SURABAYA - Butuh waktu 18 tahun bagi Prof Dr Djoko Agus Purwanto untuk sampai pada kesimpulan bahwa daun teh hijau dapat dipakai sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit HIV/AIDS.
Guru Besar Kimia Farmasi Unair ini menemukan fakta bahwa daun teh hijau dapat dipakai untuk obat penyembuhan kanker pada penelitian pertamanya, 1996. Sejak itu, ia mulai jatuh hati terhadap daun teh.
Berbagai riset lanjutan pun dilakukan. Hasilnya membuat Djoko semakin terkagum-kagum. Semakin banyak saja khasiat teh yang berhasil dikenalinya.
Ia mencontohkan, kandungan antioksidan dalam daun teh mencapai 100 kali lebih banyak dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih banyak ketimbang vitamin E.
”Dibanding anggur merah, kandungan antioksidan daun teh juga dua kali lipat lebih banyak. Di Indonesia kan tidak banyak anggur merah, yang banyak kebun teh. Jadi, ini juga bisa jadi keunggulan tersendiri,” jelas Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unair itu.
Dari risetnya, Djoko melihat kandungan daun teh berupa epigalokatekin galat (EGCG) punya khasiat mengobati berbagai penyakit degeneratif, seperti kanker.
Zat yang merupakan senyawa tanin katekin itulah yang kemudian dikembangkan lagi.
Lewat riset pada 2012, ia menemukan zat itu berpotensi untuk mengobati TBC dan HIV/AIDS.
“Kandungan teh hijau itu bisa untuk pencegahan, sekaligus pengobatan HIV,” katanya.
Khusus untuk HIV, Djoko tak meneliti sendirian. Ia dibantu Prof Nasronudin serta Dr Retno Puji Astuti drg MKes, peneliti laboratorium HIV di Tropical Disease Center (TDC).
Mereka mengekstraksi teh menjadi dua bentuk. Pertama, hanya diambil EGCG-nya. Sedangkan kedua, tetap dalam bentuk ekstrak.
Tiap hasil ekstraksi ini diujicobakan pada kultur virus HIV. Saat itu, Surabaya, termasuk Unair, belum memiliki sarana kultur HIV. Kultur HIV harus didatangkan dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta.
“Kalau sekarang sudah punya fasilitas TDC sendiri,” katanya.
Selain menguji coba ekstrak teh dengan kultur virus HIV, Djoko juga mengujicobakan pada sel-sel kekebalan tubuh manusia (CD4).
“Cukup menggembirakan hasilnya. EGCG yang diujicobakan ke sel CD menunjukkan kultur HIV tak berkutik. Virus itu tak sanggup menginfeksi sel CD4,” tegasnya.
Djoko sangat yakin obat berbahan daun teh hijau akan menjadi masa depan penyembuhan HIV/AIDS.
Meski begitu, keberadaan teh hijau tidak berarti menggantikan obat-obatan ARV yang selama ini menjadi penyambung nyawa orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Sejak itu, Djoko yakin, daun teh hijau akan menjadi senjata masa depan untuk melawan HIV/AIDS.
Ia memperkirakan pengobatan berbasis daun teh ini akan sangat efektif.
Sebab, masyarakat yang sudah akrab dengan tanaman nusantara ini dengan mudah mau mengonsumsinya.
Ini berbeda dengan mengonsumsi obat, yang umumnya perlu motivasi tersendiri.
“Tingkat keberhasilan pengobatan itu dipengaruh intensitas pasien mengonsumsi obat. Nah, kalau dengan yang sudah biasa mereka minum, HIV bisa sembuh, mereka akan sukarela melakukannya. Ini juga yang membuat saya tertarik untuk meneliti khasiat teh terhadap HIV,” pungkasnya./surya.co.id