Sandi Yudha juga melakukan tugas-tugas penggalangan (mobilization) dan perang urat-syaraf (psychological warfare).
Narasumber yang diwawancarai untuk tulisan ini menginformasikan bahwa
Chairawan bertugas sebagai komandan SGI (Satuan Gugus Intelijen) di
Timor Timur, sebelum dia menjadi Komandan Grup-4. Sebagai komandan SGI,
dia mengendalikan semua operasi intelijen Kopassus di wilayah itu.
Namun, sebagaimana yang terjadi dalam operasi-operasi militer di
Indonesia, Kopassus memiliki keistimewaan sebagai pasukan elite. Mereka
kerap beroperasi sendiri tanpa pengetahuan dan kendali dari
komandan-komandan militer tingkat lokal. Itulah yang membuat SGI,
kadang-kadang, melakukan tindakan tanpa sepengetahuan komandan lokal.
Di BAIS, Chairawan banyak menangani Aceh. Pada tahun 2004, dia
terlihat mendampingi delegasi Uni Eropa yang memantau gencatan senjata
antara Republik Indonesia dan pihak Gerakan Aceh Merdeka.9
Namanya muncul lagi ke permukaan ketika diangkat menjadi komandan Korem
011/Lilawangsa, yang dijabatnya lebih dari setahun (30 Januari 2005
hingga 29 Mei 2006. Setelah itu, Chairawan kemudian mendapat promosi ke
pangkat Brigadir Jenderal dan dipindah menjadi Kepala Pos Wilayah
(Kaposwil) Badan Intelijen Nasional di Aceh.10 Jabatan
sebagai orang intelijen nomor satu di Aceh dipegangnya kira-kira selama
dua tahun sebelum dia dimutasi ke Mabes TNI. Namanya muncul kembali
dalam pusaran perpindahan jabatan di TNI pada bulan Mei 2010. Kali ini
ia diangkat menjadi Kepala Dinas Jasmani TNI-AD (Kadisjasad). Karier
selanjutnya ia menjabat sebagai staf ahli BIN.11 Chairawan pensiun dengan pangkat mayor jenderal.
Segera setelah pensiun, Chairawan menjabat sebagai Komisaris PT Cowell Development Tbk, sebuah perusahan pengembang (real estate)
yang dimiliki publik dan terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI). PT
Cowell banyak membangun perumahan di pinggiran Jakarta, Tangerang, dan
saat ini melebarkan sayap hingga ke Kalimantan Timur.12
Tidak terlalu sulit diduga ke mana orientasi politik Chairawan
disalurkan sesudah pensiun dari tentara. Tanpa menunggu terlalu lama, ia
bergabung ke Gerindra dan langsung diangkat menjadi anggota Dewan
Pembina partai.13 Dia juga menjadi ketua dewan pembina sebuah
organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bernama Solidaritas Rakyat
Peduli Indonesia (Sorpindo).14 Dalam kampanye Pemilihan Umum
legislatif 2014, Chairawan sangat aktif berkampanye untuk Gerindra di
daerah yang telah lama menjadi spesialisasinya, Aceh.
3. Bambang Kristiono (Akmil 1985)
Bambang Kristiono adalah bekas komandan Batalion 42, Grup-4/Sandi
Yudha Kopassus pada 1998. Dia juga salah satu komandan ‘Tim Mawar.’
Setidaknya, itulah yang diakuinya di depan pengadilan militer. Kristiono
mengambilalih semua tanggung jawab penculikan aktivis, dan dengan
demikian, ia membebaskan semua komandan yang waktu itu menjadi atasannya
dari tuntutan hukum. Bambang Kristiono menanggung beban ini sendirian.
Dia satu-satunya yang dipecat dari kesatuan militer ditambah hukuman
penjara selama dua puluh dua bulan.
Seandainya Bambang Kristiono tidak terlibat dalam penculikan itu, dia
mungkin sudah menjadi jenderal. Rekan-rekan seangkatannya, yang juga
berkarier di Kopasus, seperti Doni Munardo dan (alm.) I Made Agra
Sudiantara, saat ini sudah menyandang pangkat Mayor Jenderal. Saat ini
Mayjen Doni Munardo kini adalah Komandan Pasukan Pengawal Presiden
(Paspamres) dan alm. Mayjen I Made Agra Sudiantara sebelum meninggal
menjabat sebagai komandan Pusat Persenjataan Infantri (Pussenif).
Setelah dipecat, hidup Bambang Kristiono tergantung pada belas
kasihan Prabowo Subianto. Dia diberi pekerjaan sebagai direktur utama PT
Tribuana Antar Nusa.15 Awalnya Perusahan ini adalah milik Yayasan Kobame (Korps Baret Merah) yang didirikan pada tahun 1993.16
Kini, ia menjadi anak perusahan dari Nusantara Energy Group milik
Prabowo Subianto, yang bergerak di bidang transportasi. Perusahan ini
memiliki kapal feri yang melayani penyeberangan Merak-Bakauheni dan
melayani jasa transportasi untuk pengeboran minyak.
Bambang Kristiono juga bekerja sebagai operator politik Prabowo.
Dialah yang menghubungi Pius Lustrilanang, seorang korban penculikan Tim
Mawar , lalu mengajaknya bergabung ke Gerindra.17 Pada 2009,
Bambang juga aktif dalam tim kampanye Megawati-Prabowo. Saat itu, dia
bertugas sebagai tim kunjungan dan penyelenggara event.
4. Fausani Syahrial Multhazar18 [Akmil 1988]
Dalam kasus penculikan, Multhazar mengaku sebagai wakil komandan Tim
Mawar. Pangkatnya saat itu adalah kapten. Beberapa korban penculikan
mengenalinya dengan nama samaran ‘Bobby.’ Pada persidangan di Mahkamah
Militer, dia dijatuhi hukuman 22 bulan penjara, lalu dipecat dari dinas
militer. Namun di tingkat banding, keputusan ini diubah menjadi 36 bulan
penjara tanpa pemecatan dari dinas militer.
Karier militer Multhazar pun berlangsung normal. Namanya tertera pada
daftar siswa yang mengikuti Dikreg Seskoad (Pendidikan Reguler di
Sekolah Staf dan Komando TNI-AD) pada tahun 2003. Pada saat mengikuti
pendidikan ini dia sudah menyandang pangkat mayor. Tidak diketahui ke
mana dia setelah mengikuti pendidikan ini. Namun, namanya kembali
menghiasi media media saat menjabat sebagai Komandan Kodim (Dandim)
0719/Jepara (24 Juli 2006–Mei 2008).
Setelah dua tahun menjabat sebagai Dandim, Multhazar dipindahkan
menjadi Kasrem 173/Prajavirabraja di Biak. Tidak diketahui berapa lama
dia menjabat sebagai Kasrem (paling lama biasanya dua tahun) dan ke mana
dia setelah lepas dari jabatan itu. Posisinya yang terakhir adalah
sebagai Kepala Bagian Pengamanan Biro Umum Setjen Kemhan,19 dengan pangkat kolonel.
5. Drs. Nugroho Sulistyo Budi (Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM, angkatan 1985)
Di antara semua perwira yang terlibat dalam kasus penculikan aktivis,
Nugroho Sulistyo Budi barangkali adalah figur yang paling menarik. Dia
adalah satu-satunya perwira yang bukan tamatan Akademi Militer (Akmil).
Ia belajar ilmu politik di jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu-ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1985
dan lulus tahun 1990.20 Tidak diketahui apakah Nugroho masuk dinas militer selama menjalani pendidikan di UGM atau setelah lulus kuliah. 21 Juga tidak diketahui bagaimana dia masuk ke dalam Kopassus dengan perjalanan karier yang boleh dibilang mengesankan.22
Beberapa narasumber yang dihubungi untuk penulisan artikel ini
mengatakan cukup terkejut ketika mengetahui bahwa yang bersangkutan
adalah perwira militer, dan terlebih lagi perwira Kopassus yang terkait
dengan kasus penculikan aktivis. Sebagian mengenangnya sebagai penari
Jawa yang handal. Sementara yang lain mengenangnya sebagai ‘Michael
Jackson-nya Fisipol’ karena rambutnya yang ikal dan kulitnya yang gelap.
Dia memang sangat mirip dengan Michael Jackson, raja musik pop itu.
Beberapa tahun setelah tamat dari UGM, Nugroho terlihat sebagai
perwira SGI di Timor Timur. Beberapa orang yang mengenalnya mengatakan
bahwa dia ‘sangat berubah’ ketika bertugas di Timor Timur.
Organisasi-organisasi dan pengamat HAM memang mencatat bahwa sejak tahun
1991, khususnya sejak peristiwa Santa Cruz, militer Indonesia memakai
metode penculikan dan penyiksaan untuk mengontrol gerakan
aktivis-aktivis kemerdekaan Timor Timur.23
Seperti halnya perwira-perwira lain yang terlibat penculikan, Nugroho
pun mengajukan banding atas hukuman yang dijatuhkan krpadanya.
Akhirnya, ia dihukum 36 bulan penjara tanpa pemecatan. Tidak ada catatan
ke mana dia setelah menjalani hukuman. Kemungkinan dia tetap berada di
Kopassus. Namanya muncul kembali sebagai lulusan Seskoad (Sekolah Staff
dan Komando TNI-AD) tahun 2005. Ini berarti dia telah mulai pendidikan
setahun sebelumnya. Setelah pendidikan di Seskoad, Nugroho agaknya
kembali bertugas sebagai staf intelijen di Kopassus. Namanya muncul
sebagi peserta pada Asean Regional Forum (ARF) Conference on Terrorist Use of Internet, di Bali 6-8 November 2008, dan saat itu diketahui kalau dia sudah berpangkat letnan kolonel.
Karier Nugroho semakin menanjak ketika dia diangkat menjadi Komandan
Kodim 0733-BS Semarang (4 Sept. 2009 – April 2011). Sekali pun
kadang-kadang menjadi sorotan karena masa lalunya, Nugroho dikategorikan
berhasil dalam menjalani jabatan sebagai Dandim.24 Setelah
menjadi Dandim, Nugroho dikabarkan bertugas di Badan Intelijen Negara
(BIN), lalu pangkatnya pun naik satu tingkat menjadi kolonel.25
6. Yulius Selvanus[Akmil 1988]
Di antara semua anggota Tim Mawar, Yuliuslah yang mungkin paling
misterius. Selepas menjalani ‘hukuman’, dia kembali ke Kopassus. Pada
2002, ada yang menyaksikan dia berada di Pusdik (Pusat Pendidikan)
Kopassus di Batujajar dengan pangkat mayor.26 Tidak diketahui
ke mana kariernya beranjak setelah itu. Hanya saja, pada 2004 dia
menamatkan pendidikan di Seskoad. Tidak ada informasi apakah setelah itu
Yulius masuk ke jalur territorial sebagaimana lazimnya perwira TNI-AD
yang lulus dari Seskoad. Namanya kembali muncul pada 2009 sebagai Wakil
Komandan Grup-1 Kopassus di Serang.27 Diduga, Yulius Selvanus sekarang bertugas di sebagai perwira di BAIS dengan pangkat kolonel.28
7. Untung Budiharto[Akmil 1988]
Berkebalikan dengan Yulius, karier Untung Budiharto terlihat paling
transparan di antara semua perwira yang terlibat penculikan. Sebuah
berita kecil yang dimuat oleh media online Detik.com29 menyatakan bahwa Untung sudah menjalani penuh hukumannya 32 bulan di penjara.30
Hal itu dinyatakan oleh Kepala Penerangan Kodam XVI Pattimura, Mayor
Sukrianto Puluhulawan yang menyampaikan cerita versi Untung kepada
wartawan. Saat wawancara itu diberikan (16 Mei 2007), Untung memang
sedang bertugas di lingkungan Kodam XVI Pattimura, sebagai Kepala Staf
Korem 151/Binaiya di Ambon. “Selama Sembilan bulan saya ditahan di
Puspom, sisanya di Cimahi, Jawa Barat,” tutur Untung, seperti
diceritakan kepada Kapendam XVI Pattimura. Usai menjalani hukuman,
Untung Budiharto yang ketika itu masih berpangkat Kapten, langsung
dipindahkan ke Ambon. Dia ditempatkan sebagai komandan intel Kodam XVI
Pattimura. Itu terjadi pada tahun 2003.31 Pada tahun 2004, Untung diberi tugas baru sebagai Komandan Batalion 733/Masariku dengan pangkat Mayor.
Karier Untung melesat bak meteor selepas dia menjalani hukuman
‘penjara.’ Namun, cerita menjadi agak membingungkan ketika fakta lain
muncul. Untung Budiharto tercatat dalam daftar lulusan Seskoad pada
tahun 2002.32 Jika Untung mulai ditahan pada bulan Februari
1999, dijatuhi hukuman dua bulan kemudian, maka dengan hukuman 30 bulan,
kemungkinan dia bebas dari penjara adalah pada Agustus 2001. Maka,
sangat mengherankan karena hanya dalam waktu lima bulan kemudian dia
sudah menjadi perwira siswa Seskoad.33
Dari komandan batalion, Untung meningkat menjadi komandan Kodim
1504/Pulau Ambon dan pulau-pulau Lease yang berkedudukan di Kota Ambon.
Jabatan ini diembannya selama kurang dari dua tahun (2005-2006). Pada
2007, dia menjadi kepala staf Korem 151/Binaiya, juga di kKota Ambon.
Karier selanjutnya untuk Untung adalah kembali ke basis semula,
Kopassus.
Pada Juni 2009, dia diangkat menjadi asisten perencanaan (Asren) Kopassus.34
Jabatan ini diembannya hanya selama sembilan bulan. Pada Maret 2010,
dia kembali dimutasi menjadi dosen di Seskoad. Jabatan selanjutnya
adalah sebagai Pamen Ahli Kopassus Golongan IV Bidang Taktik
Parakomando, sebagai staf pengajar di Pusat Pendidikan Kopassus di
Batujajar. 35 Bulan April 2012, Untung Budiharto kembali
dipindah menjadi komandan Resimen Induk (Rindam) Kodam IV/Diponegoro.
Tugas dari Rindam adalah mendidik warga negara biasa yang ingin menjadi
prajurit-prajurit TNI. Pada saat ini, pangkatnya sudah naik menjadi
kolonel. Saat ini, Kol. Inf Untung Budiharto menjabat sebagai komandan
Korem 045/Garuda Jaya36 yang berkedudukan di Provinsi Bangka dan Belitung.
Perjalanan karier Untung Budiharto tampaknya mulus-mulus saja.
Jenjang kepangkatan yang dia capai saat ini sejajar dengan jenjang
kepangkatan rekan-rekan satu angkatan di Akmil 1988 (a). Pada tahun ini,
beberapa lulusan angkatan tersebut diperkirakan akan masuk ke jenjang
bintang satu (brigadir jenderal). Hanya satu langkah lagi bagi Untung
untuk menjadi jenderal.
8. Dadang Hendra Yuda (Akmil 1988)
Kapten Inf. Dadang Hendra Yudha menjabat sebagai Komandan Detasemen
III Batalion 42 Kopassus pada waktu penculikan itu terjadi. Dalam
pengadilan banding, Dadang dikenakan hukuman satu tahun empat bulan
(enam belas bulan) atas keterlibatannya dalam penculikan itu.
Beberapa bulan setelah bebas dari hukuman pidana itu, Dadang segera
masuk ke Seskoad. Dia tamat Seskoad pada 2001 dan pangkatnya saat itu
adalah mayor. Dengan demikian, lagi-lagi, kita dihadapkan pada
teka-teki, mengapa perwira yang sudah terbukti melakukan tindak kriminal
dan diputus oleh pengadilan, bisa dengan cepat mendapat kenaikan
pangkat, bahkan diijinkan untuk melanjutkan pendidikan untuk
meningkatkan karier militernya?
Tidak banyak yang kita ketahui ke mana Dadang setelah selesai
menjalani pendidikan di Seskoad. Namun, namanya kembali menghiasi media
massa pada tahun 2007, ketika didapati dia menjadi Komandan Kodim
0801/Pacitan, Jawa Timur, dengan pangkat Letkol. Dadang dua kali
menjabat sebagai Dandim. Pada Juli 2008, dia dipindah menjadi Dandim
Kodim 0813/Bojonegoro.37
Setelah menjadi Komandan Kodim (Dandim), Dadang diangkat menjadi
Kepala Staff Brigade Infantri 16/Wira Yudha [Kas Brigif 16/Wira Yudha].38
Posisi Dadang terakhir yang terlacak adalah sebagai Kasubdit
Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) [2014].39 Di posisi ini, ia sudah menyandang pangkat kolonel.40
9. Djaka Budi Utama [Akmil 1990]
Dalam proses banding hukuman atas keterlibatannya dalam penculikan,
Djaka Budi Utama tetap dihukum satu tahun empat bulan. Tidak diketahui
dimana dia bertugas setelah menjalani hukuman. Lama menghilang, pada
tahun 2007 namanya muncul kembali sebagai Komandan Batalion 115/Macan
Leuser di Aceh Selatan. Batalion ini didirikan pada tanggal 6 Desember
2004. Djaka Budi Utama adalah Komandan Batalion yang pertama dan
menjabat cukup lama hingga diganti pada 29 Juni 2007.41
Djaka Budi Utama menyelesaikan pendidikan di Seskoad pada tahun 2004.
Kemungkinan dia langsung menjadi komandan batalion selepas pendidikan
itu. Kariernya semakin menanjak dengan jabatan baru sebagai Komandan
Kodim 0908/Bontang, Kalimantan Timur. Dia menduduki jabatan strategis di
kota kaya minyak ini hingga 27 Juli 2011. Pangkatnya pun naik menjadi
letnan kolonel.
Pada 31 Juli 2012, Letkol Inf. Djaka Budi Utama diangkat menjadi
Asisten Intelijen Kasdam Kodam Iskandar Muda, Nangroe Aceh Darrusalam.
Jabatan ini membawanya kembali ke Aceh, tempat dia lama bertugas.42 Dia dimutasi dari jabatan Asintel pada 26 Maret 2014,43
hanya sebulan menjelang pemilihan legislatif dan empat bulan menjelang
pemilihan presiden. Tidak diketahui dimana selanjutnya dia bertugas.
10. Fauka Noor Farid [Akmil 1992]
Fauka adalah perwira termuda dari semua perwira yang terlibat dalam
kasus penculikan. Namun, seperti halnya dengan Yulius Selvanus, tidak
banyak data tentang dirinya yang muncul ke permukaan. Tidak diketahui ke
mana dia setelah ditahan. Namanya muncul di media pada tahun 2005 saat
menjadi Komandan Detasemen Pemukul Satu Raider di Aceh.44 Saat itu, Fauka sudah berpangkat mayor.
Juga tidak diketahui apakah Fauka pernah menjadi perwira siswa di
Seskoad. Namanya tidak ada dalam daftar lulusan alumni Seskoad. Dia juga
tidak terlihat pernah menjadi komandan di satuan-satuan teritorial
TNI-AD. Namun, sedikit keterangan tentang dirinya muncul dalam satu
putusan Mahkamah Agung RI. Dalam keputusan atas perkara kepemilikan
senjata api secara illegal yang melibatkan tertuduh yang bernama
Harmonis Siaga Putra, Fauka diajukan sebagai saksi di pengadilan.
Terdakwa, yang adalah seorang politisi lokal di Kotabumi, Lampung,
memiliki senjata api, tetapi tidak memiliki surat ijin yang sah, yang
dikeluarkan oleh kepolisian. Namun, ternyata terdakwa memiliki surat
izin yang dikeluarkan oleh BAIS dan ditandatangani oleh Letkol. Inf.
Fauka Noor Said. Dari putusan pengadilan itu, diketahui bahwa Fauka
pernah menjabat sebagai Dan Sus Pa Intel BAIS (2009 – Agustus 2011) dan
setelahnya menjabat sebagai Kepala Kelompok Khusus (Kopaksus) BAIS
(Agustus 2011 – ?).45
Setelah itu, Fauka seolah lenyap ditelan bumi. Namun, diam-diam, dia
muncul kembali sebagai orang sipil. Namanya tertera sebagai Juru
Kampanye Nasional Partai Gerindra untuk Pemilu 2014 dalam daftar juru
kampanye yang disahkan oleh KPU.46 Ketua Bidang Komunikasi
dan Informasi DPP Partai Gerindra, Ondy A. Saputra, yang dihubungi untuk
kepentingan tulisan ini membenarkan bahwa Fauka memang anggota Gerindra
dan menjadi juru kampanye nasional partai itu. Menurut Ondy, Fauka
sudah ‘pensiun’ dari dinas militer sejak dua tahun lalu.47
Karier, The Aceh Connection, dan Prabowo Subianto
Apa yang bisa kita simpulkan dari perjalanan karir militer para
perwira-perwira ini? Paling tidak, ada empat hal yang bisa ditarik dari
perjalanan karier mereka.
1. Hukuman pidana tidak berpengaruh terhadap karier dalam militer
Tujuh orang perwira yang dihukum karena penculikan ini ternyata tidak
mengalami gangguan berarti dalam mengembangkan karier militernya.
Beberapa dari mereka memiliki karier militer yang sangat maju dan laju
kenaikan pangkatnya di atas rata-rata kawan-kawan seangkatannya.
Taruhlah, misalnya, karier militer Kol. Inf. Untung Budiharto. Dia
menjalani karier militer yang sangat lengkap: sebagai komandan batalyon,
komandan territorial (Dandim dan sekarang Danrem), menjadi perwira
staff (Asren Kopassus), dan menjadi pengajar di Seskoad serta di
Kopassus. Dalam tradisi militer Indonesia, mutasi dan promosi yang
ditapak oleh Untung Budiharto adalah jalur mutasi dan promosi ke jenjang
jenderal. Tidak mengherankan jika Untung kemudian akan muncul di
jajaran elite TNI-AD.
Empat perwira yang lulus dari angkatan 1988 (Multhazar, Untung,
Yulius, dan Dadang) semuanya menyandang pangkat kolonel. Bahkan Drs.
Nugroho Sulistyo Budi, yang masuk dari luar jalur Akmil, juga sudah
menyandang pangkat kolonel. Yang lebih penting lagi, mereka adalah
kolonel-kolonel senior yang masih jauh dari usia pensiun.48 Mereka tinggal selangkah lagi akan memasuki jenjang jenderal.49
Apakah cepatnya laju karir militer para perwira ini adalah sesuatu
yang wajar di dalam militer Indonesia? Agaknya tidak. Ini adalah sebuah
kekecualian. Perwira-perwira yang pernah dihukum karena melakukan tindak
kriminal biasanya langsung ‘masuk kotak.’ Karirnya tidak akan
berkembang, lalu dia dipindah ke pos-pos yang tidak penting. Namun, ada
perwira-perwira yang sekalipun dijatuhi hukuman kriminal berdasarkan
hukum militer tetap mendapatkan promosi karena dianggap sedang
‘menjalankan tugas negara.’
Hal ini terjadi tidak dalam kasus penculikan saja. Para perwira yang
dipidana karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap tokoh adat Papua
Theys Hiyo Eluay pada 2001, ternyata terus mendapatkan promosi jabatan.
Letkol . Inf. Hartomo (Akmil 1986), yang pada saat itu menjabat sebagai
komandan Satgas Tribuana, sekarang sudah menyandang pangkat brigadir
jenderal dan saat ini menjabat sebagai Komandan Pusat Intel Angkatan
Darat (Danpusintelad). Hartomo adalah salah satu dari dua orang pertama
di angkatannya yang mencapai pangkat Brigjen. Perwira lainnya adalah
Bigjen TNI Hinsa Siburian, lulusan terbaik Akmil 1986, yang sekarang
menjabat sebagai Kasdam Kodam XVII/Cendrawasih. Terdakwa lain, Mayor TNI
Donny Hutabarat (Akmil 1990), sempat menjabat sebagai Komandan Kodim
0201/BS di Medan, dan sekarang menjabat sebagai Waasintel Kasdam Kodam
I/Bukit Barisan. Donny Hutabarat dipromosikan menjadi Waasintel ketika
Mayjen TNI Lodewijk Paulus, mantan Danjen Kopassus, menjabat sebangai
Pangdam I/Bukit Barisan. Sementara, Kapten Inf. Agus Supriyanto (Akmil
1991), yang juga terlibat dalam pembunuhan itu, sempat menduduki jabatan
sebagai komandan Batalion 303/Kostrad. Perwira terakhir yang terlibat
dalam pembunuhan Theys adalah Lettu Inf. Rionardo (Akmil 1994). Sekarang
dia diketahui menjabat sebagai Paban II Srenad di Mabes TNI-AD.
Semua kecenderungan ini memperlihatkan impunitas para perwira TNI
dalam perkara-perkara kriminal yang melibatkan tugasnya sebagai militer.
Persepsi yang berkembang di dalam TNI, semua kejahatan tersebut
dilakukan sebagai bagian dari ‘tugas negara’ dan penyelewengan dari
tugas tidak dengan serta merta menjadikan perwira-perwira itu tidak
cakap sebagai militer. 50
Tidak ada yang lebih tepat menggambarkan kecenderungan sikap TNI
terhadap perwira-perwiranya yang secara terang-terangan melanggar HAM,
ketimbang sikap mantan KSAD Jendral Ryamizard Ryacudu. Jendral yang
pernah santer disebut akan menjadi calon wakil presiden untuk Jokowi
ini, ketika menanggapi hukuman terhadap anggota TNI yang membunuh Theys,
dengan gamblang mengatakan bahwa mereka adalah ‘pahlawan.’51
Penyelidikan secara mendalam terhadap perjalanan karir
perwira-perwira ini juga mengungkapkan bahwa hukuman pidana yang mereka
terima adalah bagian dari karir militer mereka. Dengan mudah mereka
mendapat promosi setelah hukuman itu habis masanya.
2. Karir Intelijen
Menjadi prajurit Sandi Yudha sama artinya dengan menjadi intelijen.
Kenyataannya adalah semua perwira yang terlibat penculikan ini adalah
perwira-perwira intelijen. Pertanyaannya adalah: layakkah mereka terus
diberi kepercayaan untuk terus berkarya di dunia intelijen, yang dalam
konteks Indonesia, sangat sulit pertanggungjawabannya itu?’ Empat dari
delapan perwira yang terlibat dalam penculikan (Yulius, Nugroho, Dadang,
dan Fauka) terus bergelut dalam dunia intelijen.
Kasus pembunuhan Munir mengajarkan bahwa dinas intelijen bisa dengan
gampang digunakan untuk kepentingan pribadi. Memang tidak mungkin untuk
mengharapkan transparansi dari dunia intelijen, tetapi bagaimana pun
juga dunia intelijen itu haruslah accountable (bisa dipertanggungjawabkan). Bisakah diharapkan accountability dari perwira-perwira yang sudah terbukti dipengadilan melakukan tindakan-tindakan pidana yang tercela?
Kalau pun tujuannya adalah memberikan ‘kesempatan kedua’ untuk
perwira-perwira ini, tidakkah lebih baik mereka diberikan tempat pada
institusi-institusi yang transparan untuk publik?
3. The Aceh Connection?
Hal yang juga menarik untuk diamati, sebagian besar perwira-perwira
yang terkait dengan penculikan ini juga memiliki karier yang terkait
dengan Aceh. Chairawan menangani Aceh saat dia di BAIS, menjadi Danrem
di sana, kemudian menjabat sebagai Kaposwil BIN. Perwira lain yang juga
berkarier di Aceh adalah Djaka Budi Utama, yang mulai sebagai Komandan
Batalion dan terakhir menjabat sebagai Asisten Intelijen Kodam Iskandar
Muda. Fauka Noor Farid juga pernah bertugas di Aceh sebagai komandan
pasukan detasemen pemukul (Denkul). Mengingat gejolak di Aceh sebelum
perjanjian Helsinki, besar kemungkinan perwira-perwira yang lain juga
bertugas di Aceh.
Bagi tiga orang ini, Aceh tentu bukan medan yang asing. Yang kemudian
menarik untuk diperhatikan adalah bahwa partai lokal yang berkuasa di
Aceh, Partai Aceh, dalam pemilihan umum legislatif 2014 memilih
berkoalisi dengan Gerindra. Chairawan pun aktif berkampanye di Aceh.[53]
Djaka Budi Utama, bekas anak buah Chairawan di Grup-4/Sandi Yudha
bahkan menjabat Asintel Kodam dan hanya diganti sebulan sebelum
pemilihan umum legislatif. Kedua orang ini pastilah sangat mengetahui
situasi sosial politik serta konfigurasi kekuasaan di Aceh. Adakah
orang-orang ini juga membantu terbangunnya koalisi aneh antara Partai
Aceh dan Gerindra? Mungkin sejarah yang akan lebih mampu menjawab
pertanyaan ini.
4. Patronase Prabowo?
Umumnya, ikatan antara komandan dengan anak buah sangat erat,
sekalipun diikat oleh tali komando yang ketat. Mereka mengalami suka
duka bersama di medan pertempuran. Namun, untuk konteks Indonesia,
hubungan komandan dan anak buah bisa meningkat menjadi hubungan
patronase. Komandan menjadi jalur untuk promosi ke jenjang kepangkatan
lebih tinggi atau mutasi ke tempat-tenpat yang prestisius. Komandan juga
menjamin kehidupan anak buahnya secara ekonomis.
Prabowo menjadi tipikal seorang komandan yang juga seorang patron.
Sebagai menantu presiden, dia jelas memiliki jalur ke lingkaran paling
elite di negeri ini. Dia juga memiliki akses ke sumber ekonomi yang
nyaris tak terbatas. Yayasan Kobame (Korps Baret Merah) mencapai puncak
kejayaannya ketika Prabowo masih di dalam Kopassus. Yayasan itu boleh
jadi sudah bubar, tetapi beberapa perusahan di bawah Kobame akhirnya
diambilalih oleh Prabowo. Dia ‘menghidupi’ beberapa mantan prajurit dan
perwira Kopassus.
Kesetiaan bekas anak buah Prabowo juga tidak diragukan. Muchdi Pr.
mendirikan Gerindra bersama Prabowo. Meskipun ia keluar, diragukan bahwa
Muchdi sebenarnya berseberangan dengan Prabowo, adik kelas yang
kemudian menjadi patronnya itu. Chairawan langsung bergabung dengan
Prabowo begitu pensiun dari dinas tentara. Demikian juga dengan Bambang
Triono. Dan terakhir, Fauka Noor Farid juga bergabung dengan partai
politik bikinan Prabowo, Gerindra.
Kita tidak tahu apakah perwira-perwira yang masih berdinas aktif
masih menjaga hubungan dengan Prabowo. Mungkin juga tidak. Namun,
melihat postur Prabowo saat ini dalam politik Indonesia, tidak terlalu
mengherankan juga kalau mereka–dan juga perwira-perwira lain yang pernah
menjadi anak buahnya–masih menjaga hubungan dengan Prabowo, sekalipun
tidak secara formal.
Akhirnya …
Seperti yang dikatakan di atas, semua hal yang kita ketahui dari para
perwira yang pernah melakukan penculikan ini memunculkan lebih banyak
pertanyaan ketimbang jawaban. Namun, ada satu hal yang tegas dan jelas,
yakni para perwira ini masih bisa menikmati karier militer yang sangat
bagus sekalipun telah melakukan perbuatan pidana yang tercela.***
Oleh Made Supriatma, penulis adalah peneliti masalah-masalah politik militer dan jurnalis lepas
(freelance). Tulisannya pernah muncul di Prisma, Jurnal
Indonesia, dan
Inside Indonesia.
————–
1Kapten Inf. Fausani Syahrial Multhazar (Wadan Tim Mawar)
diubah hukuman dari dua pulub bulan penjara serta dipecat menjadi tiga
tahun penjara saja; Kapten Inf. Nugroho Sulistyo, Kapten Inf. Yulius
Stevanus, Kapten Inf Untung Budi Harto diubah hukuman dari dua puluh
bulan penjara dan dipecat menjadi dua tahun sepuluh bulan penjara;
Kapten Inf. Dadang Hendra Yuda dan Kapten Inf. Djaka Budi Utama tetap
dihukum enam belas bulan penjara; Kapten Inf. Fauka Noor Farid juga
tetap dihukum satu tahun penjara.
2‘Hukuman’ di sini sengaja ditulis dengan tanda kutip
karena melihat semua proses peradilan dan pelaksanaan hukuman yang tidak
transparan. Ditambah lagi, para pelaku dan korps mereka–dalam hal ini
Kopassus dan pihak militer Indonesia–tidak pernah secara sungguh-sungguh
dan terbuka menyesali tindakan para prajurit ini. Di persidangan
tingkat pertama tampak bahwa pelaku-pelaku penculikan ini percaya bahwa
apa yang mereka lakukan itu benar. Kondisi psikologis yang sangat mirip
juga terjadi pada kasus penembakan tahanan sipil di Yogyakarta tahun
2013, yang terkenal dengan ‘kasus Cebongan’ itu. Para prajurit Kopassus,
sekalipun terbukti melakukan pembunuhan, tetap merasa diri tidak
bersalah dan pembunuhan itu dilakukan dalam skema ‘memberantas
premanisme.’
3Satgas Tribuana juga terlibat dalam peluluhlantakkan
Timor Timur setelah referendum. Ini terungkap dari pengadilan Ad Hoc
atas Dansatgas Tribuana Kopassus, Letkol Yayat Sudrajat. Selain nama
Tribuana, satgas-satgas ini juga kadang diberi nama lain seperti Satgas
Jaring Merah I dan II yang beroperasi di Aceh dan terkenal dengan
kebrutalannya. Di Papua, ada juga Satgas Maleo. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa operasi-operasi Kopassus kadang dilakukan tanpa koordinasi
dengan komandan-komandan lokal. Ketka terjadi peristiwa yang menimbulkan
krisis seperti pada pembunuhan pemimpin Papua Theis Hiyo Eluay tahun
2001, Pangdam setempat tidak mengetahuinya. Dengan demikian, menjadi
masuk akal bila personel dari apa yang dikenal sebagai Tim Mawar ditarik
dari Timor Timur tanpa pengetahuan Komandan Korem setempat atau
Panglima Komando Operasi (Pangkolaops) yang ada pada waktu itu.
4SGI adakah singkatan Satuan Gabungan Intelijen, yang
secara teoritis merupakan gabungan intelijen ketiga angkatan AD, AL, dan
AU. Dominasi Kopassus sangat kental di dalam SGI. Kadang, sulit
dibedakan antara SGI dan Kopassus karena perannya yang sangat dominan
itu. Di Dili, pada masa pendudukan Indonesia, kantor SGI di daerah
Colmera dan Farol terkenal sebagai tempat yang amat ditakuti.
5Nama Muchdi sempat disebut dalam kabel diplomatik AS yang
dibocorkan dalam WikiLeaks. Yang menarik, kabel itu memuat perbincangan
antara DepPol/C [seksi politik dari Kedubes AS di Jakarta] dengan
Bambang Hendarso Danuri yang memeriksa Muchdi. Danuri dikabarkan
mengatakan, ‘Muchdi punya kepribadian yang memungkinkan dia melakukan
pelanggaran HAM tanpa dia merasa bersalah.’
https://www.wikileaks.org/plusd/cables/08JAKARTA1761_a.html
6Lihat:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/11/04/14/ljniq3-agenda-tersembunyi-muchdi-pr-di-ppp
Dugaan ini semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa PPP merupakan partai
yang paling awal menyatakan dukungan terhadap Gerindra dan Prabowo.
Ketua PPP Suryadhrama Ali hadir dan berpidato di dalam pembukaan
kampanye Gerindra. PPP juga partai pertama yang menyatakan ingin
berkoalisi dengan Gerindra. Dalam perjalanannya, pernyataan koalisi ini
ditarik kembali karena ‘pemberontakan’ beberapa pengurus DPP PPP. Namun
pada akhirnya, PPP secara resmi memutuskan berkoalisi dengan Gerindra
dalam mengusung pencapresan Prabowo Subianto.
8Dalam kepengurusan Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar
Islam Indonesia 2011-2015, Muchdi duduk sebagai salah satu wakil ketua.
Wakil ketua yang lain adalah KH Cholil Ridwan. Sementara Epi S. Daskian
duduk sebagai ketua bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Ketua
organisasi ini adalah mantan ketua umum PAN, Soetrisno Bachir. Lihat
http://www.alumnipii.org/pengurus/pusat/dewanpengurus
9Lihat Davies
11Biografi singkat Chairawan muncul pada laporan tahunan PT Cowell Indonesia, lihat “Laporan Tahunan 2012”.
12Proyek-proyek perumahan PT Cowell, antara lain, Melati
Mas Residence, Serpong Park, dan Serpong Terrace, semuanya berlokasi di
Serpong; Westmark (apartemen di Tanjung Duren, Grogol, Jakarta Barat);
La Verde, kompleks perumahan di Central Business District (CBD) Serpong,
Tangerang Selatan dan terakhir perumahan Borneo Paradiso di Balikpapan.
Cowell juga aktif membuat bank tanah dengan pemilikan tanah tersebar di
Tangerang, Cikarang, hingga ke Balikpapan. Mengapa sebuah perusahan
swasta yang sudah go public mendudukkan seorang jenderal dengan
reputasi buruk dalam bidang HAM sebagai komisaris? Seorang pemerhati
masalah militer mengatakan bahwa ini mungkin terjadi karena perusahan
ini harus berurusan dengan banyak pembebasan tanah. Di dalam negara yang
kepastian hukumnya sangat lemah, banyak kasus pembebasan tanah
dilakukan dengan kekerasan. Seorang jenderal dengan latar belakang
intelijen dan memiliki jaringan yang luas di kalangan preman diperlukan
untuk menghadapi kasus-kasus pertanahan.
13Prabowo Subianto adalah ketua Dewan Pembina Gerindra.
15Nama Tribuana ini juga menarik karena ini adalah juga nama Satgas yang kerap dipakai Kopassus.
16Lihat Damien Kingsbury, Power Politics and The Indonesian Military, London: Routledge, 2003, pp. 203-204
18Kadang namanya ditulis sebagai Fauzambi Syahrul Multazhar
21Dalam beberapa wawancara, beberapa sumber mengungkap
kemungkinan bahwa yang bersangkutan sudah bergabung dengan menjadi
militer semasa masih kuliah. Memang, saat itu ABRI (ketika TNI masih
digabung dengan Polri) memiliki program militer sukarela (Milsuk).
22Dia meraih pangkat kapten hanya delapan tahun setelah
lulus dari UGM. Ini terhitung sama dengan atau bahkan lebih cepat dari
perwira yang lulus dari Akmil. Perjalanan karier Nugroho selanjutnya
hampir sama dengan perwira-perwira lulusan Akmil.
25Wawancara online, 2 Mei 2014
26http://archive.kaskus.co.id/thread/13592350/0
28Wawancara per telpon, 12 Mei 2014. Hingga saat ini belum bisa dilakukan konfirmasi atas kedudukan Yulius Selvanus ini.
30Hukuman di tingkat banding untuk Kapten Inf. Untung
Budiharto sebenarnya adalah dua tahun enam bulan (30 bulan) penjara
tanpa pemecatan.
31Konflik masih membara di Ambon pada tahun 2003.
Sekalipun sudah tidak berbentuk perang terbuka seperti dua tahun
sebelumnya, konflik telah berubah menjadi tindakan-tindakan terorisme
dalam bentuk pengeboman. Ketika itu, Kopassus menerjunkan satuan
intelijennya di Ambon. Kemungkinan yang diterjunkan adalah Satuan Taktis
(Sattis) intelijen. Satuan ini bermarkas di gedung Kejaksaan dan
dipimpin oleh (saat itu) Mayor Inf. Imam Santosa (Akmil 1990). Ketika
Untung masuk ke Ambon, dia sebenarnya sudah menyandang pangkat Mayor dan
baru saja lulus dari Seskoad. Dengan demikian, pada saat itu (2003),
dunia intelijen di Ambon dikuasai oleh Kopassus.
32Lama pendidikan di Seskoad adalah 43 minggu (kurang
lebih sepuluh bulan tiga minggu; menjadi setahun penuh jika dihitung
dengan liburan).
38Brigif ini diresmikan oleh KASAD Jenderal TNI Djoko
Santoso pada 12 April 2007 di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Brigif 16/Wira Yudha bermarkas di Desa Gunung Klotok, Kediri. Dan Brigif
pertama Kolonel Inf Erwin Rustiawan dan Kasbrigif dijabat Letkol Inf
Dadang Hendra Yudha.
39http://paskhas.mil.id/en/berita/yonko-469-paskhas-mengikuti-latgab-penanggulangan-teror
40Posisi ini diduduki oleh Dadang dalam waktu cukup lama.
Namanya sudah muncul di berita koran dalam posisi ini pada pertengahan
tahun 2012. Lihat, Investor Daily, “Solo Jadi Kantong Jaringan
Terorisme.” 21 Juni 2012.
45Lihat salinan keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: 384/Pid.Sus/2011/PN.KB.
47Fauka sebenarnya masih sangat jauh dari usia pensiun.
Ada kemungkinan dia mengundurkan diri dari anggota TNI atau dipecat.
Tidak ada keterangan tentang soal ini.
48Menurut PP Nomor 39 Tahun 2010, batas usia pensiun untuk
seorang perwira adalah 58 tahun. Perwira-perwira ini kemungkinan
berusia rata-rata antara 48-50 tahun. Mereka masih jauh dari usia
pensiun dan punya kesempatan berkarier yang lebih luas.
49Sepanjang pengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada Akmil angkatan 1988 (a dan b) yang menyandang pangkat jenderal.
50Self-perception yang juga merupakan bentuk dari
impunitas juga muncul dalam pembunuhan brutal oleh prajurit-prajurit
Kopassus terhadap empat tahanan di penjara Cebongan di Yogyakarta.
Pembunuhan ini mendapat pembenaran dengan pembingkaian (framing) bahwa apa yang lakukan adalah bagian dari ‘pemberantasan preman.’